Siang hari itu, saya masih bisa mengingatnya dengan jelas betapa teriknya matahari di siang bolong, yang terkadang memicu emosi ini semakin mudah untuk naik dan sudah diturunkan kembali.
Padatnya lalu lintas di kota Semarang saat itu memang cukup membuat setiap pengendara mobil ingin mengumpat. Sama seperti dua orang yang datang ke klinik konseling saya, ternyata mereka adalah pasangan suami istri, dan datang dari luar kota Semarang.
Wajah mereka berdua sama kusutnya, entah habis ditagih membayar hutang, atau habis bertengkar hebat sebelum menuju ke klinik saya. Untung saja klinik konseling dan psikoterapi saya berada di dalam area perumahan, sehingga suasananya cukup tenang dan sejuk.
Dalam hati saya berkata: “Untung tempat praktek saya nggak di jalan raya, bisa tambah berabe ini emosinya karena suara berisik kendaraan dan motor lalu lalang.”
Nah, setelah mengobrol ringan sejenak untuk pembukaan, alias membuat rappor jika dalam bahasa keren istilah psikologinya dengan sepasang suami istri yang sudah berusia paruh baya seusia ayah saya ini, saya baru tau kalau ternyata mereka berdua ini datang ke klinik saya atas rekomendasi ayah saya beberapa waktu yang lalu terhadap mereka.
Jadi ceritanya sang suami ini memang sedang membutuhkan layanan psikologi terkait penerimaan karyawan di hotel yang dimilikinya, dan kemudian bertanya ke ayah saya, yang merupakan kenalan lama dan sekaligus rekan bisnis yang cukup dipercaya olehnya.
Kemudian ayah saya merekomendasikannya kepada saya, dan sang suami ini pun setuju. Namun ternyata, kebutuhan itu hanyalah kebutuhan pembuka sebelum masuk ke inti permasalahan yang sesungguhnya.
Sebelum berlanjut, sang suami ini bertanya kepada saya: “Nonik, kamu apakah sudah menikah?”
“Belum Pak, ada apa ya?” Begitu jawab saya dengan ekspresi keheranan.
“Nggakpapa sih, tapi apa bisa kamu memberi kami konseling perkawinan sedangkan kamu sendiri belum menikah?” Tanya sang suami ini melanjut dari pertanyaan saya.
“Ohh, ya memang saya belum menikah Pak, dan mungkin belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia pernikahan sebagai pelaku, tetapi konseling yang saya berikan itu berdasarkan ilmu pengetahuan dan sudut pandang yang saya miliki, yaitu dari bidang psikologi Pak.” Jawab saya dengan ekspresi wajah tenang.
“Ohh, betul juga ya..oke-oke kita lanjut ya..”
“Baik Pak…” jawab saya.
Kemudian obrolan berlanjut, dan ternyata terungkap bahwa pasangan suami istri ini sedang mengalami krisis kepercayaan karena sebuah perbuatan yang dilakukan oleh istrinya setahun yang lalu. Namun sebelum berlanjut ke sesi konseling yang lebih serius, saya bertanya dulu kepada sepasang suami istri ini:
“Maaf Bapak dan Ibu, saya ingin tahu apa goal/tujuan yang ingin dicapai dari sesi konseling ini terhadap pernikahan Bapak dan Ibu?” Tanya saya sebelum memulai sesi konseling.
“Yaaa..beberapa waktu yang lalu kami sempat berpikir untuk bercerai, bahkan sudah pisah rumah segala.. tapi semakin kesini setelah dipikir-pikir lagi buat apa juga bercerai, wong anak-anak juga sudah besar, kami juga sudah enggak muda lagi, dan menurut agama kami, perceraian itu tidak ada. Kalo sekarang ya saya Cuma pengen bisa ngembaliin kepercayaan saya lagi sama istri seperti dulu, tapi kok rasanya susah sekali..” Jawab sang suami bergegas dan mantap.
“Kalo dari Ibu sendiri bagaimana? Apa yang diharapkan Bu?” Jawab saya bergantian kepada sang istri kali ini.
“Yaa…saya tau sih saya pernah nglakuin kesalahan besar, tapi keinginan saya juga sama, masih pengen terus berlanjut pernikahan ini, nggak mau cerai, karena dampaknya nggak akan baek buat anak-anak. Tapi meskipun saya udah nglakuin banyak hal untuk menyesal, minta maaf, dan ngembaliin rasa percaya suami saya, rasanya kok dia tetep sudah untuk maafin saya dan kembalu kayak dulu lagi. Tapi saya tetep nggak pengen cerai.” Jawab sang istri kali ini.
“Oke, saya bisa paham.” Jawab saya untuk mengakhiri sesi wawancara awal dan memulai sesi konseling.
Sang suami ini saya persilakan untuk masuk ke ruang konseling sendiri tanpa istrinya, agar lebih leluasa menyampaikan uneg-uneg dan mungkin juga kejengkelan-kejengkelan dirinya. Kemudian setelahnya jika dimungkinkan akan dilakukan psikoterapi untuk forgiveness kesalahan istrinya di masa lalu.
Setelah sekitar 1 jam saya melakukan konseling dan terapi pemaafan bagi sang suami, saya kemudian memanggil sang istri dan memintanya untuk juga masuk ke ruang konseling sendiri tanpa suaminya. Setelah melakukan sesi konseling dan penggalian masalah secara panjang lebar, saya mendapatkan sebuah poin.
Intinya, kedua orang ini sebetulnya sama-sama masih saling menyayangi dan ingin menjaga mahligai rumah tangga yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun. Namun ternyata rasa gengsi untuk saling mengungkapkan keinginan, harapan, pemikiran, penyesalan mereka satu sama lain sangatlah besar.
Sehingga perasaan-perasaan yang sesungguhnya seperti harapan, cinta, kasih sayang, keceriaan dan kegembiraan pun seolah-olah tidak Nampak dan tertutupi oleh perasaan-perasaan negatif yang lebih dominan.
Di akhir sesi, setelah memahami isi hati dari sang suami, dan juga sang istri, saya meminta kepada kedua orang ini untuk hadir bersama-sama dalam ruang konseling saya.
Saya menyampaikan kepada sang suami, hal-hal apa saja yang menjadi harapan, keinginan, curahan hati sang istri yang selama ini belum pernah diungkapkannya kepada suaminya, termasuk rasa penyesalannya atas kesalahannya di masa lalu, dan betapa ia ingin suaminya kembali seperti dulu lagi.
Hal yang sama saya lakukan kepada sang istri, saya sampaikan curahan hati sang suami, betapa ia masih begitu mencintai dan mengasihi istrinya, berharap istrinya tidak mengulang kesalahan yang sama, dan hubungan mereka bisa kembali seperti sedia kala.
Sepasang suami istri ini meneteskan air mata, meskipun rasa gengsi masih tampak diantara keduanya. Namun saya yakin, bahwa mereka pasti belum pernah saling mengungkapkan hal-hal yang saya sampaikan barusan ini kepada pasangannya masing-masing.
Selama setahun belakangan ini, hubungan rumah tangga mereka seperti neraka. Sang suami selalu diliputi rasa tidak percaya dan sakit hati pada istrinya. Sedangkan istrinya, meskipun sangat merasa menyesal di dalam hatinya, juga gengsi untuk menyampaikan bahwa ia ingin rumah tangga ini kembali seperti dulu.
Karena setiap pembicaraan mereka, sang suami selalu mengkaitkan dengan kesalahan istrinya di masa lalu. Akhirnya komunikasi tidak terjalin dengan baik, sedangkan satu sama lain tidak tahu isi hati masing-masing pasangannya.
Nah, sebelum saya pertemukan berdua di ruang konseling, masing-masing dari mereka sudah saya minta untuk menuliskan surat cintanya di secarik kertas kepada pasangannya. Surat tersebut saya tunjukkan dan bacakan, pertama-tama untuk sang suami, dan kedua untuk sang istri. Saya meminta mereka menuliskan hal-hal yang indah dan mengungkapkan betapa besar harapan dan cinta mereka terhadap pasangannya.
Kemudian setelah membacakan surat tersebut, saya meminta ijin ke kamar mandi, sekaligus memberikan waktu kepada sepasang suami istri ini untuk mendekatkan hati mereka kembali dan mencairkan suasana diantara mereka. Ya entah apa yang mereka lakukan di dalam ruangan konseling saat itu, tapi ketika saya kembali, saya melihat raut wajah mereka sangat jauh berbeda dibanding sebelumnya.
Sudah tampak senyum yang mengembang disana, warna wajah yang lebih segar dan tampak kemerahan dari keduanya, serta tatapan mata yang lebih lembut dan sejuk. Eitsss…ternyata ketika saya melihat sekilas ke bawah kursi mereka, tangan mereka saling bergandengan, ujung-ujung jari mereka saling bertautan, meskipun tidak ingin ditampakkan di depan saya.
Nah, setelah kembali ke ruangan, saya merefleksikan kembali hal-hal apa yang saya dapatkan dari proses konseling tadi, sikap-sikap dan pola pikir apa saja yang perlu diperbaiki, dipertahankan, dikurangi maupun ditingkatkan dari kedua orang ini.
Terutama cara-cara untuk memperbaiki komunikasi dan bahasa cinta diantara keduanya. Dan semua hal-hal ini bukan berasal dari pemikiran saya loh, namun berasal dari pemahaman-pemahaman baru yang didapatkan klien sendiri ketika melakukan konseling tadi.
Jadi pada intinya, dalam setiap sesi konseling saya tidak pernah memberikan arahan, saran ataupun nasehat kepada para klien yang datang dan berkonsultasi. Kami sebagai psikolog hanya bertugas untuk memfasilitasi para klien agar lebih menyadari darimana akar permasalahan mereka awalnya, tujuan apa yang ingin mereka raih dan capai, hal-hal apa yang perlu ditingkatkan lagi, dan bagaimana cara mencapai tujuan/harapan tersebut.
Sepertinya teorinya memang sederhana, namun ketika berada di ruang konseling, otoritas sebagai seorang psikolog harus betul-betul kita jaga, agar tidak sembarangan memberikan arahan/nasehat kepada klien. Selain bisa dianggap sok tahu, arahan yang kita berikan ini belum tentu tepat sasaran kepada si klien tersebut.
Entah karena pola pikir yang berbeda, atau karakter maupun pola penyelesaian masalah yang berbeda, jadi sebaiknya solusi-solusi atau cara-cara penyelesaian masalah ini harus datang dari diri si klien sendiri, dan bukan dari kita sebagai psikolognya. Kecuali jika memang si klien nampak sudah sangat tertekan dan tidak bisa berpikir dengan jernih lagi, kita boleh memberikan bimbingan sedikit untuk lebih mengarahkan klien menuju pemahaman tersebut.
Tapi tetap saja bukan dengan cara menggurui/mengajari loh ya…sehingga kesimpulan akhir dari pencapaian setiap sesi konseling, kembalikan dan refleksikan lagi ke klien, apakah hal tersebut sudah betul-betul sesuai dengan dirinya.
Dan di akhir sesi konseling pasangan suami istri tadi, mereka berdua berucap:
“Terimakasih ya Nik, meskipun kamu belum menikah, ternyata itu bukan jaminan, karen Om dan Tante merasa sangat terbantu habis konseling ini…”
“Hehehehehe sama-sama Om, Tante.”
Menarik kan mengikuti artikel dan tulisan di laman ini? Kalau masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara