• Tuesday, 12 December 2017
  • Sandi Halim
  • 0

Pada era globalisasi sekarang ini, bela negara tidaklah menjadi sesuatu hal yang penting. Sikap nasionalis tak lagi perlu didengungkan layaknya zaman proklamasi.

Bambu runcing kini sudah bertransformasi menjadi strategi ekonomi yang mutlak harus dimiliki tiap negara apabila ingin eksis dalam konstelasi persaingan global. Indonesia tak pelak harus menyusun strategi perekonomian yang jitu lewat perumusan kebijakan yang akan menentukan wajah Indonesia ke depannya.

Dalam peta perekonomian dunia, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok dapat dikatakan negara yang acap kali kebijakan perekonomiannya dijadikan kiblat negara-negara lain.

Sebagai contoh, rancangan perjanjian internasional International Trade Organization (ITO) pernah gagal menjadi perjanjian internasional ketika Amerika Serikat menentukan sikapnya untuk menolak meratifikasi rancangan perjanjian internasional tersebut.

Baca juga : Inilah Contoh Pemberdayaan Ekonomi Umat Buddha

Pada titik tersebut, tampak superioritas negara-negara adidaya, dalam hal ini Amerika Serikat, dalam hal menentukan arah kebijakan perekonomian internasional.

Kini, dunia seakan diberi ujian yang terutama ditujukan kepada kepala negara terkait dengan lesunya kondisi perekonomian saat ini. Penguasa tiap negara diuji kecakapannya dalam mengambil kebijakan yang cakap untuk mempertahankan eksistensi negaranya masing-masing.

Apabila kita menggunakan pendekatan yang serupa yaitu menjadikan negara-negara adidaya sebagai kiblat pengambilan kebijakan perekonomian nasional, maka pelonggaran penegakan ketentuan perpajakan bahkan pemberian insentif perpajakan kiranya wajar dilakukan dalam rangka menstimulus stagnansi pertumbuhan perkonomian.

Sebagai contoh, Amerika Serikat menurunkan tarif perpajakannya untuk korporasi dari 35% menjadi 20% sementara Tiongkok memotong pajak impor melebih 50%. Lalu apa yang dilakukan Indonesia?

Mesti diakui bahwa kali ini Indonesia mengambil langkah yang cukup berani dan riskan. Hal ini dikarenakan Indonesia bukan memotong tarif perpajakan, justru dengan gencar melakukan penegakan hukum terkait subjek yang diwajibkan namun tidak mematuhi tax amnesty.

Baca juga : Prinsip Ekonomi ala Buddha

Kebijakan pemerintah lainnya yang juga tak kalah kontroversial adalah diberikannya kewenangan kepada pemerintah untuk mengecek rekening nasabah bank. Serangkaian kebijakan pemerintah ini seakan kontraproduktif dengan kondisi perekonomian saat ini.

Lalu bagaimanakah kebijakan yang harus diambil pemerintah saat ini? Kebijakan perpajakan yang berlawanan secara diametral telah menunjukkan bahwa pemerintah (baca: Presiden dan DPR) tampaknya tidak memperhitungkan pengambilan kebijakan secara cermat.

Hal inilah yang seharusnya menjadi kajian bagi kita mahasiswa sebagai agent of change, terutama mahasiswa hukum maupun bisnis dan ekonomi. Kita tak boleh terlalu mempercayai wakil kita di DPR yang belum tentu mewakili kita saat perumusan kebijakan Indonesia. Salam mahasiswa!

*Sandi Halim, merupakan peserta workshop EWW! Eka-citta Writing Workshop (19/11). Diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada (Kamadhis UGM) bekerja sama dengan BuddhaZine

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *