• Friday, 4 March 2022
  • Samanera Dhammasiri
  • 0

Inilah tiga kata yang mendominasi kepala saya selama tiga bulan ini. Masalahnya, sejak menulis catatan “Menjadi Samanera 21 tahun, hingga tahun ke-19 ditolak menjadi bhikkhu”, saya ditanya oleh beberapa bhikkhu.

Pada intinya pertanyaan itu menyangkut apakah saya mau menjadi bhikkhu? Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada saya sebelum saya menulis catatan tersebut.

Sejujurnya, saya sendiri bingung dan sekaligus bertanya-tanya dalam diri saya sendiri, apakah para bhikkhu ini tidak tahu walaupun diundang secara sporadik, saya ditolak secara konsisten.

Usai dari Sri Lanka

Saya katakan demikian karena sejak pulang dari Sri Lanka pada tahun 2013, tidak setiap kali Sangha Theravada Indonesia mengadakan program upasampada, saya akan diundang. Tetapi, kalaupun diundang, dipastikan saya diundang sekadar untuk ditolak atau dalam bahasa halusnya, “Kamu tidak bisa di-upasampada tahun ini.” Kalimat sakral inilah yang rutin diucapkan setiap kali saya diundang.

Terakhir, saya menghadiri undangan panitia upasampada pada tahun ke-18 atau tepatnya awal 2019. Dengan dihadiri anggota lengkap dan ditambah bhikkhu penjamin saya, Dewan Kehormatan Sangha Theravada Indonesia (STI) mengatakan bahwa berdasarkan Dhamma dan Vinaya yang ada, saya tidak bisa di-upasampada karena ada bhikkhu yang menolak saya untuk menjadi bhikkhu anggota STI.

Dalam pemahaman saya, sekalipun yang menolak adalah satu bhikkhu, penolakan itu telah diterima secara aklamasi oleh Sangha Theravada Indonesia. Karena ini adalah keputusan Sangha dalam hal ini STI dan keputusan itu berdasarkan pada Dhamma dan Vinaya, saya bisa menerima dengan baik keputusan tersebut.

Curahan

Sejelek-jeleknya saya, saya pernah dididik dan dibesarkan oleh salah satu Vinayadhara terbaik yang dimiliki oleh Sri Lanka. Beliau mengajarkan kepada saya untuk memiliki loyalitas yang murni kepada Sangha.

Loyalitas itu adalah bentuk saddha dan bukan karena upadana. Karena itu, loyalitas yang saya miliki kepada STI, tanpa kebencian, tanpa kemarahan, dan tanpa ketidaksukaan.

Kalau boleh diumpamakan, loyalitas saya kepada STI tentang keputusan ini semurni embun pagi, tanpa noda sedikit pun.

Jika sejauh ini, saya tetap loyal, tetap memiliki saddha pada STI, bukan karena saya tunduk atau menghormati figur tertentu dalam STI, tetapi karena guru saya telah mendidik saya sedemikian rupa. Beliaulah yang mengajarkan untuk bersabar menerima keadaan yang ada, bahkan untuk tidak marah atau kecewa pada diri sendiri.

Dalam pemahaman saya, penolakan STI terhadap saya adalah penolakan yang tidak bisa dipandang remeh. Dengan kata lain, penolakan ini harus dianggap sebagai penolakan yang sangat serius.

Alasannya, penolakan itu dilakukan sebelum saya mengatakan “saya ingin menjadi bhikkhu” atau “saya tidak ingin menjadi bhikkhu.” Sejauh ini saya hanya diam saja dan hanya menghadiri undangan yang diberikan.

Andaikata penolakan itu dilakukan setelah saya mengutarakan “saya mau menjadi bhikkhu” atau “saya tidak mau menjadi bhikkhu” penolakan tersebut masih dapat dikategorikan sebagai penolakan yang ringan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sebelum saya menguratakan keinginan atau penolakan, penolakan itu telah dilakukan secara konsisten hingga tahun ke-19.

Karena merasa telah cukup, saat diundang oleh panitia program upasampada pada tahun ke-20, saya menolak undangan tersebut. Pada intinya, kalaupun saya menghadiri undangan tersebut, tidak ada jaminan bahwa saya akan diterima menjadi bhikkhu anggota STI. Berdasarkan pengalaman, saya ditolak secara konsisten bahkan hingga tahun ke-19.

Menolak

Karena saya telah menolak undangan panitia upasampada dan menulis, “Jika di kemudian hari muncul keinginan untuk menjadi bhikkhu, saya akan menjadi bhikkhu di luar STI,” saya tidak diundang pada program upasampada tahun ini. Ada bhikkhu yang mengatakan “Kalaupun diundang, percuma karena dia mau menjadi bhikkhu di luar STI.”

Secara pribadi, saya menolak undangan upasampada bukan karena percuma datang karena pasti ditolak. Jujur saya tidak berani mengatakan percuma terhadap undangan Sangha.

Atas dasar saddha dan rasa hormat saya pada Sangha, nurani saya tidak sanggup mengatakan percuma, karena bagaimanapun undangan tersebut adalah undangan kehormatan.

Saya merasa terhormat karena mendapat undangan dari Sangha. Akan tetapi, karena saya merasa cukup, dan konsistensi STI menolak saya menjadi bhikkhu anggota STI, saya melihat pintu telah ditutup sangat rapat.

Sangat disayangkan uang jutaan untuk membeli tiket dan urus PCR sekadar untuk mendengarkan satu kalimat sakral, “Kamu tidak bisa di-upasampada tahun ini.” Jauh lebih baik uang tersebut dipergunakan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat.

Publikasi

Sejak saya memublikasikan catatan, “Menjadi Samanera 21 tahun, hingga tahun ke-19 ditolak menjadi bhikkhu”, ada bhikkhu yang menganggap saya sebagai orang yang ambigu.

Saya tidak tahu secara persis alasan mengapa saya dikatakan sebagai orang yang ambigu. Hanya saja, ketika menulis, saya usahakan tulisan saya konsisten dengan tulisan dan pendapat saya terdahulu.

Saya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak meninggalkan celah. Ketika saya baca ulang tulisan saya dan saya bandingkan dengan tulisan terdahulu, tidak ada kontradiksi. Tidak juga meninggalkan celah keambiguan.

Kemungkinan besar pemahaman bahwa saya adalah orang yang ambigu dalam mengambil sikap tentang upasampada, adalah statemen saya, saya tidak mengatakan bahwa saya mau di-upasampada atau tidak mau menjadi bhikkhu atau saya mengatakan bahwa kalau muncul keinginan menjadi bhikkhu, saya akan menjadi bhikkhu di luar STI tetapi saya masih menulis catatan, “Menjadi Samanera 21 tahun, hingga tahun ke-19 ditolak menjadi bhikkhu”.

Sebenarnya mudah saja memahami kedua masalah tersebut. Ketika keinginan dan kebutuhan menjadi bhikkhu telah putus, keinginan, dan kebutuhan untuk mengubah atau mempertahankan status sosial telah sepenuhnya putus, tidak mungkin bagi seseorang untuk mengatakan saya mau atau saya tidak mau menjadi bhikkhu.

Juga tidak mungkin mengatakan saya ingin tetap menjadi seperti sekarang atau saya ingin mengubah statis sosial saya.

Persis sama seperti orang yang sudah kenyang, sekalipun masih banyak tersedia makanan di meja, saat dia tidak makan, bukan karena ambigu, bukan karena tidak mampu mengambil keputusan antara mau atau tidak mau makan, melainkan dia merasa sudah cukup, tidak perlu menolak untuk tidak makan, juga tidak perlu mengatakan dia masih ingin makan.

Karena saya dipandang ambigu, akhirnya saya pun ditelepon saya bisa di-upasampada kapan pun saya mau. Upajjhaya, acariya, kammacariya dan bahkan tempat sekalipun telah disiapkan, tetapi semua itu terserah saya.

Jujur saja, saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin upasampada saya dalam lingkup STI bisa terserah saya? Sangat jelas, saya telah ditolak secara konsisten hingga tahun ke-19.

Saya saja yang begitu idiot masih bertahan hingga tahun ke-21. Ada yang ditolak sekali atau dua kali kemudian kabur dan menjadi bhikkhu di luar STI. Bahkan ada juga yang belum ditolak, sudah kabur dan memilih untuk di-upasampada di luar STI karena takut dipersulit prosedurnya.

Melihat begitu seriusnya STI menolak saya menjadi bhikkhu anggota STI, tidak mungkin dan tidak bisa bagi saya untuk mengatakan terserah saya. Namun, demi rasa hormat saya, saya tetap konsultasikan kepada para kalyanamitta tentang masalah tersebut.

Sekalipun masih satu yang belum saya tanya pendapatnya, pada umumnya teman-teman sepakat saya menjadi bhikkhu kalau hal itu memberikan kontribusi yang besar.

Berbicara soal kontribusi yang besar, pengubahan status sosial pada diri saya, tidak akan memberikan kontribusi apapun secara internal pada diri saya. Kalaupun ada kontribusi, hanya ada kontribusi eksternal atau kontribusi sosial.

Interospeksi

Penolakan yang sangat konsisten hingga tahun ke-19, jelas menunjukkan bahwa saya dianggap sebagai samanera yang paling bobrok secara moral dan paling idiot secara intelektual dalam sejarah STI.

Bagaimana mungkin orang yang paling bobrok secara moral dan paling idiot secara intelektual, bisa memberikan kontribusi yang besar? Tidak memungkinkan.

Saya memahami ada orang-orang kecewa terhadap keputusan STI dalam menolak saya, tetapi melihat konsistensi STI menolak saya hingga tahun ke-19 dan juga pertimbangan teman-teman baik saya, saya berharap semua pihak bisa menerima apa yang telah diputuskan secara konsisten oleh STI.

Secara pribadi, saya menghormati dan menjunjung tinggi, setinggi-tingginya keputusan itu di atas kepala saya.

Saya menerima dengan segenap ketulusan, bahkan komplain sedikit pun tidak ada atau sekadar mempertanyakan keputusan STI tidak ada dalam diri saya.

Seandainya saya mau protes atau komplain, cukup saya ajukan satu atau maksimal dua pertanyaan. Sehebat apa pun jawaban yang diberikan, saya pasti akan tertawa bahkan saya sudah bisa tertawa begitu pertanyaan itu keluar dari mulut saya.

Sekalipun demikian, saya tidak memiliki niat sedikit pun untuk protes atau komplain. Kalau ada pertanyaan, justru yang masih membebani nurani saya adalah, mengapa saya yang dianggap paling bobrok secara moral dan paling idiot secara intelektual, tidak ditendang begitu saja sebagai samanera yang berada di bawah naungan STI.

Ada samanera yang kesalahannya tidak seserius saya, dikeluarkan dengan mudah. Jujur saja, saya kasihan pada mereka.

*Judul tulisan asli: Antara Percuma, ambigu, dan terserah

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *