• Thursday, 22 February 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Seseorang mengenal Dharma karena iman, tetapi seseorang menjadi paham sepenuhnya karena pemahaman; pemahaman adalah pemimpin dari keduanya, tetapi iman mendahuluinya.” – Nagarjuna

Mungkin beberapa di antara kita sebagai umat Buddha merasa kurang nyaman dengan istilah iman (faith) atau saddha dalam Bahasa Pali.

Bahkan beberapa orang mungkin akan berkata, “Saya tertarik mempelajari agama Buddha justru untuk menjauhi konsep iman.” Hal ini mungkin dikarenakan beberapa alasan yang mereka miliki. Atau mungkin pula mereka pernah mengalami suatu hal di masa lalu mereka sehingga mereka tidak dapat meyakini iman mereka dan lebih memilih untuk berpegang teguh pada logika dan bukti-bukti kebenaran saja.

Beberapa orang kemudian berkata bahwa yang penting itu kita ber-ehipassiko! Lantas bagaimana sebenarnya konsep iman (faith) dalam Buddhadharma?

Iman (faith) dalam Buddhadharma disebut dengan saddha. Dan tidak dapat dipungkiri bahwasanya terdapat perbedaan mendasar terkait konsep keimanan antara agama Buddha dengan agama lainnya. Dalam Buddhadharma, kita dianjurkan untuk memiliki dan menumbuhkan saddha bukan berdasarkan rasa ‘takut’ kita atas suatu hal yang melebihi kemampuan kita, tetapi kita justru dianjurkan untuk melihat saddha sebagai sebuah ‘obat untuk rasa takut’ yang mungkin kita hadapi.

Wujud Saddha

Secara harafiah, saddha berarti ‘untuk meletakkan hati kita pada sesuatu.’ Makna dari saddha ini begitu mendalam dan beragam tergantung pada tempat kita meletakkan hati kita. Dengan kata lain, terdapat banyak sekali cara bagi saddha untuk bermanifestasi.

Wujud saddha yang paling dekat adalah kepercayaan (trust). Dari adanya saddha, maka muncullah kepercayaan. Misalnya, kita memiliki saddha kepada Tiratana. Dari sini kemudian kita merasa percaya terhadap keagungan Buddha, kebenaran Dharma, dan teladan Sangha.

Atau misalnya pula, ketika kita dihadapkan pada pilihan hidup dan bertanya manakah yang harus kita percayai? Tentu untuk menjawab dan memilihnya, kita harus berpegang pada saddha! Memiliki saddha akan sangat membantu kita untuk menjalankan kehidupan kita sehari-hari.

Wujud kedua dari saddha adalah kesabaran (patience). Maksudnya, dengan memiliki saddha maka kita akan melatih diri kita untuk memiliki kesabaran pula. Perlu kita sadari bahwa tidak semua hal baik yang kita inginkan akan terwujud begitu saja dengan cepat.

Diperlukan kesabaran, ketekunan, dan sikap pantang menyerah agar kita dapat memeroleh hasilnya. Demikian pula praktik Buddhis dalam kehidupan sehari-hari kita. Mungkin sudah menjadi tabiat kita untuk mudah marah.

Dengan saddha, kita berusaha untuk tidak lekas marah. Mungkin pula kita sulit bermeditasi. Dengan saddha, kita berusaha untuk bersabar dalam kemajuan latihan meditasi kita.

Saddha juga dapat berupa inspirasi (inspiration). Segala sesuatu tentu membutuhkan usaha dan kerja keras untuk dapat dilakukan. Dan ini semua tidak mudah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memiliki saddha dan tekad yang kuat sehingga kita menjadi begitu terinspirasi untuk melakukan yang terbaik.

Sedangkan wujud keempat dari saddha adalah keberanian (courage). Dengan memiliki saddha yang kuat, akan muncul keberanian dalam diri kita untuk berpegang teguh atas apa yang kita yakini.

Tanpa iman/saddha, kita akan menjadi mudah ragu dan bimbang sehingga kita tidak mungkin akan memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, dengan memiliki saddha yang kuat, kita akan berani menghadapi segala ketakutan dan kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi dengan senyuman, kepercayaan, kesabaran, dan inspirasi.

Saddha yang disertai dengan kebijaksanaan

Tentu saja konsep saddha dalam Buddhadharma lebih ditekankan pada kualitas saddha itu sendiri. Saddha di sini haruslah disertai dengan kebijaksanaan (wisdom). Jadi bukan sekedar iman membuta. Tetapi iman yang muncul dari perenungan, pengalaman, dan kebijaksanaan.

Kualitas saddha yang hanya didasarkan pada rutinitas atau karena warisan dari orangtua tidaklah sebaik kualitas saddha yang muncul karena kita menyadari dan mengalami sendiri kebenaran tersebut.

Ketika kita mengalami sendiri suatu kebenaran, dan kemudian meyakininya, maka semakin solid pulalah kualitas saddha kita atas kebenaran itu. Semakin banyak kita mengalami dan menyelami kebenaran dari suatu ajaran (contohnya di sini Buddhadharma) dengan emosi yang begitu dalam, semakin bertambah kokohlah kualitas saddha kita sehingga kita menjadi tidak tergoyahkan (unshakeable faith) dan tidak mungkin beralih agama.

Selain itu, saddha juga harus disertai dengan perenungan (contemplation). Lawan dari saddha adalah keragu-raguan (doubt). Keraguan di sini bisa dilihat secara positif maupun negatif. Jenis keraguan yang muncul untuk mempertanyakan sesuatu, kemudian kita berusaha mencari jawabannya adalah jenis yang positif.

Contohnya pada Sutta Kalama, yang pada intinya kita diajak untuk tidak sekedar menerima kebenaran secara membuta, tetapi berusaha mempertanyakannya, mengalaminya, dan merenungkannya.

Tetapi aspek kedua dari keraguan yang mesti dihindari adalah spekulasi tiada akhir yang hanya merupakan alasan bagi kita untuk menghindari kebenaran, tidak melakukan sesuatu, dan tidak berlatih. Apabila keraguan jenis ini yang muncul, maka kita tidak akan memiliki saddha dan tidak akan maju dalam praktik kita.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *