• Saturday, 28 July 2018
  • Victor A Liem
  • 0

“Dunia maya itu memperdalam rasa isolasi dan kesepian orang-orang, menumbuhkan kecemburuan dan narsisisme, menimbulkan rasa tidak aman yang mendalam, dan mengarah ke kecemasan, depresi, dan banyak lagi.” (Keh-Ming Lin, MD, MPH)

Beberapa tahun belakangan ini, media sosial di Indonesia cenderung panas, terlebih membahas kaitannya dengan dunia politik. Hanya karena perbedaan pemikiran, orang dengan mudahnya menulis di media sosial untuk mengungkapkan kebencian, berupa ejekan, makian, atau ujaran kebencian lainnya.

Ujaran kebencian muncul karena ada informasi pendukung yang didapatkannya. Biasanya informasi itu juga dari media sosial. Hal yang tidak disukai segera dikomentari dan diberi respon, komentarnya itu disebarkan lagi dan menjadi viral. Pengertian viral di sini adalah penyebaran informasi melalui media online yang tersebar dengan cepat dan membuatnya menjadi populer dan menjadi perbincangan khalayak umum.

Kini batasan ruang sudah hilang dan media sosial itu sudah menjadi bagian dari hidup. Kita mesti menganggap media sosial sama dengan kehidupan kita sehari-hari. Praktik Dharma tentu juga mencakup aktivitas media sosial, karena sudah dibuktikan bahwa media sosial juga memberi dampak kecemasan dan depresi seperti yang dikatakan Keh-Ming Lin.

Saat kita melihat orang-orang memposting ‘sorotan’ mereka di media sosial, seharusnya kita tidak merasa cemburu atau iri terhadap mereka. Sebagai gantinya kita harus mengajukan pertanyaan seperti ini:

1. Apa yang membuat mereka merasa perlu menyiarkan ini kepada dunia?

2. Bukankah pengalaman mereka sendiri, sudah cukup memuaskan?

3. Apakah mereka membutuhkan ‘suka’ dari orang lain lalu baru merasa bahagia?

4. Apakah mereka sengaja membuat seseorang dalam kontak mereka agar cemburu atau iri pada mereka?

Kita akan menemukan bahwa dibalik itu semua, orang-orang itu dipenuhi dengan rasa tidak aman dan perasaan tidak puas atas kehidupan mereka yang tidak menarik. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan di atas kita refleksikan ke diri kita. Apakah kita menulis di media sosial juga atas dasar ketidakpuasan hidup yang sama?

Salah satu ajaran utama Buddha adalah bahwa kita perlu memiliki perhatian. Kata “Buddha” sendiri, dalam bahasa Sanskerta, berarti yang terjaga. Pertama dan terpenting, kita harus memperhatikan apa yang sedang dilakukan secara online dengan cara yang sama seperti kita memperhatikan apa yang sedang dilakukan di dunia fisik.

Daripada merasa iri, lebih baik merasa kasihan kepada orang yang mungkin memposting untuk sekadar meningkatkan citra yang diinginkan. Atau mungkin kita justru berlatih empati pada mereka. Seperti teman kita memposting foto ulang tahun kebersamaannya dengan keluarganya. Kita bisa memberikan ucapan selamat dan memberikan doa penuh ketulusan pada mereka.

Hal mendasar dari keberadaan kita tidak berubah akibat perkembangan teknologi. Tetapi itu tidak berarti teknologi tidak berguna. Teknologi telah membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik dalam banyak cara. Tapi semuanya mesti kembali lagi dilakukan dengan bijak.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *