• Wednesday, 19 August 2020
  • Maharani K
  • 0

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan sebuah insight atau pencerahan mengenai beberapa permasalahan dalam hidup saya, terutama menyangkut trauma dan luka batin masa lalu. Jadi saya akhirnya memahami bahwa pada hakekatnya setiap manusia pasti pernah mengalamai trauma atau merasa terluka dalam suatu waktu dalam rentang kehidupannya.

Tapi kebanyakan trauma yang paling membekas adalah trauma yang terjadi di masa kanak-kanak, mengapa? Karena di masa-masa itu, atau yang biasa orang katakan dengan masa ‘golden age’, memori seseorang lebih kuat menancap hingga masa dewasanya, dan biasanya di masa itu, seorang kanak-kanak belum memiliki kapasitas dan daya yang cukup besar untuk melawan atau melakukan sesuatu terhadap hal-hal yang tidak diinginkannya.

Itu juga yang terjadi ketika seorang anak mengalami kejadian traumatis, karena tidak bisa mengungkapkannya pada orang lain, atau melawan, dan terkadang juga belum terlalu memahami makna dari peristiwa tersebut, akhirnya ‘emosi’ dari kejadian tersebut terus terbawa hingga ke masa dewasa, dan akhirnya dibentuklah sebuah pemaknaan baru mengenai peristiwa tersebut. Pemaknaan ini bisa negatif, bisa juga positif. Tapi biasanya yang menimbulkan trauma/luka batin tertentu berarti diberikan makna secara negatif.

Nah, apa yang terjadi selama periode tahun-tahun ini, sampai akhirnya memori-memori mengenai trauma ini bisa muncul kembali ke permukaan?

Biasanya, jawaban pertama yang muncul, meskipun sangat jarang diakui dan disadari oleh si individu ialah karena si individu ini masih menempatkan dirinya sebagai korban atas peristiwa/kejadian traumatis tersebut.

Ketika si individu ini mendapatkan momen di mana ia menyadari dan mau mengakui bahwa selama ini dia menganggap dan menempatkan dirinya sebagai ‘korban’, maka selesailah semua masalah dan sembuhlah dia. Namun ternyata kenyataan tidak selalu semudah dan semulus itu.

Padahal di pikiran bawah sadarnya si individu ini mengetahui dengan jelas bahwa ia menempatkan dirinya sebagai ‘korban’, namun tidak kunjung sembuh dan mau untuk berubah serta mengambil keputusan. Sampah-sampah pikiran, beban-beban, dan kadang kenyamanan yang masih dirasakan akibat adanya peristiwa tersebut, membuat si individu ini tidak kunjung mau move on dari masalahnya.

Loh kok bisa nyaman? Berarti menikmati donk?

Iya…secara tidak sadar banyak orang tidak kunjung segera terlepas dari masalahnya karena masih menikmati berada dalam ‘kubangan’ masalahnya tersebut. Misalnya perhatian atau belas kasihan yang anda dapatkan dari orang-orang sekitar, atau kesempatan untuk membesar-besarkan dan menceritakan masalah anda pada orang lain, atau pemakluman diri anda yang menjadi semakin besar karena adanya permasalahan ini? Nyaman bukan?

Biar saya berikan contoh kasusnya di sini. Misalnya ada seorang wanita yang mengeluhkan sakit dan sesak di dadanya setiap kali dibentak oleh suaminya, kemudian secara tidak sadar ia menjadikan sakit dan sesak di dada ini sebagai alasan untuk menyerang suaminya setiap kali suaminya membentak dirinya.

Ketika sakit dan rasa sesaknya ini semakin parah hingga tidak bisa bernapas, suaminya pasti akan langsung meminta maaf dan berbalik menjadi perhatian pada dirinya. Di saat itu juga ia mendapatkan perhatian ekstra dari suaminya, termasuk rasa menyesal dan permintaan maaf dari suaminya.

Anda pasti tahu kan kelanjutannya?

Setiap kali si wanita ini membutuhkan perhatian, secara tidak sadar ia justru menikmati si rasa sakit dan sesak di dadanya, dan entah mengapa perasaan itu tiba-tiba muncul begitu saja tanpa ada pemicu yang jelas. Inilah yang saya maksud dengan menikmati trauma dan penderitaan.

Padahal, setelah diselidiki lebih lanjut, rasa sakit dan sesak di dada wanita ini muncul karena dulu di masa kecilnya ia sering sekali dimarahi dan dihajar oleh ayahnya (sosok laki-laki yang harusnya diidolakan dan menjadi pelindung).

Perlakuan kasar dari ayahnya ini terus membekas di benaknya hingga masa dewasa. Ketika akhirnya ia bertemu seorang pria dan menikah, sebetulnya wanita ini masih terus terbayang dengan perilaku ayahnya dan mengalami trauma.

Sehingga setiap kali suaminya berbicara dengan nada agak keras (meskipun tidak selalu bermaksud untuk marah atau membentak), wanita ini akan selalu merasakan sakit dan sesak di dadanya. Persis sama ketika ia masih kecil dan ayahnya memarahi/menghajarnya.

Tentu saja wanita ini enggan untuk segera move on/sembuh dari masalahnya, karena ini merupakan salah satu senjata yang cukup ampuh untuk menaklukkan suaminya setiap kali ia membutuhkan perhatian lebih. Sakit ini ketika dibawa ke dokter dan diperiksa secara medis pasti tidak akan mungkin ditemukan penyakit apapun.

Nah kira-kira itulah mekanisme yang terjadi ketika seseorang masih ‘berkubang’ dengan trauma masa lalunya. Alasan lain yang biasanya cukup sering terjadi dan mengakibatkan seseorang tidak kunjung move on dari masalahnya yaitu ’terlalu sering menyalahkan orang lain/kondisi di luar atas peristiwa dalam hidupnya’.

Misalnya: ketika seorang anak gagal kuliah di universitas favoritnya, kemudian menyalahkan sang ibu karena selama ini tidak mendukungnya mendaftar di universitas tersebut, menyalahkan ibunya karena tidak memberikan fasilitas yang memadai ketika di rumah sehingga ia tidak bisa belajar secara maksimal, menyalahkan ibunya karena tidak menyekolahkan di SMA favorit sehingga mempermudah dirinya untuk mendaftar ke universitas yang diinginkan, dan berbagai macam alasan-alasan lainnya.

Pernahkah anda mendengar cerita atau kejadian yang mirip seperti kasus di atas? Tentunya banyak ya kejadian seperti itu di sekeliling kita jika kita mau mengamati lebih dalam. Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimanakah caranya agar si orang ini sadar dan mau mengubah sudut pandangnya, dan tidak lagi menaruh dirinya sebagai ‘korban’?

Tentu saja penyadaran diri itu butuh proses, waktu dan tahapan yang tidak mudah. Ini pun belum tentu terjadi dalam diri si korban, bahkan banyak orang membawa luka dan dendam masa lalunya hingga ia meninggal. Tapi jika kita mau menilik lagi sejenak, sebetulnya tidak sulit kok untuk melihat masalah kita sendiri dan menilainya secara obyektif (tidak terkait dengan emosi-emosi masa lalu).

1. Cobalah untuk melihat masalah anda dari sudut pandang dan kacamata orang lain. Bayangkan saja jika masalah ini menimpa sahabat atau teman dekat anda. Penilaian seperti apa yang akan anda berikan kepadanya? Nasehat seperti apa yang akan anda berikan kepadanya? Apa yang anda ingin orang tersebut lakukan agar segera terbebas dari masalahnya?
2. Melihat masalah dengan zoom in zoom out. Cobalah untuk duduk tenang dan menutup mata, kemudian bayangkan masalah anda muncul di hadapan anda, kemudian tarik semakin menjauh dan menjauh hingga gambaran masalah itu semakin mengecil dan menjauh dari anda. Nah disitulah anda bisa menilai bagaimana cara penyelesaian yang terbaik atas permasalahan ini.
3. Membayangkan jika sosok idola/tokoh favorit yang selama ini anda sukai mengalami masalah yang sama seperti anda, kira-kira bagaimana responnya? Bagaimana pemikirannya? Bagaimana reaksinya terhadap masalah tersebut? Dan ia akan memberikan petuah seperti apa kepada anda ketika mengalami masalah tersebut?
4. Membaca buku dan menulis. Dari praktek yang selama ini saya jalani, ternyata efek dari membaca buku-buku yang positif dan melakukan terapi menulis seperti menulis buku harian tentang apa yang anda alami dan rasakan setiap harinya, berdampak sangat besar dan cepat terhadap penyembuhan dan perkembangan diri anda.
5. Berkumpul dengan komunitas yang positif dan mendukung.
6. Mulai mengurai masalah dari akar terdalamnya/sumbernya, bukan hanya dari permukaan/gejala yang muncul.

Nah ketika perlahan-lahan anda mulai menyadari dan mengakui bahwa selama ini anda masih menaruh diri anda sebagai ‘korban’, itu sudah merupakan gerbang menuju kesembuhan sebanyak 50%. Sisanya tinggal serahkan kepada pikiran bawah sadar dan alam semesta yang akan membantu anda mencarikan solusi dan jalan yang tepat untuk benar-benar sembuh.

Kekuatan dari Memaafkan…

Jika sudah menyadari hal tersebut, perlahan-lahan ubahlah focus dan sudut pandang anda, bahwa diri anda adalah ‘pemegang kendali’ atas semua hal dan kejadian yang terjadi dalam hidup anda.

Trauma dan luka batin itu juga merupakan tanggungjawab pribadi anda, meskipun pelaku nya adalah orang lain/obyek di luar diri anda. Namun pemegang kendali untuk mau sembuh, memaafkan dan terbebas dari masalah itu adalah diri anda sendiri, bukan orang lain.

Bayangkan bertahun-tahun anda memegang bara api, kemarahan, kebencian dan dendam terhadap seseorang, yang dimana orang tersebut belum tentu mengingat anda/mengingat hal yang dilakukannya terhadap diri anda. Jika anda tidak segera mengambil keputusan untuk release, ikhlas dan memaafkan, sampai kapanpun anda tidak akan pernah terlepas dari permasalahan ini.

Sebetulnya kekuatan dari memaafkan bukanlah memaklumi dan menyetujui perbuatan orang tersebut kepada anda, tapi lebih kepada ‘membebaskan hati dan pikiran anda dari emosi, luka masa lalu untuk selamanya, agar ruangan dalam diri anda lebih leluasa dan dapat diisi dengan hal-hal baru berikutnya.’

Jadi sebetulnya ‘memaafkan’ betul-betul merupakan sikap yang egois dan mementingkan diri sendiri, bukan demi orang yang anda benci atau siapapun. Namun manfaat yang anda dapatkan ketika sudah bisa memaafkan, anda akan merasa sangat lega seolah-olah seperti narapidana yang kembali menghirup udara segar setelah bertahun-tahun dipenjara.

Nah setelah bisa memaafkan masa lalu anda, tugas berikutnya adalah mengganti sudut pandang anda. Bukan lagi sebagai ‘korban’, tapi sebagai pemegang kendali dan kontrol atas kehidupan anda sendiri. Masih mau membenci atau melupakan, itu adalah hak anda, bukan hak orang yang pernah melukai perasaan anda. Anda tidak lagi terbelenggu dengan dia, anda menjadi pribadi yang bebas dan tidak memihak kemanapun. Apapun keputusan yang anda pilih itu adalah hak pribadi anda. Asyik bukan?

Kalau sudah begini, anda sudah bebas melangkah dan dijamin langkah anda akan terasa sangat jauhhhh lebih ringan daripada sebelumnya. Jadi respon seperti apa yang mau anda pilih? Semua berada di tangan anda. Selamat melupakan dan memaafkan.

Menarik kan ngikutin artikel dan tulisan di laman ini. Kalau masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *