• Saturday, 12 September 2020
  • Reza Wattimena
  • 0

Setiap orang pasti ingin bahagia. Tak hanya itu, setiap mahluk hidup pasti terdorong secara alami untuk menghindari penderitaan, dan mencari kebahagiaan. Inilah salah satu hukum alam yang ada. Tak ada yang luput darinya.

Namun, banyak orang mengalami kesalahan berpikir. Mereka mencari kebahagiaan di luar diri. Padahal, di luar diri, segala hal terus berubah. Apa yang sebelumnya membawa kebahagiaan bisa membawa kecewa di kemudian hari.

Misalnya, kita mengira, uang akan membawa kebahagiaan. Uang bisa membawa kenyamanan hidup, sampai batas tertentu. Namun, uang, dan nilainya untuk hidup kita, akan terus berubah naik serta turun. Ia bisa menciptakan ketegangan dan kerakusan yang membawa derita bagi diri sendiri maupun orang lain.

Hubungan dengan orang lain juga kerap menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang. Keluarga dan teman-teman terkasih memang bisa memberikan kebahagiaan besar. Namun, keduanya bermata dua. Mereka bisa menjadi sumber masalah dan penderitaan bagi hidup kita, terutama jika harapan kita pupus oleh perilaku mereka.

Kesehatan juga bisa menjadi sumber bahagia. Namun, orang tak bisa selamanya sehat. Ketika orang berharap untuk selalu sehat, maka ia pasti akan kecewa dan menderita, ketika penyakit yang pasti akan berkunjung sungguh telah tiba. Semua orang, tanpa kecuali, pasti akan menua, sakit dan meninggal.

Di abad 21 ini, tawaran kenikmatan dari berbagai penjuru terus datang dan menggoda. Berbagai cara disediakan supaya orang bisa mendapatkan kenikmatan sesaat. Orang pun hidup di dalam pengejaran kenikmatan sekedar untuk menutupi kekosongan batin dan kesepian yang mereka alami. Bentuknya beragam, mulai dari seks bebas, acara film tanpa henti, makanan instan sampai dengan bepergian dengan biaya murah.

Namun, segala hal berubah, begitu pula dengan kenikmatan. Kerap kali, kenikmatan sesaat dibayar dengan mahal. Uang, waktu dan tenaga yang dikeluarkan begitu besar. Tak hanya itu, kenikmatan sesaat semacam itu kerap juga berakhir dengan ketidakpuasan, dan penderitaan.

Misalkan makan enak. Untuk bisa mendapatkan makanan yang enak dan sehat, kita harus mengeluarkan uang, waktu dan tenaga yang cukup. Namun, kenikmatan yang diberikan hanya sesaat. Jika makan terlalu banyak, sakit perut juga bisa terjadi.

Di dalam pemikiran Asia, inilah yang disebut sebagai Dukha. Artinya adalah ketidakpuasan, atau frustasi. Karena segala hal berubah, tidak ada satu pun hal yang bisa memberikan kebahagiaan terus menerus. Manusia pun cenderung merasakan frustasi, jika terus mencari kebahagiaan dalam bentuk kenikmatan sesaat di luar dirinya.

Mobil baru akan terasa bosan, jika dipakai terus. Baju mewah akan rusak, jika digunakan. Bahkan, kecantikan, kegantengan dan kecerdasan akan pasti lenyap dengan berjalannya waktu. Kekayaan yang melimpah juga akan menyisakan kecemasan dan kerakusan, jika tak diolah dengan spiritualitas yang tepat.

Hidup pun menjadi lingkaran setan. Orang mengejar kenikmatan yang justru membuatnya menderita. Rasa frustasi pun muncul. Jika besar dan berlangsung lama, orang bisa kehilangan kewarasannya, atau terjebak dalam beragam bentuk kecanduan, mulai dari kecanduan belanja, seks sampai dengan narkoba.

Di dalam sejarah, banyak orang sudah mengenali gejala ini. Mereka pun berusaha menemukan jalan keluar atasnya. Jalan spiritual adalah jawabannya. Spiritualitas sendiri berada melampaui batas-batas agama.

Spiritualitas memberikan jawaban sederhana, bahwa manusia bisa menemukan kebahagiaan yang permanen di dalam dirinya. Kebahagiaan semacam ini tidak meledak-ledak dan heboh. Ia tenang dan memberikan stabilitas. Ia bisa disentuh kapanpun dan dimanapun, asal orang memahami caranya.

Cara paling sederhana adalah mengamati nafas dengan lembut. Hilangkan semua ketegangan. Amati nafas masuk dan keluar dari hidung secara lembut. Dengan perlahan, kedamaian yang stabil akan muncul dengan sendirinya.

Di tengah beragam godaan untuk memperoleh kenikmatan di luar diri, cara ini tampak membosankan. Ia memang sudah tua. Pendekatan ini sudah ditemukan oleh para Buddha dan Yogi yang hidup puluhan ribu tahun lalu. Namun, ia bertahan terus di dalam perjalanan waktu, dan kini banyak memberikan inspirasi bagi orang yang terus mengalami frustasi di dalam hidupnya.

Orang lalu bisa duduk, bernapas dan menemukan kebahagiaan, tanpa syarat apapun. Bentuk-bentuk kebahagiaan dan kenikmatan lainnya hanyalah bonus saja. Jika ada, ia dinikmati. Jika tidak ada, orang bisa duduk, dan bahagia dengan sendirinya.

Hidup itu sendiri, jika disadari, sudah cukup memberikan kebahagiaan yang sejati. Orang hanya perlu mengarahkan kesadarannya ke dalam diri, baik ke napas, ke sensasi kulit ataupun ke suara. Inilah inti dari meditasi. Ia gratis dan tak terbatas keberadaannya untuk semua manusia, tanpa kecuali.

Pemahaman ini banyak menyelesaikan masalah di dalam hidup manusia. Orang tak lagi menghabiskan waktu, tenaga dan uang untuk mengejar kenikmatan semu yang berujung pada kekecewaan. Hidup menjadi bermakna, walaupun mungkin banyak tantangan yang menghadang. Bahagia dari dalam, tanpa syarat, inilah yang harus dipelajari semua manusia.

Kerakusan akan lenyap. Korupsi akan tinggal sejarah. Perang akan berakhir. Surga tak perlu menunggu nanti, setelah mati, namun disini dan saat ini. Tunggu apa lagi?

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *