Ada pencerahan cukup besar dalam perjalanan pesawat dari Denpasar ke Jakarta 9 Juni 2021 lalu. Buku lama dibaca sambil terbang melintasi jarak Bali ke Jawa. Tertulis kalimat sederhana yang membuka mata, „Aku bukanlah tubuhku“. Tersentak, waktu terasa berhenti.
Ada hening dalam diri yang tampil ke depan. Tubuh seperti kapas. Ia tipis dan melayang (ini fakta, karena memang sedang di pesawat). Satu kunci kehidupan terbuka, dan membuka banyak pintu lainnya.
Semua masalah tak lagi menjadi masalah. Apa yang sebelumnya mengkhawatirkan kini terasa jauh. Ada jarak tercipta. Ada ruang baru yang luas dan megah muncul ke muka.
Seolah-olah masalah
Sejauh saya pahami, ada sembilan masalah yang mendesak hidup manusia di abad 21 ini. Pertama, begitu banyak orang khawatir soal uang. Mereka khawatir tentang keselamatan diri dan keluarga mereka. Berbagai cara, bahkan yang merugikan orang lain, kerap ditempuh, guna mengumpulkan uang lebih banyak lagi.
Dua, kita juga kerap khawatir akan keluarga. Bagaimana kesehatan istri, suami, anak dan orang tuaku? Bagaimana supaya aku bisa membantu mereka hidup sehat, bahagia dan berumur panjang? Kekhawatiran yang berlebihan akan menciptakan kecemasan, bahkan depresi yang berujung panjang, seperti penyakit tubuh dan bahkan bunuh diri.
Tiga, pengalihan dari kecemasan juga kerap merugikan. Seringkali, orang jatuh pada sikap konsumtif. Ia membeli barang-barang yang tak perlu. Pendapatan, dan bahkan tabungan, harus lenyap demi memuaskan hasrat membeli tiada akhir itu.
Empat, ketika uang dan daya beli lenyap, obyek lain menjadi pelarian. Banyak orang lari ke alkohol. Mereka mabuk untuk menutupi kecemasan yang dirasakan. Ini tentunya lingkaran setan, karena kecanduan alkohol akan menciptakan masalah baru yang lebih berbahaya.
Lima, kecanduan narkoba juga mengambil pola serupa. Kenikmatan sesaat dicari untuk keluar dari masalah secara instan. Orang seolah tak sadar, ini seperti menggali kubur lebih dalam. Dampak kecanduan narkoba jauh lebih menyakitkan dari kecemasan yang ada di awal.
Enam, ini yang kiranya menjadi trend sekarang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Agama menjadi pelarian tak sehat dari kecemasan hidup. Orang berganti baju, menutup seluruh tubuhnya, dan merasa menjadi orang paling suci di dunia. Sebagian kecil menjadi teroris yang mengancam kenyamanan dan keutuhan hidup bersama.
Tujuh, kerakusan kiranya menjadi penutup kecemasan. Orang tak puas dengan apa yang ada. Ia memeras otak dan tenaga untuk mencari apa yang lebih memuaskan hati, tanpa ada arah yang jelas. Inilah akar dari semua korupsi dan tindak tidak jujur lainnya, yakni ketakutan akan hidup yang serba tak pasti.
Delapan, kenikmatan tubuh sesaat memang paling cepat mengalihkan kecemasan. Seks lalu menjadi pilihan utama. Tak heran, di abad 21, pornografi, pelacuran dan perselingkuhan meledak di berbagai penjuru dunia. Krisis yang tak kunjung henti, ditambah dengan pandemik yang semakin tak pasti, memaksa orang mencari pengalihan sesaat.
Sembilan, kecenderungan ini mungkin yang paling halus, yakni obsesi berlebihan pada kesehatan. Seolah sakit adalah musuh bebuyutan yang mesti dibasmi. Padahal, sakit adalah bagian dari kehidupan. Ia adalah kesempatan bagi tubuh untuk sungguh beristirahat, ketika aktivitas meluap hebat.
Apa yang sama dari kesembilan hal di atas? Satu hal: semua adalah persoalan tubuh! Semuanya lahir dari kebutuhan tubuh, dan dorongan untuk melestarikan tubuh. Dan karena hubungan keluarga maupun percintaan adalah hubungan tubuh, maka itu pun menjadi obyek kecemasan.
Sadar atau tidak sadar, tubuh adalah alasan utama dari semua kecemasan kita. Orang menumpuk harta, kerap melalui korupsi, juga untuk memuaskan kebutuhan tubuh. Orang mencemaskan hidupnya dan keluarganya, juga karena adanya ikatan tubuh. Hanya manusia yang serepot ini.
Hewan dan tumbuhan juga memiliki kebutuhan tubuh. Namun, mereka tak banyak cemas, seperti manusia. Mereka juga ingin bertahan hidup di dunia yang serba tak pasti. Namun, tak ada hewan yang terjebak di dalam depresi berkepanjangan, dan memilih untuk bunuh diri. Tak ada hewan yang membunuh sesamanya, hanya karena agama.
Tubuhku
Jika tubuh menjadi penyebab banyak kecemasan hidup, apa sebenarnya arti tubuh? Tubuh adalah entitas yang terus berubah. Ia merupakan kumpulan sekaligus sisa dari makanan yang pernah kita makan. Dulu, tubuh kita kecil. Namun, dengan berlalunya waktu dan jumlah makanan yang kita santap, ia kini membesar.
Tubuh juga hasil kebiasaan. Jika kita terbiasa makan banyak, maka tubuh kita besar. Sebaliknya, jika pola makan kita sedikit, maka tubuh pun kecil. Tubuh punya kebutuhan-kebutuhannya sendiri yang menuntut untuk dipenuhi.
Kebutuhan yang tak tertahankan bisa juga disebut sebagai kompulsi. Ini adalah dorongan-dorongan kuat yang memaksa untuk dipenuhi. Bentuknya beragam, mulai dari makan tak terkendali, seks berlebihan, dandan berlebihan sampai dengan kebutuhan akan barang-barang mewah. Pemenuhan kebutuhan kompulsi tubuh inilah yang menjadi alasan dari banyak kecemasan di dalam hidup kita.
Tubuh juga tak bisa dipisahkan dari pikiran. Apa yang kita pikirkan akan terasa di tubuh. Luka di tubuh juga bisa mengacaukan pikiran kita. Maka, konsep yang digunakan sebaiknya adalah konsep tubuh-pikiran (body-mind). Keduanya adalah satu.
Apakah Aku adalah tubuhku?
Pertanyaan ini penting dijawab. Jika jawabannya ya, maka semua kecemasan kita beralasan, karena semua terkait dengan pemenuhan kebutuhan tubuh. Namun, jika dilihat lebih dalam, jawaban yang tepat adalah tidak. Tubuh kita terus berubah. Sementara, kesadaran atau kehidupan di dalamnya tetap ada.
Maka, aku bukanlah tubuhku. Aku bisa mengamati tubuhku. Aku bisa menyadari tubuhku. Maka, tubuhku bukanlah aku, karena ia bisa menjadi obyek dari kesadaranku.
Jika aku bukanlah tubuhku, siapakah aku? Jawabannya sederhana: aku adalah kesadaran yang mengamati tubuhku. Beragam penelitian di dalam filsafat dan neurosains sudah sampai pada kesimpulan ini. Aku adalah kesadaran yang hidup, sementara tubuh hanyalah kendaraanku di dunia ini.
Apa dampak dari pemahaman ini? Sebagian besar masalah adalah masalah pemenuhan tubuh. Kecemasan kita terhadap keluarga juga karena kita memiliki ikatan tubuh dengan mereka. Namun, jika kita sadar, bahwa kita bukanlah tubuh kita, maka ada pencerahan di sana.
Ada jarak antara aku dan tubuhku. Ini juga berarti, ada jarak antara aku dan pikiranku. Ada jarak antara aku dan kecemasanku. Inilah sesungguhnya yang merupakan akhir dari penderitaan.
Kompulsi lenyap. Kecemasan lenyap. Kita masih harus bekerja, guna memenuhi kebutuhan tubuh. Kita masih harus merawat keluarga yang membutuhkan. Namun, semuanya dilakukan dengan tenang dan jernih.
Ini harus disadari dari saat ke saat. Di sela-sela kegiatan, cobalah berkata kepada diri sendiri, „Aku bukanlah tubuhku“. Ini akan membentuk pola hidup yang baru. Ini akan menggiring kita pada pencerahan yang melahirkan kedamaian serta kejernihan. Tindakan yang tepat pun akan mengalir dari situ.
Di sisi lain, sebagai kesadaran hidup yang telah melampaui tubuh, kita juga merasakan ikatan dengan semua makhluk. Kita menjadi bagian dari seluruh makhluk hidup yang ada. Diskriminasi, rasisme dan konflik identitas akan lenyap seketika. Kita menggunakan tubuh, namun mampu melampauinya, serta menyentuh kesadaran kosmik di dalam diri kita.
Tunggu apa lagi?
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara