• Monday, 2 September 2019
  • Udiarti
  • 0

“…meniti perjalanan fiksionalnya melintasi ruang dan waktu.” Kris Budiman mengakhiri kata pengantarnya dengan kalimat yang seolah memberikan tawaran kepada pembaca untuk mengarungi perjalanan yang sama dengannya, mengarungi ruang dan waktu.

Ketika membaca bab demi bab dalam buku Tanah Putih, novel kedua yang ditulis dengan pengetahuan antropologis yang mumpuni. Kita memang benar-benar sedang melakukan sebuah perjalanan.

Kris Budiman memperkenalkan kita pada tokoh Khema, dalam bagian satu yang ia kumpulkan pada halaman dengan judul Intro. Khema adalah mahasiswa Pascasarjana UGM yang mengambil fokus pada kajian musik. Khema dicipta untuk memulai menulis tesisnya, ia hendak mengumpulkan data tentang soundcape candi-candi.

Dari sinilah petualangan Khema dimulai, ia berencana menjadi relawan pembersih candi dari sisa-sisa debu vulkanik Merapi. Mengaku sebagai peneliti tidaklah mempermudah Khema untuk menyentuh objeknya, dengan menjadi relawan ia akan memiliki kesempatan untuk masuk dalam zona kompleks candi yang masih terlarang untuk umum.

Pada bab-bab setelahnya yang Budiman tulis dengan judul Relung Kosong, Pawitra, Prosesi, dan Koda, dengan bahasa yang ringan tanpa metafor berlebihan ia menuturkan apa yang dilihat Khema pada setiap langkahnya memasuki kompleks candi-candi. Kita akan diperkenalkan dengan istilah-istilah bahasa Sanskerta yang bisa kita temukan maknanya pada halaman glosarium.

Tidak hanya itu, Khema juga mengajak pembaca untuk menyentuh sedikit kisah-kisah mitologi yang tersaji pada relief-relief candi. Perlu kita tahu bahwa Budiman mengajak pembaca bertamasya ke Candi Borobudur, Prambanan, melintasi Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan memasuki kompleks Candi Sewu.

Dari relief candi-candi itulah Khema mengingatkan kita pada kisah-kisah mitologi, seperti kisah Dewi Parwati, Durga, Ganesha, hingga Rahwana. Ditambah dengan sajian foto-foto hasil jepretan Kris Budiman untuk memperjelas ilustrasi tulisan.

Spiritualitas yang melankolis

Jika buku ini adalah soal perjalanan Khema dalam memenuhi tujuan penelitian tesisnya, Kris Budiman terlalu banyak masuk dan ikut campur ke dalamnya. Budiman persis seperti dosen pembimbing, Khema seharusnya bisa berpetualang dengan ruang dan waktu yang menyajikan pengalaman batin pada pembaca, justru dikurangi porsinya sebagai tokoh fiksi yang lebur.

Terlebih Kris Budiman telah mengaku dalam kata pengantarnya tentang awal mula hasrat untuk menulis novel ini ketika berkunjung ke Vihara Tanah Putih, Semarang tahun 2008. Lalu fragmen bab yang lain ditulis setelah perjalanan Kris Budiman ke beberapa situs-situs sejarah termasuk candi di Indonesia. Dengan pengakuan ini, Khema dipaksa menjadi seseorang yang sunyi tanpa fokus tujuan yang jelas, hanya mengikuti keinginan penulis untuk bertamasya dan memotret bentuk-bentuk kearifan candi. Lalu setelahnya mau diapakan hasil potret candi-candi itu?

Penggalan lirik lagu yang sesekali dibubuhkan dalam akhir tulisan pada bab-bab tertentu, yang barangkali untuk membangun suasana batin pembaca justru terlihat seperti upaya untuk menunjukan betapa melankolis perjalanan Khema (halaman 22 misalkan). Tanah Putih justru menjelma jurnal perjalanan spiritual seorang Kris Budiman. Perjalanan spiritual yang manis dengan tambahan penggalan-penggalan puisi pada beberapa momen yang membuat batin Khema tersentuh (halaman 50).

Keresahan yang tak terjamah

Sebenarnya ada sesuatu yang menarik pada halaman 22. Ketika Khema mengingat perjalanannya di suatu museum, seorang anak bertanya pada ibunya tentang untuk apa patung-patung di museum itu dibuat.

“Kan, orang Jawa zaman dulu masih menyembah berhala, Nak.” Jawaban yang didialogkan oleh seorang ibu.

Jawaban ibu ini sebenarnya menarik jika Budiman bisa memberi sedikit kesempatan untuk Khema memikirkan ulang pertanyaan dan jawaban tersebut. Apakah benar patung-patung yang dibuat pada candi atau tempat-tempat tertentu di Jawa zaman dulu memang semata-mata hanya untuk disembah?

Apakah Khema tidak punya kesempatan untuk turut memikirkan apa bedanya perlakuan masyarakat Jawa di zaman sekarang dengan masyarakat Jawa di zaman dulu terhadap patung?

Kris Budiman bisa saja mengambil celah ini, namun ia memilih mengasingkan Khema dari pertanyaan dan pemikirannya sendiri. Keresahan pertanyaan seorang anak dalam perjalanan Khema dapat menjadi pemicu untuk fokus menentukan pilihan perjalanan. Tidak hanya sekadar untuk bertamasya, atau jangan-jangan Budiman hanya ingin pembaca untuk bertamasya saja?

Dalam penulisan esai, Kris Budiman tak lagi bisa diragukan. Ia menulis esai dengan pengamatan yang detail dan cemerlang. Namun langkahnya dalam menulis novel Tanah Putih agaknya harus banyak belajar dari penulis fiksi yang lebih dulu hadir sebelum ia. Katakanlah belajar dari fiksi karya Ayu Utami yang sama-sama pernah menulis tentang bentuk-bentuk kearifan budaya Jawa dalam situs-situs candi.

Sama-sama menggunakan pengetahuan antropologi, seperti dalam buku “Bilangan Fu” karya Ayu Utami yang juga mengisahkan perjalanan tokohnya yang dekat dengan situs-situs sejarah salah satunya candi, namun tegas menentukan ke mana arah tokohnya mengarungi perjalanan ruang dan waktu. Ia fiksi, namun terarah dengan olahan alur dan klimaks yang budiman.

Jika Melati Suryodarmo dalam testimonialnya menulis “Sebuah kisah yang mendekatkan kita kepada perjalanan yang asing, sunyi namun penuh dengan detail faktual yang nyaris fotografis.” Maka memang benar membaca Tanah Putih membawa kita pada perjalanan yang asing, tak kita ketahui ke mana sebenarnya Khema ingin berjalan.

Juga penuh detail faktual yang nyaris fotografis, sampai muncul pertanyaan “Apakah sebaiknya saya membaca buku teori antropologi saja? Yang benar-benar terlepas dari perkara-perkara fiksi?”. Namun hendaknya kita bertepuk tangan atas kelihaian Kris Budiman dalam menuturkan pengetahuan antropologinya pada sebuah novel.

Judul: Tanah Putih
Penulis: Kris Budiman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Agustus, 2019
Cetakan: Pertama
Tebal: xviii + 96 halaman
ISBN: 978-602-481-192-1

Udiarti

Penulis fiksi dan penari.

Saat ini sedang menumpang hidup di Jakarta.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *