“Dunia industri modern dirancang membuat manusia mengonsumsi segala yang ada di sekitar kita tanpa henti. Tak peduli pada orang lain. Kesuksesan materi adalah ukuran mutlak, sementara kesejahteraan spiritual dikesampingkan.”
Modernisasi tanpa memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan spiritual sungguh memberikan hasil yang nyata di masyarakat. Sepanjang menyangkut kehidupan rakyat jelata, hasilnya? Malapetaka! Ekonomi desa hancur, pengangguran di kota dan di desa meningkat, angka kriminalitas yang tak akan kunjung turun.
Penghidupan yang benar merupakan salah satu dari Delapan Jalan Mulia dalam agama Buddha. Kesejahteraan spiritual bukanlah lawan dari kesejahteraan material, melainkan sekutu.
Agama Buddha memandang kerja mempunyai tiga aspek, yakni: memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya; agar orang bisa mengatasi rasa egonya dengan jalan bekerja sama dengan orang lain; menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak.
Prinsip agama Buddha
Dalam prinsip agama Buddha, memandang hakikat peradaban itu bukannya berlipat gandanya kebutuhan, melainkan di dalam memurnikan watak manusia. Bersamaan dengan itu, kepribadian dibentuk oleh kerja. Dan kerja itu jika dilakukan dengan selayaknya di dalam kondisi kebebasan dan martabat kemanusiaan, memberi berkah pada mereka yang mengerjakannya.
Dari sudut pandang agama Buddha, pembebasan spiritual adalah hal yang mendasar. Sedangkan kaum materialis hanya berminat pada barang. Agama Buddha merupakan “jalan tengah”, ia tidak mengajarkan manusia untuk memusuhi kebutuhan duniawi, melainkan cara mendapatkan kebutuhan duniawi itu dengan cara yang bagaimana?
Bukan harta kekayaan yang merupakan penghalang pembebasan spiritual, tetapi melekat pada kekayaan itulah poinnya, “haus” atau keserakahan yang tak mengenal rasa berkecukupan. Lha iya, wong serakah kok, mana kenal rasa cukup? Fondasi dasar ekonomi agama Buddha adalah kesederhanaan dan tanpa-kekerasan.
Pola konsumsi
Konsumsi merupakan sebentuk cara untuk mencapai kesejahteraan. Tujuan berpakaian adalah untuk melindungi badan dari suhu udara dan supaya pantas dipandang mata, maka tugasnya ialah menggunakan pakaian dengan sepantasnya serta secukupnya.
Ilmu ekonomi modern, menganggap konsumsi sebagai satu-satunya tujuan dari segala kegiatan ekonomi, sumber daya alam maupun sumber daya manusia dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan, produksi.
Kesederhanaan dan tanpa-kekerasan jelas sekali sangkut pautnya. Ilmu ekonomi Buddha, berusaha memaksimalkan konsumsi dengan pola konsumsi yang optimal. Pola konsumsi yang optimal akan menghasilkan tingkat kepuasan manusia yang tinggi dengan rata-rata konsumsi yang relatif rendah, memungkinkan manusia hidup tanpa tekanan dan ketegangan yang besar, sehingga hal ini akan merujuk pada ajaran Buddha, “Jangan berbuat jahat, perbanyaklah perbuatan baik”.
Dengan menggunakan sumber daya sesedikit mungkin pasti akan sangat berkurang rasa bermusuhan dengan orang lain dibandingkan dengan orang yang menggunakan sumber daya yang lebih banyak.
Ajaran Buddha, tidak sekadar mengajarkan sikap hidup menghormati dan tanpa kekerasan, bukan hanya terhadap semua makhluk, tetapi juga pada pohon-pohon. Setiap pemeluk agama Buddha ada baiknya menanam satu pohon setiap setahun sekali dan menjaganya agar pohon itu benar-benar bisa tumbuh dengan baik. Berapa banyak di antara kita yang abai terhadap pohon? Silakan lihat di lingkungan tempat suci sampeyan, ada berapa banyak pohon?
*Disarikan dari buku “Kecil itu Indah” karya E.F. Schumacher, penerbit LP3ES, 1979.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara