• Thursday, 29 September 2016
  • Komala Somadevi
  • 0

Pernah mencicipi sup sirip hiu? Ya, makanan ini sangat populer terutama di daratan Tiongkok –juga di Vietnam– biasanya disediakan pada pesta pernikahan, perayaan tahun baru, maupun jamuan makan.

Tetapi, makanan mewah ini ternyata ikut menentukan nasib kehidupan kita –dan ribuan makhluk hidup lain di dunia.

Sirip hiu yang menjadi bahan utama masakan tersebut “dipanen” dari hiu-hiu liar yang berada di lautan. Para nelayan menangkap hiu, memotong siripnya, kemudian hiu tersebut dilepaskan kembali dalam keadaan terluka parah –untuk kemudian mati tenggelam di dasar lautan. Nelayan di beberapa negara, termasuk Indonesia, juga menangkap hiu secara utuh untuk dijual dagingnya, namun ternyata sirip hiu jauh lebih mahal daripada dagingnya, mencapai 8,5 juta rupiah per kilogram!

Sekitar 26 sampai 73 juta ekor hiu terbunuh untuk dipanen siripnya setiap tahun (sumber: saveourseas.com), dengan jenis thresher shark dan silky shark sebagai jenis yang paling diburu nelayan. Dengan besarnya jumlah penangkapan hiu ini, akan sangat sulit untuk bisa memperbaiki jumlah hiu yang ada di lautan.

20160929-mengisi-perut-menguras-laut-2

Mengapa kita harus cemas akan jumlah hiu di lautan? Kita semua pernah mempelajari keseimbangan ekosistem dan rantai makanan ketika duduk di bangku sekolah. Hiu adalah predator puncak di ekosistem laut. Ketika hiu punah, maka ikan-ikan karnivor lain –seperti tuna– akan mengalami peningkatan. Ikan-ikan karnivor ini akan memakan ikan-ikan herbivor, dan ketika ikan herbivor punah, maka tidak ada pemangsa alami alga. Peningkatan jumlah alga akan merusak koral –yang merupakan jantung kehidupan laut.

Ketika kehidupan laut rusak, maka kehidupan kita juga akan terancam. Laut menyediakan mineral dan nutrisi serta membersihkan air dan udara yang sangat kita perlukan. Ketika laut tidak mampu lagi memberi fungsi ini, bayangkan apa yang terjadi dengan umat manusia!

Pada konferensi ke-17 Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) di Johannesburg, Afrika Selatan pada 24 September hingga 5 Oktober 2016, sejumlah negara seperti Srilanka, Mesir, Maladewa, Brasil dan persatuan negara-negara Uni Eropa mengajukan proposal untuk memperketat perdagangan spesies thresher shark dan silky shark. CITES adalah perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies terancam. Apabila proposal ini disetujui, maka seluruh negara yang terlibat dalam perjanjian internasional tersebut harus mengurangi penangkapan dan pemanenan sirip hiu. Hal ini tentu akan membantu melindungi jumlah spesies tersebut di alam bebas.

20160929-mengisi-perut-menguras-laut-3

Sebagai umat Buddha, apa yang bisa kita lakukan untuk ikut membantu melindungi spesies terancam seperti hiu? Mudah saja, perhatikan apa isi piring kita, serta praktikkan makan dengan penuh kesadaran. Sadari apa yang sedang kita makan, apakah makanan ini baik untuk diri sendiri dan untuk alam? Jika kita sedang menghadapi semangkuk sup sirip hiu, cobalah renungkan, apa yang kita makan hanya terasa di lidah selama kurang dari lima menit. Tapi hanya untuk lima menit ini, kita mempertaruhkan kehidupan di muka bumi. Renungkan secara mendalam, apakah lima menit ini betul-betul sepadan dengan seluruh kehidupan di muka bumi?

Buddha juga mengajarkan kita untuk tidak mengikuti napsu keinginan, karena napsu ini akan membawa pada kemelekatan dan penderitaan. Apabila kita tidak tergoda oleh napsu keinginan untuk memakan makanan yang merusak diri dan lingkungan, maka bukan saja kita berjasa dalam membantu menyelamatkan lingkungan, tetapi kita juga telah mempraktikkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari kita!

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Komala Somadevi

Perempuan. Lulusan perguruan tinggi di Bandung jurusan komunikasi internasional. Volunteer di thubtenchodron[dot]org. Kini menetap di Jogja. Mengelola tempat makan sederhana, "Angon".

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *