• Tuesday, 9 October 2018
  • Adica Wirawan
  • 0

Kasus penyebaran berita bohong alias berita palsu yang mengemuka pada minggu lalu menyita cukup banyak perhatian khalayak. Di media sosial dan beberapa stasiun televisi, kasus yang dilakoni oleh seorang aktivis itu ramai diperbincangkan.

Ada banyak komentar yang disampaikan tentang kasus itu, dan isinya mayoritas “bersuara” negatif: mengumpat, mencemooh, mencibir, mengkritik, memaki, menghujat atau bahkan mengecam! Biarpun sudah lewat seminggu, kasus itu masih saja dibahas, seolah itu menjadi “bumbu-bumbu” yang renyah dalam obrolan sehari-hari.

Saya tidak ingin ikut-ikutan membahas kasus itu di dalam tulisan ini. Biarlah kasus itu menjadi bahan omongan di forum lain. Namun, saya lebih tertarik mengupas satu aspek yang terdapat di dalam kasus itu, yaitu berita bohong.

Berita bohong atau kabar palsu sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru. Ia telah ada bertahun-tahun yang lalu dengan nama yang berbeda. Ada yang menyebutnya fitnah, dusta, bohong, tipu, dan seterusnya. Makanya, kasus penyebaran berita bohong sejatinya bukan sekali-dua kali terjadi. Ia telah terjadi berulang kali. Hanya saja, pelaku, latar peristiwa, dan persoalannya saja yang berbeda. Sisanya sama.

Zaman Buddha

Pada kehidupan Buddha Gotama, penyebaran berita bohong juga terjadi. Berkali-kali Buddha Gotama didera berita bohong, sebagai akibat atas ketidaksukaan sejumlah petapa terhadap beliau. Satu kasus yang terus dikenang ialah kasus Cinca. Cinca adalah seorang wanita penghibur yang punya daya tarik fisik. Namun, di balik kecantikannya, ia memiliki hati yang jahat, sebuah hati yang diselimuti kegelapan.

Pada suatu hari, Cinca diminta melaksanakan “siasat licik” oleh para petapa telanjang. Mereka ingin Cinca menyebarkan berita bohong terhadap Buddha, agar reputasi Buddha runtuh di mata umatnya. Ternyata sudah sejak lama, para petapa itu memendam kebencian terhadap Buddha, sebab Buddha dianggap telah merebut umat mereka. Akibatnya, hidup mereka menjadi sulit, lantaran tidak ada yang bersedia menyokong mereka lagi.

Cinca akhirnya menyanggupi permintaan itu. Pada suatu malam, ia datang berkunjung ke wihara tempat Buddha sedang mengajar. Namun, tidak seperti umat lainnya, ia hanya berseliweran di sekitar wihara. Sewaktu berpapasan dengan umat yang datang, ia berkata akan bermalam bersama Samana Gotama.

Baca juga: Silakan Berbohong…

Padahal, nyatanya, Cinca sama sekali tidak melakukan itu. Ia hanya ingin “mencangkokkan” kesan negatif di pikiran umat terhadap Buddha. Ia ingin membangun persepsi bahwa Buddha sudah menyimpang dari ajaran-Nya, dan tidak lagi suci. Singkatnya, ia telah menyebarkan berita bohong di kalangan umat dengan tujuan jahat.

Beberapa bulan kemudian, Cinca datang lagi ke wihara. Kali ini, ia memainkan “drama” yang lain: pura-pura hamil. Makanya, sebelum berkunjung, ia mengikatkan potongan kayu di sekitar perutnya. Ditutupinya potongan kayu itu dengan pakaian tebal untuk menyamarkan bentuknya. Perutnya pun terlihat buncit, layaknya wanita hamil pada umumnya.

Kemudian, di dalam perjalanan, Cinca menebarkan berita bohong bahwa “janin” yang berdiam di rahimnya adalah hasil hubungan gelapnya dengan Samana Gotama. Ia terus saja “memviralkan” berita bohong itu. Bahkan, di dalam wihara sekali pun, tanpa rasa malu dan takut, ia berani membikin keonaran, menuding Buddha dengan tuduhan yang bukan-bukan.

Marah

Alih-alih marah, Buddha bersikap tenang menanggapi tuduhan itu. Buddha tahu bahwa kebenaran ujung-ujungnya akan terungkap. Bukankah serapat apapun seseorang menutupi bangkai yang telah membusuk, baunya tetap akan terendus juga pada akhirnya?

Demikianlah yang dialami Cinca. Kebohongan yang disiarkannya akhirnya terbongkar setelah sejumlah tikus tiba-tiba datang menggerogoti tali yang mengikat kayu di perutnya. Tali itu putus, dan potongan kayu jatuh mengenai kakinya. Kakinya pun bengkak-bengkak dan ia pun mengerang kesakitan. Orang-orang yang melihat “drama” itu pun menjadi geram. Mereka pun hendak menyerang Cinca.

Oleh karena merasa nyawanya terancam, Cinca memutuskan kabur. Namun, sebelum ia meninggalkan pelataran wihara, bumi merekah, dan ia pun terjeblos masuk ke neraka. Sebuah akhir yang malang bagi si penyebar berita bohong.

Kasus yang dialami Cinca sebetulnya memberi banyak “hikmah” untuk kita. Di antaranya adalah kebenaran suatu saat akan terungkap, kesabaran akan mengantar pada terselesaikannya masalah, dan penyebar berita bohong akan memetik ganjaran yang setimpal.

Oleh karena telah terjadi pada masa lalu, masih terjadi pada masa kini, dan mungkin terus terjadi pada masa depan, Buddha melihat “bahaya laten” dari berita bohong. Buddha menyadari bahwa orang-orang yang “mengembuskan” berita bohong akan menderita sebagai akibat dari perbuatan jahatnya.

Makanya, dalam banyak kesempatan, Buddha menganjurkan orang-orang untuk taat melaksanakan sila. Sebab, di dalam sila, terdapat anjuran untuk menghindari ucapan bohong.

Buddha tentu punya alasan mengapa beliau menyarankan orang-orang berkata jujur, bebas dari dusta. Alasannya sebetulnya sederhana: karena orang-orang tidak mau dibohongi. Seperti diri kita, orang lain pun benci didustai, ditipu, dikelabui.

Makanya, sebagai umat Buddha, kita terus diwanti-wanti berkata jujur, jangan memperdaya orang lain lewat kata-kata. Sungguh perih rasanya kalau kita dibohongi oleh orang-orang di sekitar kita. Apalagi kalau ia adalah orang yang kita kenal dekat, macam orangtua, pasangan, atau bahkan sahabat. Lebai? Mungkin. Namun, demikianlah kenyataannya. Contohnya banyak, bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, perkataan jujur juga menunjang kesuksesan seseorang. Dengan terbiasa berkata jujur, kita akan jadi orang yang lebih mudah dipercaya, dan kalau sudah dipercaya, bukankah semua urusan menjadi lancar.

Mau pinjam uang, orang lain akan bersedia kasih utang sebab ia percaya kepada kita, bahwa kita akan melunasi pinjaman sesuai janji. Mau buka usaha, orang lain akan kasih modal, lagi-lagi karena ia percaya kita tidak akan bawa lari uangnya. Mau punya pasangan ideal, orang lain pun akan tertarik lantaran ia percaya bahwa kita tidak akan “mendua”. Berkat kepercayaan, apa-apa jadi gampang.

Jadi, untuk menangkal persebaran berita bohong, sebetulnya “rumusnya” mudah saja: laksanakan sila keempat dengan sebaik-baiknya. Saya tidak melihat kerugian yang mungkin timbul kalau kita melaksanakannya. Sebab, kalau dihitung-hitung, pelaksanaan sila keempat tak hanya “mengerem” keburukan yang bisa menyebabkan penderitaan, tetapi justru “mendongkrak” keberhasilan dalam hidup.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *