• Friday, 13 October 2017
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Orang yang melanggar salah satu Dhamma (sila keempat, yang selalu berkata bohong), yang tidak memperdulikan dunia mendatang, maka tak ada kejahatan yang tidak dilakukannya. ~ (Dhammapada 176)

Saat ini media massa di Indonesia sedang marak dengan pemberitaan terkait kebohongan yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa doktoral Indonesia di TU Delft.

Selama beberapa tahun lamanya publik sempat percaya dan dibuat bangga dengan pengakuan-pengakuannya terkait prestasi di bidang teknologi kedirgantaraan. Tetapi seperti kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti tercium juga baunya. Itu pulalah yang dialami oleh mahasiswa ini. Banyak yang mengaitkannya dengan perilaku mythomania. Lantas apakah benar ini adalah mythomania atau sekedar kebohongan biasa?

Mythomania atau disebut juga dengan pseudologia fantastica adalah sebuah perilaku kebiasaan berbohong. Sedangkan mythomaniac adalah orang yang kecanduan untuk selalu berbohong. Perilaku ini pertama kali dijelaskan dalam literatur medis pada 1891 oleh Anton Delbrueck. Mythomaniac mungkin akan menyadari bahwa dia memang sedang berbohong, atau mungkin sebaliknya percaya bahwa dia sedang mengatakan hal sebenarnya (meskipun pada faktanya adalah tidak benar).

Mythomania dapat terjadi selama beberapa tahun atau bahkan seumur hidup. Seseorang dengan perilaku mythomania akan berbohong hanya demi kebohongan itu sendiri. Dengan kata lain dia berbohong dengan tidak mengharapkan apa pun atau mendapatkan keuntungan dari kebohongannya. Seseorang dengan perilaku mythomania perlu mendapatkan penanganan khusus dari ahli.

Sedangkan berbohong adalah sebuah perbuatan yang disadari dan disengaja untuk membuat sebuah pernyataan palsu. Biasanya berbohong dilakukan oleh seseorang sebagai sebuah pertahanan atau untuk menghindari konsekuensi buruk bila mengatakan hal yang sebenarnya.

Bahkan muncul pula istilah ‘kebohongan putih’ atau white lies yang meskipun suatu kebohongan tetapi dianggap sebagai sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik. Tetapi ada pula orang yang berbohong dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang seharusnya tidak/belum pantas dia dapatkan.

Orang seperti ini akan berbohong agar ia memperoleh perhatian dan pengakuan. Terakhir, ada pula orang yang berbohong untuk menyakiti orang lain. Bisa jadi karena dia benci atau iri dengan seseorang sehingga dia pun melakukan kebohongan-kebohongan untuk merekayasa dan menggiring opini masyarakat sekitar. Akibatnya adalah kebohongan itu berkembang menjadi sebuah fitnah. Nah, jadi di sini terlihat perbedaan mendasar antara kebohongan dan mythomania.

Pandangan buddhis mengenai kebohongan

Dalam banyak catatan di Tipitaka, terlihat jelas bahwa Buddha Gotama mengecam ucapan tidak benar. Kebohongan termasuk salah satu jenis dari ucapan tidak benar tersebut. Bahkan sila keempat dari Pancasila buddhis adalah menghindari ucapan tidak benar. Tujuan dari sila ini adalah agar seseorang menghargai kebenaran.

Ucapan benar juga merupakan salah satu elemen dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ucapan benar dikelompokkan dalam kelompok moralitas (sila). Dalam Majjhima Nikaya, suatu ucapan dikatakan benar apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Ucapan itu bukan kebohongan

2. Ucapan itu menghindari fitnah atau kata-kata untuk memecah belah yang didasari kebencian

3. Ucapan itu tidak mengandung kata-kata kasar

4. Ucapan itu bukan obrolan kosong yang tidak bermanfaat

Kisah Cincamanavika

Sebenarnya konsekuensi dari ucapan bohong dapat dilihat pada kisah Cincamanavika. Cincamanavika adalah seorang wanita cantik, murid kesayangan para petapa yang iri dengan Buddha. Mereka meminta Cincamanavika untuk mempermalukan Buddha Gotama. Cinca menyetujuinya dan dia pun pergi ke Wihara Jetawana. Dia lalu bermalam di tempat pertapa lain yang berada dekat Wihara Jetawana dan kembali pagi-pagi sekali agar kelihatan bahwa dia telah bermalam di Wihara Jetawana. Ketika ditanya, dia akan menjawab, “Saya telah menghabiskan malam hari dengan Samana Gotama di kamar yang harum di Wihara Jetawana”.

Setelah lewat tiga atau empat bulan, dia membungkus perutnya dengan kain agar tampak hamil. Setelah delapan atau sembilan bulan, dia membungkus perutnya dengan memasukkan papan kayu tipis ke dalamnya. Ia juga memukuli paha dan kakinya agar kelihatan bengkak dan berpura-pura merasa lelah dan lesu. Kemudian ia pun pergi ke Wihara Jetawana untuk menghadap Buddha.

Saat itu Buddha sedang menjelaskan Dhamma. Melihat Beliau sedang mengajar di atas mimbar, ia mulai menuduh Buddha seperti ini:

“O kamu Samana besar! Kamu hanya berkhotbah kepada orang lain. Saya sekarang hamil karena kamu, dan kamu tidak melakukan apa-apa untuk persalinan saya. Kamu hanya tahu bagaimana menyenangkan dirimu sendiri!”

Buddha dengan tenang menghentikan khotbahnya dan berkata kepadanya, “Saudari, hanya kamu dan saya yang tahu apakah kamu berkata yang sebenarnya atau tidak”. Pada saat itu, Sakka – raja para dewa – mengetahui masalah yang terjadi di Wihara Jetawana dan mengutus empat orang dewanya dalam bentuk tikus-tikus besar untuk masuk ke bawah pakaian Cinca dan menggigit putus benang yang mengikat erat papan kayu di sekeliling perutnya.

Akhirnya tipu muslihat Cinca terbongkar, dan banyak orang yang berkerumun berteriak dengan marah. Beberapa dari mereka meludahinya dan menggiringnya keluar. Cinca lari secepat yang ia bisa, dan ketika ia telah pergi agak jauh bumi terbelah dan retak. Ia tertelan masuk ke dalam perut bumi.

Hari berikutnya, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang Cincamanavika, Buddha mendekati mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seseorang yang tidak takut untuk berkata bohong, dan seseorang yang tidak perduli apa yang akan terjadi pada kehidupan yang akan datang, tidak akan ragu-ragu untuk berbuat jahat”.

Mythomania berkembang dari kebohongan-kebohongan biasa

Ucapan adalah salah satu cara kita mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran kita. Kita sering tidak benar-benar sadar atas apa yang kita ucapkan sehingga terkadang kita mengucapkan sesuatu yang tidak benar, tidak pada tempatnya, atau tidak tepat waktunya. Kita juga sering bermasalah dengan ‘cara’ kita mengucapkan sesuatu sehingga meskipun ucapan itu benar, tetapi ternyata menyakiti orang lain. Dengan mawas atas apa yang kita ucapkan dan bagaimana cara kita mengucapkannya, kita melatih diri kita sendiri untuk menjadi seseorang yang hanya melakukan ucapan benar.

Sering pula orang berbohong hanya untuk lelucon. Dia mungkin berpikir bahwa kebohongan ini tidak berdampak buruk atau tidak membawa kerugian bagi dirinya maupun orang lain. Tetapi lidah tidak bertulang. Semua kebohongan itu dengan gampang akan mengalir apabila tidak kita rem.

Saat kita melakukan suatu kebohongan, kita akan terpaksa melakukan kebohongan lainnya. Hal ini apabila terus menerus dilakukan dapat berkembang menjadi sebuah kecanduan untuk berbohong dan menganggap bahwa kebohongan yang kita ucapkan itu adalah kebenaran. Kebiasaan berbohong ini pun berkembang menjadi mythomania yang sulit disembuhkan. Oleh sebab itu kita harus selalu mawas diri dan berhati-hati dalam menjaga ucapan kita.

“… Oleh karenanya, Rahula, engkau harus berlatih demikian: ‘Aku tidak akan mengucapkan kebohongan sekalipun hanya sebagai lelucon.’” (Sutta Ambalatthikarahulovadda, Majjhima Nikaya 61).

 

Referensi

Majjhima Nikaya 4, Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2007.

Dhammapada Atthakatha, Vidyasena Vihara Vidyaloka, November 2012.

Ucapan Benar, Willy Yandi Wijaya, Vidyasena Vihara Vidyaloka, Februari 2010.

King BH, Ford CV (Januari 1988). Pseudologia fantastica. Acta Psychiatrica Scandinavica, 77(1), 1-6.

Dike, C. (2008). Pathological lying: symptom or disease? Lying with no apparent motive or benefit. Psychiatric Times, 25(7), 67-73.

 

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia program Doktoral di bidang Construction project management.

 

 

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *