• Friday, 17 November 2017
  • Lani Lan
  • 0

Terkadang, aku ingin tidur selama-lamanya. Terlalu lelah untuk merasa benar dan disalahkan. Tapi hidup adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalani langkah demi langkah, meski tanpa kepastian.

Hoam. Udara pagi ini sangat dingin, membuat enggan beranjak dari tempat tidur. Dan mata ini masih terlalu lemah untuk terbuka lebar, sekuat tenaga aku mencoba menggerakkan anggota tubuhku. Namun kehangatan selimut menahanku lebih kuat untuk tetap mendekapnya. Akhirnya dengan segenap daya aku berhasil menendang selimut empuk berwarna biru jauh dari tubuhku. Kemalasan seperti ini sering kali menyerangku terutama di akhir pekan. Dan aku tahu betul tidur adalah satu-satunya cara untuk melupakan semua yang telah terjadi.

Tanganku meraih sebuah undangan di atas meja dekat jendela kamar tidur kemudian membukanya. Undangan pernikahan yang imut berwarna pink. Ah! kebiasaan manusia kalau sedang merayakan kebahagiaan identik dengan warna pink atau merah. Kenapa tidak warna gold? lebih mulia bukan! atau warna biru lebih teduh. Gerutuku. Undangan ini dari seseorang yang pernah dekat denganku, beberapa waktu yang lalu. Ku dorong jendela kamar perlahan, desiran angin pagi menyapaku lembut, ingin rasanya kuraih tangan-tangan lembut yang membelaiku. Apa aku menyesal? Pertanyaan seperti ini membuatku sedikit gila.

Mencintai seseorang bukanlah sebuah judi atau sebuah drama yang harus dibuat-buat. Aku punya kriteria-kriteria yang harus benar-benar menjadi pasangan hidup. Namun, tidak semua sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Kadang teori lebih indah hanya untuk dibingkai, dipasang di dinding kamar dan dibaca lalu dipandangi sebelum tidur sebagai bahan perenungan. Karena semua orang sangat pintar menyembunyikan dirinya di keramaian. Senyuman yang manis, tatapan yang sinis, ucapan yang luar biasa, kebaikan yang dipamerkan terkadang hanya sebuah alibi atas kehidupan yang sebenarnya. Fiuh, apa yang sedang kulakukan. Mengomel sendiri tidak jelas lawan bicaranya.

Ponselku berdering. Sebuah pesan singkat dari Davin.

“Pagi Din..”

Dindaaaaa! Namaku Dinda. Ucapku dengan kesal sebelum membalas pesan itu.

“Pagi Davin..” balasku.

Setelah itu tidak ada balasan lagi. Kesal dan marah. Kenapa aku merasa kesal dan marah? Keadaan seperti ini sudah sering ku alami. Davin yang selalu memintaku untuk tetap bersamanya dalam keadaan apa pun, Davin terlalu takut untuk sendirian.

Tidak lama kemudian, ponselku berdering kembali. Davin menelpon. Segera aku menjawab ponselku berharap untuk mengomelinya.

“Ya Davin..” jawabku.

“Dinda, aku sudah ingin move on sama mantan pacarku,”

Degh! Selalu kalimat ini yang keluar namun tidak pernah menjadi nyata.

“Aku bisa apa Davin, kalo kamu sendiri setengah hati begitu,” balasku menahan kesal.

“Ini terlalu rumit tidak sederhana yang kamu pikirkan,” Davin menghela napas.

“Okelah, lakukan saja yang menurut kamu baik. Saran aku sih kamu balikan sama mantanmu.” Aku belajar mengendalikan hati untuk tidak kecewa.

“Loh, kok gitu sih?” ada nada kecewa dari Davin.

“Okey tar lanjut lagi ya, aku mau mandi, bye!” aku mengakhiri pembicaraan ini.

Segera aku menuju kamar mandi, membasahi tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apanya yang rumit sih? Kamunya aja yang pemikirannya rumit! Ingin teriak aku lelah. Lelah menunggu dalam ketidakpastian. Lelah mencintai Davin yang selalu memikirkan mantannya. Ini sudah hampir satu tahun dan aku kena ranjau cinta. Tapi kenapa rasa cinta yang selalu lelah ini terus bersemi makin hari makin tumbuh dan berkembang. Apa itu sebenarnya cinta ?

Waktu pun terus bergulir, hari demi hari terlewati dengan cepat.

Aku mencoba melupakan Davin dengan segala ketidakpastiannya. Membiarkan Davin leluasa dengan mantannya, terserah apa yang akan diperbuatnya, itu bukan urusanku lagi.

Perjumpaan

Antara aku dan Adi, terjadi sebuah pertemuan mendadak. Di salah satu mall ternama di daerahku. Adi adalah salah satu sahabat yang sering terlibat bareng dalam aksi sosial kemanusiaan yang sering aku lakukan dengan teman-teman yang lain. Namun kami sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Dia ganteng, tinggi, putih, humoris, dan asyik diajak ngobrol.

“Hai, kamu Dinda kan?” Seru Adi yang memang sengaja jalannya menyenggolku.

Aku sempat bengong sejenak, melihat wajahnya yang tidak asing.

“Aaaah.. Adi? Apa kabar?” Jawabku sambil menepuk pundaknya.

Kami sama-sama girang, bertemu sahabat lama yang memang tidak pernah ada masalah itu ibarat ketemu keluarga jauh yang selalu siap mendekap kapan pun kamu membutuhkannya. Banyak hal yang kami obrolin, mulai dari masalah kerjaan dan percintaan.

Cinta? Tiba-tiba Adi menatapku tanpa berkedip, di sela-sela obrolan dia menggenggam tanganku erat. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya karena dia memang konyol dan suka membuat cerita yang tidak pernah diduga-duga. Tiba-tiba bisa menjadi lucu dan seketika bisa menjadi seram. Bahkan aku sendiri menyarankan dia untuk jadi pemain sinetron, pasti banyak penggemarnya. Wajahnya bisa dibilang ganteng maksimal, siapa coba yang tidak mau didekati cowok kayak dia yang mendekati sempurna ?

“Dinda…” kata Adi serius.

“Ya, Adi…” jawabku yang tiba-tiba grogi dan salah tingkah.

Adi benar-benar membuatku salah tingkah, rasanya dia ingin mengatakan cinta seperti di drama-drama film Korea. Tapi beneran aku tidak terlalu suka drama, dan rasanya aku sudah tahu apa yang akan diucapkannya.

“Dari dulu, sejak pertama kita ketemu, aku sudah suka sama kamu, maukah kamu menjadi pacarku ?”

“Weiz.. jangan bercanda Adi,” aku tertawa.

“Serius! Kapan kamu akan mempercayainya?”

Aku melihat sorot mata yang benar-benar tulus di kedua bola matanya, benar-benar aku merasa menjadi penjahat. Bagaimana perasaanku tidak bergeming sedikit pun? Tidak ada debar-debar yang membuatku ingin melompat-lompat atau menari-nari. Apakah perasaanku sudah mati? Ataukah sekarang aku takut untuk jatuh cinta? Aku terdiam, mencoba mengumpulkan kata untuk tidak menyakiti hatinya. Aku benar-benar tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, bahwa membuat orang lain bahagia dengan mengorbankan perasaan sendiri itu seperti menahan tusukan jarum yang siap membunuhmu setiap saat.

“Adi, aku dan kamu sudah layaknya saudara, alangkah baiknya kita tetap menjaga hubungan baik ini seperti sedia kala,” aku melepaskan genggaman tangannya. Aku tahu perasaannya sekarang, dia berhak membenciku atau marah padaku.

“Okey.” Jawab Adi singkat. Adi hanya tersenyum, menghembuskan napasnya kemudian pergi meninggalkanku.

Kau tahu apa yang kupikirkan? Semua terjadi dalam sekejap. Perasaan yang katanya dari dulu ada, namun karena adanya kecewa sirna begitu saja. Aku teringat ucapan Davin kala itu.

“Dinda, maukah kamu berjanji untuk menungguku sampai semua urusanku beres?”

Dengan gampangnya aku mengiyakan. Entah kenapa perasaan terhadap Davin mengalir begitu saja, meski berulang kali justru aku yang merasa kecewa. Berulang kali aku mencoba berpaling namun perasaan itu selalu tumbuh dan tumbuh. Bahkan saat sekarang, di saat aku ingin melupakannya justru perasaan ini makin kuat. Janji yang kusanggupi terasa berat untuk kuingkari begitu saja. Badai dan pelangi dalam hidup ini tidak pernah diduga datangnya. Semua bisa terjadi begitu saja dan kapan saja, siap tidak siap.

Dan seminggu pun berlalu dari kejadian pertemuan aku dan Adi yang tidak terduga itu dan berakhir dengan tidak terduga pula. Aku mencoba menata hati untuk melangkah lebih baik dalam hal asmara. Banyak orang yang datang dan pergi member kenangan dalam hidup, tidak bisa dihindari namun bisa kita pilih siapa yang pantas untuk tetap tinggal.

Bel rumah berbunyi ketika aku malas untuk bangun tidur, ingin rasanya menjadi putri tidur yang dicium pangeran lalu bangun dengan bahagia. Dengan mata yang masih mengantuk dan rambut yang acak-acakan kubuka pintu ruang tamu perlahan, masih samar terlihat. Seorang pemuda dengan pakaian rapi dan tersenyum ke arahku.

“Pagi Dinda…” suara yang tidak asing. Aku mengucek mataku, masih samar karena kacamata yang tidak kupakai.

“Davin!” Seketika jantungku berdegup kencang.

“Maukah kau menikah denganku?” Ucap Davin sumringah.

Are you kidding me?” Wajahku bersemu merah dan memang terlihat berantakan.

I’m serious! Aku sudah menguji kesabaranmu Din..”

Yes, I do.” Jawabku seraya memeluk Davin.

Semua hal terjadi begitu saja, hanya kesabaran dan keyakinan yang bisa menjadikan nyata semua usaha yang dilakukan.

Apakah aku menyesal? Kini aku bisa menjawabnya, tidak sama sekali. Penyesalan itu ada apabila kita hanya bisa berteori tanpa mempraktikkannya. Setuju?

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan. Dapat dijumpai di facebook, @Lani Lan

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *