• Sunday, 11 November 2018
  • Billy Setiadi
  • 0

Sudah hampir beberapa pekan ini, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan telah menimbulkan banyak reaksi dan pertentangan di tengah masyarakat. Draft RUU awalnya beredar luas di media sosial. Sontak ini mendapat respon yang cukup keras. Reaksi awal datang dari Komunitas Kristen Protestan. Lewat lembaga resminya PGI (Persatuan Gereja Indonesia) mengeluarkan statement di media massa soal keberatannya akan RUU tersebut. Pasalnya di dalam RUU tersebut ikut mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi yang merupakan bagian dari pelayanan Gereja.

Begitu pun dengan Pendidikan Keagamaan Buddha. Tak luput diatur oleh RUU tersebut. Mulai dari Dhammaseka, Sekolah Minggu, Pendidikan Widya Dharma, sampai Pabbajja Samanera semua terlampir dalam draft RUU tersebut. Seperti sudah diketahui, Sekolah Minggu dan Pabbajja Samanera bukan merupakan lembaga pendidikan sebagaimana dibayangkan oleh para penyusun RUU, melainkan bagian dari ritus spiritual dalam meningkatkan disiplin pertapaan dan Saddha, yang tidak perlu dicampuri oleh negara.

Ini menyangkut salah satu prinsip dasar kehidupan keagamaan dalam hal otonomi lembaga keagamaan dalam mengelola kehidupan keumatan yang tidak boleh dicampuri oleh Negara. Negara hanya perlu menjamin kebebasan dan keamanan lembaga-lembaga keagamaan dalam menjalankan otonominya.

Soal Dhammaseka yang diatur dengan berbagai tingkatan serta platform-platform khusus yang perlu diperhatikan menjadi beban yang sangat berat untuk komunitas Buddhis. Ketidaksiapan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang wajib ada akan menjadi persoalan yang pelik di kemudian hari. Selain itu perbedaan mazhab dan tradisi dalam komunitas Buddhis perlu dipahami para penyusun RUU. RUU ini juga akan menjadi potensi dasar konflik di internal Buddhis karena cara-cara dan visi misi pendidikan keagamaan nonformal antara satu lembaga dan lain lembaga tidak bisa digeneralisir.

Dengar pendapat

Perlu adanya hearing ke DPR yang dilakukan komunitas Buddhis untuk memberikan pandangan soal pendidikan keagamaan dalam komunitas Buddhis. Majelis-majelis agama buddha juga perlu mengadakan pembicaraan serius soal RUU ini dan potensi-potensi ke depan yang dapat terjadi bagi komunitas buddhis secara keseluruhan. Lalu mendesak pemerintah agar tidak buru-buru memutuskan RUU yang nantinya hanya akan menimbulkan banyak persoalan dan gejolak di tengah masyarakat .

Persoalan yang diatur oleh RUU ini mencakup banyak persoalan pelik, mulai dari visi pendidikan, kurikulum, kesiapan tenaga, harmonisasi dengan UU lain (misalnya dengan UU Sisdiknas), sampai keragaman bentuk dan model pendidikan keagamaan non-formal yang selama ini sudah dikelola oleh masing-masing lembaga keagamaan.

Baca juga: Ada Apa dengan Pendidikan Buddhis?

Nyatanya sudah beberapa pekan ini belum ada majelis mana pun yang menyikapi soal UU tersebut. Mungkin terkendala juga ritus perayaan Kathina Puja yang menjadi salah satu hari besar agama buddha. Sehingga sedikit kurang fokus menyikapi terkait RUU yang berpotensi menambah beban proses pendidikan dan penanaman nilai dharma. Padahal pendidikan merupakan manifestasi dalam membangun komunitas, bukan hanya perayaan ritus spiritual.

Harusnya polemik RUU ini perlu dijadikan juga sebagai refleksi bersama bahwa komunitas Buddhis harus banyak terlibat dalam Forum Forum Lintas-Agama yang secara berkala bertemu dan melakukan kajian kritis terhadap kebijakan publik. Sehingga dapat membangun sinergi dan strategi advokasi bersama dalam mengawal kebebasan beragama yang berkeadilan.

Billy Setiadi

Penapak jalan Dharma

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *