• Saturday, 7 October 2017
  • Victor A Liem
  • 0

“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”

Terjemahan bebasnya;

“Buddha dan Siwa merupakan dua wujud yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Hal itu berbeda, tetapi satu juga. Tidak ada kebenaran yang mendua.” ~ Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah salah satu sila dari lima sila dasar negara yang menjadi ideologi bangsa dan negara Republik Indonesia. Menurut Memoir Mohammad Hatta, perubahan penting rumusan dasar negara yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta, yaitu tujuh kata setelah Ke-Tuhanan, yang semula berbunyi “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perubahan itu konon dipicu oleh wakil yang keberatan dengan sila pertama yang dianggap tidak mengikat rakyat non muslim. Lalu dipilihlah kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa” agar lebih bisa mengikat semua kelompok.

Berikut ini adalah penelusuran arti  perkata dari sila pertama tersebut;

Kata “Maha” berasal dari bahasa Sanskerta atau Pali yang bisa berarti mulia atau besar atau luas (bukan dalam pengertian bentuk). Kata “Maha” bukan berarti sangat. Kata “Esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta atau Pali. Kata “Esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “Esa” berasal dari kata “Etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this– Inggris).

Sedangkan kata “Satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sanskerta atau bahasa Pali adalah kata “Eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “Eka” bukan kata “Esa”.

Ada kalimat bahasa Pali seperti berikut.

“Sabbe sankhara anicca ti, yada pannaya passati, atha nibbindati dukkhe, esa maggo visudhiya”.

Terjemahan bebasnya, “Semua yang berkondisi adalah tidak kekal, seseorang yang memahami hal ini akan terbebas dari penderitaan, seperti inilah jalan kesucian.”

Esa dalam bahasa Pali adalah inilah atau demikianlah atau demikianlah adanya. Dalam penggunaan lain, menunjuk realitas sejati adalah tathata yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi suchness. Suchness: demikianlah.

Ketuhanan adalah kata sifat. Bukan Tuhan Personal (personal God). Dalam polytheis pun, Tuhan/Dewa yang banyak juga menunjuk atau mewakili sifat Ketuhanan yang sama. Merujuk pada Tantularisme sudah begitu jelas, bahwa dua ikon Buddha dan Siwa yang berbeda mewakili realitas sejati yang sama.

Ketuhanan dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai devinity. Sifat Ketuhanan Yang berhubungan dengan kesejatian atau dalam tradisi spiritual adalah realitas sejati. Ketuhanan Yang Maha Esa berarti tentang Sifat kesejatian atau sifat yang luas dan murni sejak awal.

Maha dan Esa adalah kata untuk menjelaskan Sifat Kesejatian itu sendiri. Maha adalah luas mencakup segalanya. Esa adalah demikian adanya. Keberadaannya sudah ada sejak awal.

Dalam tradisi spiritual, Sifat Kesejatian ini adalah aspek primordial dari segala sesuatu. Di balik semua pengalaman atau bentuk, atau objek penampakan apa pun, di baliknya selalu ada kesejatian. Inilah yang luas mencakup semuanya (Maha).

Bandingkan dengan ungkapan Jawa berikut. “Cedhak tanpo senggolan adoh tanpo wangenan”. Maksud nya ialah bahwa eksistensi Tuhan itu sangat dekat tapi tidak dapat disentuh, dan jauh tetapi tiada jarak. Ada juga ungkapan “Tan kena kinaya ngapa” yang artinya tidak bisa diapa-siapakan. Dalam bahasa Sanskerta digunakan kata “tathata”, suchness, ya yang demikian itu.

Ketuhanan Yang Maha Esa dibangun atas dasar keyakinan bersama bahwa semua agama mengarah pada kesejatian yang sama, tanpa memilah-milah atau secara eksklusif hanya merujuk pada kelompok tertentu. Sifat Ketuhanan itu bisa diakses oleh siapa pun dan apa pun agamanya.

Jika demikian maka Indonesia adalah satu-satunya negara yang memasukkan aspek kesejatian spiritual dalam ideologi berbangsa dan bernegara. Ketika Ketuhanan Yang Maha Esa dipahami secara sempit sebagai agama formal apalagi hanya sebagai keimanan akan Tuhan yang satu, maka esensi spiritualitas menjadi terbatas ruangnya.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *