• Friday, 31 August 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Jangan takut dan gentar, tidak akan terjadi apa pun pada dirimu yang bukan bagianmu (karmamu),” itu salah kalimat Dhamma yang menarik perhatian penulis. Kita (sebagai umat Buddha) diajarkan untuk terus melakukan kebajikan dan tidak perlu takut akan apa yang akan terjadi pada kita.

Pertolongan di tengah gelap malam

Pengalaman dulu (akhir tahun 90-an), saat penulis bekerja di perusahaan tekstil, mengingatkan penulis pada kalimat Dhamma tadi.

Saat itu penulis baru saja tinggal di mess karyawan di daerah yang bernama Jalan Cisirung, Bandung. Daerah itu merupakan kawasan pabrik tekstil. Banyak pabrik tekstil di sana, tapi pada beberapa bagian, masih cukup banyak hamparan sawah.

Saat itu penulis sedang keranjingan internet. Jika ada waktu luang dan tak ada kegiatan bersama teman, penulis mencari warnet untuk browsing dan melihat aneka info di dunia maya. Hari itu, karena asyik berinternet, penulis keluar dari warnet sekitar pukul 21.00. Dari warnet penulis berjalan kaki ke tempat angkot ngetem. Lho… kok tak ada angkot, batin penulis.

Di daerah itu (sekarang penulis ketahui bernama Terusan Cibaduyut), sudah mulai sepi. Saat penulis tanya pada orang yang ada di sekitar sana, didapat info bahwa angkot sudah tidak beroperasi sejak pukul 20.00. Ojek? Di sana tidak ada pangkalan ojek.

Kesimpulan, jalan satu-satunya untuk pulang ke mess karyawan adalah berjalan kaki! Penulis tidak mengetahui jalan alternatif menuju mess dan sebagai orang baru di tinggal di daerah itu, penulis tidak punya kenalan yang bisa dimintai pertolongan atau tempat numpang menginap.

Baca juga: Rumitnya Karma

Apa boleh buat, harus jalan kaki. Masalah yang dihadapi bukan hanya jauhnya jarak yang harus ditempuh tetapi jalan yang dilalui sudah sepi dan minim penerangan (terutama saat melewati jalan di sekitar hamparan sawah). Gelap dan hanya ditemani suara jangkrik atau kodok. Sangat jarang ada kendaraan yang lewat, yang lampunya bisa berfungsi sebagai penerang jalan yang penulis lalui.

Sebenarnya ada rasa takut untuk berjalan kaki pulang, tapi tak ada pilihan. Penulis beranikan diri berjalan sambil terus berdoa, semoga tidak bertemu orang jahat yang bisa menodong atau bahkan membunuh jika penulis melawan.

Sekitar 15 menit berjalan kaki, penulis mendengar suara deru mobil dari arah belakang penulis. Lumayanlah… jalan di depan penulis jadi agak terang. Semakin lama, suara mobil itu semakin dekat, dan akhirnya berhenti di samping penulis.

Sontak penulis kaget dan dalam benak penulis terlintas, mungkin ini penjahat. Berhenti untuk menodong lalu akan kabur dengan mobilnya.

Pintu sebelah kiri terbuka, ternyata pintu mobil dibuka oleh seorang lelaki yang duduk di posisi sopir. “Dik, mau ikut ke Palasari?” tanya pengendara mobil itu. Palasari adalah terminal kecil, tujuan akhir angkot dari arah Terusan Cibaduyut.

Ada rasa ragu menjawab tawaran itu. Apakah penulis akan aman-aman saja jika ikut? Apakah orang tak dikenal ini adalah orang baik? Tapi di sisi lain, ada rasa capek dan takut berjalan kaki di malam yang gelap, lalu ingin segera sampai dan beristirahat.

Ikut insting saja deh dan ingat kalimat Dhamma, “Jangan takut dan gentar, tidak akan terjadi apa pun pada dirimu yang bukan bagianmu (karmamu).” Toh saat itu penulis tak banyak pilihan, hanya ikut dan cepat sampai atau jalan kaki sendiri di malam yang gelap.

Begitu duduk di samping sopir dan mobil berjalan, pemilik mobil bertanya, “Dari mana Dik? Kok malam dan gelap begini jalan kaki sendirian?” “Dari warnet Pak. Saya tadi keasyikan main internet. Pas mau pulang, angkot sudah tidak ada. Saya tidak tau kalau angkot di sini beroperasinya tidak sampai malam,” jawab penulis. “Memang jalur ini angkotnya tidak sampai malam. Adik mau ke mana?” tanya Bapak itu. “Saya mau pulang ke mess karyawan perusahaan tekstil, saya tinggal di sana,” jawab penulis.

Singkat cerita, akhirnya penulis sampai. Penulis mengucapkan banyak terima kasih pada Bapak itu (sempat tanya, tapi sekarang sudah lupa siapa namanya).

Pertolongan datang tepat pada waktunya. Tidak menyetop mobil untuk menumpang, tidak kenal pemilik mobil, tiba-tiba saja ada mobil berhenti, menawarkan tumpangan, dan beliau orang baik. Satu hal lagi yang selalu penulis ingat dari ceramah Dhamma yang penulis dengar, “Teruslah berbuat kebajikan selagi ada kesempatan. Itu tabungan kita…”

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *