• Wednesday, 10 October 2018
  • Hartini
  • 0

Ratusan ribu orang, mulai dari para petani India yang buta huruf hingga para pastor Katolik Roma, telah memperoleh manfaat dari 10 hari pelatihan meditasi yang dirintis oleh Guru Vipassana S.N. Goenka. Diambil dari ajaran-ajaran awal Buddha, Goenka mengajarkan sebuah teknik perhatian yang terpusat pada setiap perasaan, teknik yang sederhana tapi sangat manjur.

Norman Fischer: Mohon beritahu kami, jika Anda berkenan, bagaimana awal mulanya Anda melibatkan diri dalam pengajaran serta penerapan meditasi.

S.N. Goenka: Pada awalnya, saya ragu-ragu untuk mendalami ajaran Buddha. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Burma, dalam sebuah keluarga Hindu yang sangat konservatif dan fanatik. Sejak masih sangat muda kami telah diberitahu bahwa Buddha sangat luar biasa karena Beliau merupakan salah satu titisan Vishnu. Tetapi ajaran Beliau tidak dianggap bagus bagi kami.

Bagaimanapun, pada 1955, pada usia 31 tahun, saya mulai mengalami migraine yang sangat parah dan tidak bisa menemukan pertolongan atau penyembuhan apa pun. Pada saat itu, seorang sahabat yang sangat baik – saya selalu sangat berterima kasih padanya – berkata, “Pergilah dan ikutilah pelatihan meditasi sepuluh hari ini.” Saya menjadi bimbang. Jika saya menjadi seorang Buddhis, apa yang akan terjadi pada saya? Saya akan tidak memercayai adanya suatu jiwa, saya akan tidak memercayai Dewa. Lantas saya akan terjerumus ke neraka. Oh tidak, ini bukan untuk saya.

Saya ragu-ragu selama beberapa bulan, tetapi kemudian sahabat saya kembali mendorong saya, “Mengapa Anda tidak pergi dan menemui U Ba Khin?” Sebagai seorang guru vipassana (meditasi pandangan terang), U Ba Khin merupakan seorang perumahtangga, dan bahkan faktanya, merupakan seorang pegawai pemerintahan. Saat saya pergi menemuinya, saya segera merasa bahwa beliau seorang yang suci. Hal pertama yang saya ucapkan adalah, “Saya datang demi migraine saya.” Beliau berkata, “Tidak, Goenka, saya tidak dapat membantumu. Pergilah ke dokter.”

Akibat tanggapan tersebut, saya menjadi sangat tertarik padanya. Anda tahu, pada saat itu saya merupakan seorang yang sangat populer dalam komunitas saya sendiri. Saya merupakan Presiden dari Kantor Perdagangan dan Industri, sekaligus seorang presiden atau sekretaris dari sekurang-kurangnya dua puluh organisasi sosial, termasuk berbagai sekolah dan rumah sakit.

Lazimnya, seorang guru akan merasa hebat jika memiliki seseorang yang sedemikian istimewa sebagai siswanya.  Sebaliknya, beliau malah berkata, “Tidak, saya tidak akan menerima Anda.” Beliau tidak memiliki kemelekatan terhadap nama maupun ketenaran atau keuntungan pribadi.

Beliau menjelaskan dengan sangat menyenangkan, “Lihat, apa yang saya ajarkan adalah sebuah jalan spiritualitas yang tinggi dari India, tetapi negara kita telah kehilangannya. Janganlah merendahkannya. Janganlah menggunakan teknik ini untuk mengobati suatu penyakit fisik. Teknik ini dapat membebaskan Anda dari segenap penderitaan, tidak hanya sekadar penderitaan akibat migraine.”

Pendekatan beliau menarik hati saya, tetapi saya masih tetap penuh kebimbangan. Bagaimanapun, ini adalah agama Buddha. Kemudian beliau menanyakan sebuah pertanyaan pada saya, “Anda adalah seorang pemimpin dari komunitas Hindu di Burma sini. Apakah agama Hindu Anda memiliki keberatan tertentu terhadap sila? Tak ada agama mana pun di dunia yang akan berkata bahwa mereka bertentangan dengan aturan moralitas. Maka saya menjawab, “Tidak Tuan, saya sama sekali tidak memiliki keberatan apa pun sehubungan dengan sila.”

Beliau melanjutkan, “Bagaimana Anda melaksanakan sila jika Anda tidak memiliki kendali atas pikiran Anda? Saya akan mengajarkan padamu tentang pengendalian pikiran. Saya akan mengajarkanmu meditasi.” Dalam naskah Hindu, samadhi, konsentrasi, dipandang sebagai sesuatu yang sangat tinggi. Kaum Rshi, para meditator agung, semua melakukan meditasi. Tetapi kami para perumahtangga tidak tahu apakah meditasi itu. Kami menghargainya, tetapi kami tidak memahami apa sesungguhnya meditasi itu. Jika seseorang ingin (menjelaskannya) maka hal ini sungguh luar biasa. “Tidak, Tuan,” saya menjawab, “Saya sama sekali tidak memiliki keberatan terhadap meditasi.”

Selanjutnya ia berkata, “Baiklah, semata-mata meditasi saja, tidak akan bekerja. Ia akan mengendalikan pikiranmu, tetapi jauh di dalam pola perilaku itu layaknya gunung berapi yang tertidur. Ia akan meletus lagi, dan Anda akan melupakan segalanya, Anda akan melanggar sila Anda. Maka saya akan mengajarkan pada Anda pemurnian dari level pikiran yang terdalam, panna (Pali: kebijaksanaan). Apakah Anda memiliki keberatan tertentu tentang panna?”

Pada saat itu, saya merupakan seorang guru pengajar Bhagavad Gita. Saya telah menjelaskan tentang prajna (Sanskrit: kebijaksanaan) pada orang-orang, tetapi saya tidak sungguh-sungguh memahaminya, saya tidak pernah mempraktikkannya. Itu hanyalah ujaran percakapan semata.

Seringkali setelah memberikan sebuah kuliah/ceramah tentang prajna, saya akan pulang ke rumah dan merasa sangat menyesal. Mengapa saya berbicara tentang semua ini? Saya tidak memiliki pengalaman terbebas dari kemelekatan, kemerdekaan dari rasa antipati. Saya memiliki ego yang demikian besar, akan tetapi saya berbicara tentang prajna. Maka saya berkata pada U Ba Khin, “Seandainya seseorang mengajarkan panna kepada saya, tidak, Tuan, saya tidak memiliki keberatan apa pun.”

“Baiklah, Goenka,” beliau menyahut, “Saya hanya akan mengajarkan padamu tentang sila, samadhi, dan panna.  Tidak ada yang lain. Terima sajalah demikian adanya. Jika Anda menerima hal itu, maka kemarilah.” Jadi, demikianlah, saya mengikuti pelatihan sepuluh hari, dan saya menemukan bahwa pelatihan itu bagus.  Ajaran Buddha begitu lengkap, begitu murni.

 

Norman Fischer: Dalam praktik Zen saya dan dalam bentuk-bentuk praktik Buddhis yang lain, terdapat banyak sekali ritual, juga jabatan religius, serta hierarki. Apakah Anda merasakan adanya manfaat atau keuntungan bagi agama Buddha dalam ritual?

S.N. Goenka: Saya tidak bermaksud untuk mencela siapa pun, tetapi jika guru saya meminta saya untuk melaksanakan ritus-ritus atau ritual-ritual, maka saya akan mengucapkan selamat tinggal. Tradisi Hindu saya sendiri penuh dengan berbagai upacara dan ritual-ritual, jadi, tidak masuk akal untuk mulai lagi dengan serangkaian ritual yang lain. Tetapi guru saya berkata, “Tidak, ritual yang diajarkan Buddha hanyalah sila, samadhi, panna. Tidak ada yang lain. Tidak ada yang ditambahkan dan tidak ada yang dikurangi.” Sebagaimana Buddha berkata, “Kevalaparipunnam.” (Pali: keseluruhan teknik sesungguhnya telah lengkap dalam dirinya sendiri, dalam teknik itu sendiri).

Norman Fischer: Dapatkah Anda memberitahu kami tentang pelatihan yang Anda selenggarakan, tentang petunjuk tentang vipassana – rincian tentangnya, bagaimana bekerjanya, bagaimana Anda mengajar orang-orang?

S.N. Goenka: Setiap orang yang menghadiri sepuluh hari pelatihan dasar vipassana, harus menerima lima sila (Pancasila Buddhis), karena aturan moralitas sangat penting sebagai landasan. Para siswa baru, setidaknya selama sepuluh hari tersebut, harus melaksanakan sila-sila ini dengan cermat dan rinci. Jika seseorang masih tetap melakukan pelanggaran sila, maka ia sama sekai tidak dapat mengikuti pelatihan. Setelah sepuluh hari diselesaikan, para siswa adalah tuan dan guru bagi diri mereka sendiri. Jika mereka mendapati bahwa sungguh baik bagi mereka untuk melanjutkan menjalankan sila, maka mereka dapat tetap melaksanakannya. Para siswa yang lebih senior menjalankan delapan sila.

Sedangkan tentang aspek samadhi dalam program ini, kami bekerja dengan sistem respirasi, pernapasan. Kita menggunakan cara bernapas yang alami, saat napas masuk dan keluar, mempertahankan perhatian pada wilayah terbatas – daerah pintu masuk dari lubang hidung. Selanjutnya, mulai sejak hari keempat dan seterusnya, seseorang dilatih untuk memperhatikan perasaan di sekujur tubuh – menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral – serta memahami hakikat alaminya. Setiap perasaan memiliki hakikat yang sama: timbul, tenggelam, muncul, dan berlalu.

Memahami ketidakkekalan ini, seseorang mempertahankan keseimbangan (batin yang seimbang dan tidak terpengaruh) selama mungkin. Seseorang tidak bereaksi, dan (sikap) tidak bereaksi ini mulai merubah pola perilaku dan kebiasaan pada tingkat yang lebih mendalam. Seiring berlalunya waktu, kita telah membangun dan menguatkan pola perilaku dan kebiasaan yang membuta/otomatis dari (rantai) reaksi. Setiap pengalaman menyenangkan – kemelekatan. Setiap pengalaman tidak menyenangkan – penolakan/antipati. Pola kebiasaan ini harus dipatahkan.  Ia memang dapat dipatahkan pada tingkat permukaan, tetapi Buddha ingin memurnikan keseluruhan pemikiran, maka kita bekerja pada tingkat terdalam.

 

Norman Fischer: Apakah para praktisi hanya semata-mata mengamati apa pun perasaan yang timbul pada jasmani, ataukah mereka secara sistematis bergerak mengamati berbagai bagian tuibuh yang berbeda?

S.N. Goenka: Kami menggunakan pendekatan yang sistematis. Kami ingin para siswa mencapai tahapan yang mana mereka mengalami semua jenis sensasi dan mengalaminya pada setiap bagian jasmani. Jika Anda bekerja secara sistematis, maka tahapan-tahapan dari mengalami semua jenis sensasi pada sekujur tubuh akan muncul jauh lebih dini.

Norman Fischer: Apakah ini merupakan meditasi terpandu, ketika Anda akan menyatakan, “Amati sensasi pada puncak kepala, amati sensasi di sini, amati di sana.”

S.N. Goenka: Ya, sangat mirip dengan itu, dalam pengertian bahwa para siswa mengingatkan diri mereka sendiri untuk tetap bergerak secara sistematis. Jika mereka tidak “melihat” sensasi apa pun, mereka tinggal selama kurang lebih satu menit dan kemudian kembali bergerak dengan tenang. Apakah timbul beberapa sensasi, ataupun tidak ada yang muncul sama sekali, anda tetap bergerak terus.

Norman Fischer: Sutra-sutra berbicara tentang banyak jenis orang dengan banyak kecenderungan yang berbeda-beda.  Apakah Anda dapat menemukan, bahwa teknik ini bekerja lebih baik bagi beberapa jenis orang tertentu dibandingkan dengan yang lain, atau bahwa beberapa orang tidak dapat melaksanakannya?

S.N. Goenka: Sepanjang pengalaman saya, saya belum menemukan seorang pun yang tidak mampu melakukannya.  Orang yang paling buta huruf dari desa-desa di India, orang-orang yang belum pernah mendengar apa yang diajarkan Buddha, maupun orang-orang yang telah lama menganut agama Buddha, semuanya mendapatkan hasil yang setara. Hal ini sangat sederhana. Ketika saya meminta mereka untuk mengamati napas, mereka mengamati napas. Seseorang yang buta huruf juga dapat mengamati napas. Mereka dapat mengarahkan perhatiannya ke bagian tubuh tertentu. Di mana kesulitannya?

Norman Fischer: Anda merujuk pada Pertemuan Perdamaian Dunia (World Peace Summit) di Amerika Serikat.  Apakah hubungannya, suatu teknik meditasi, yang nampak sebagai hal yang bersifat sangat pribadi, dengan perdamaian dunia?

S.N. Goenka: Kita menginginkan kedamaian bagi seluruh umat manusia, tetapi kita tidak peduli apakah terdapat kedamaian dalam pikiran para individunya. Saat kita berbicara tentang umat manusia, maka manusialah pokok bahasan yang paling utama. Dan ketika kita berbicara tentang perdamaian, maka pikiran merupakan pokok bahasan utama. Jadi, pikiran dari setiap individu yang harus diutamakan. Tanpa adanya kedamaian dalam pikiran masing-masing individu, bagaimana mungkin terdapat perdamaian dalam masyarakat ?

Mungkin terdapat teknik-teknik yang berbeda. Kami tidak mengatakan bahwa ini merupakan cara satu-satunya.  Bagi saya ini merupakan jalan satu-satunya, tetapi agama lain menyatakan bahwa mereka memiliki cara yang lain bagi umat untuk menemukan kedamaian dan keselarasan. Sangat bagus, silakan lanjutkan.

Tetapi apa yang saya ajarkan bersifat universal. Setiap orang bisa mempraktikkannya, dari agama maupun tradisi apa pun mereka berasal, dan mereka akan memperoleh hasil yang sama. Kami mempunyai pengikut pelatihan vipassana yang berasal dari setiap agama yang ada di dunia, dan mereka memperoleh hasil yang sama. Saya tidak berkata pada mereka, “Rubahlah diri Anda dari agama ini menjadi agama itu.” Guru saya tidak pernah meminta saya untuk berpindah mengikuti agama mana pun. Perubahan satu-satunya adalah dari penderitaan menuju kebahagiaan.

 

Norman Fischer: Kenyataan bahwa tiada ritual apa pun (yang harus diikuti), memudahkan orang dari mana pun untuk bergabung.

S.N. Goenka: Lebih dari dua ribu pendeta serta biarawati Kristiani telah mengikuti pelatihan meditasi ini. Seorang biarawati, seorang suster kepala yang telah berusia lebih dari 75 tahun, memberitahu saya, “Anda mengajarkan Kristiani dalam nama agama Buddha. Saya seharusnya mempelajari teknik ini lima puluh tahun yang lalu.” Karena sesungguhnya tidak terdapat teknik apa pun dalam latar belakangnya. Ia telah berkotbah tentang cinta kasih dan welas asih bagi yang lain, tetapi (ini semua) masih meninggalkan pertanyaan dalam hatinya tentang bagaimana sesungguhnya menerapkan cinta kasih dan welas asih.

Dengan teknik vipassana, Anda memurnikan pikiran pada akarnya. Cinta kasih akan timbul secara alamiah. Anda tidak harus melakukan suatu upaya tertentu untuk mempraktikkan metta, cinta kasih murah hati. Ia begitu saja muncul dengan sendirinya.

Norman Fischer: Jadi, sekalipun tidak terdapat upaya untuk merubah keyakinan, bagaimanapun, orang lain tetap tertarik terhadap pelatihan ini?

S.N. Goenka: Orang-orang tertarik oleh hasil-hasil dari latihan yang mereka saksikan dalam diri orang lain. Saat seseorang sedang marah, pengaruh dari kemarahan membuat setiap orang tidak bahagia, termasuk diri mereka sendiri. Anda merupakan korban pertama dari kemarahan Anda sendiri. Kesadaran ini merupakan hal lain yang menarik saya pada ajaran Buddha.

Pada hari-hari awal saya, saya percaya bahwa Anda menjalani sebuah kehidupan yang bermoral agar tidak mengganggu kedamaian dan keharmonisan masyarakat. Dengan kata lain, sebagai seorang Hindu, saya memahami bahwa seseorang harus menjalani kehidupan yang bermoral sebagai kewajiban dalam bermasyarakat.

Tetapi saat saya mengikuti pelatihan sepuluh hari saya yang pertama, saya mulai memahami bahwa saya tidak memiliki kewajiban terhadap siapa pun yang lain, saya memiliki kewajiban terhadap diri saya sendiri. Karena ketika saya melakukan tindakan apa pun yang tidak baik, saya tidak akan dapat melakukan tindakan tersebut, kecuali saya telah memunculkan kotoran batin dalam pikiran saya.

Setiap noda batin, setiap tindakan yang tidak baik, diawali oleh pikiran yang tidak baik. Sebagaimana dikatakan Buddha, “Pubbe hanatu attanam, paccha hanati so pare” – “Mula-mula Anda akan membahayakan diri Anda sendiri, baru kemudian membahayakan orang lain.” Anda tidak dapat membahayakan siapa pun tanpa membahayakan diri Anda sendiri.

Baca juga: Jalan Kedamaian Ada di Meditasi, Kok Bisa?

Hal itu sungguh menyadarkan saya. Sebelumnya, saat saya marah, pikiran saya terserap dalam pemikiran tentang orang lain beserta situasinya. Pikiran saya akan berkisar di seputaran hal tersebut tanpa mengetahui bahwa pemikiran yang demikianlah yang memberikan bahan bakar bagi api kemarahan. Saya belum pernah diajar untuk mengamati diri saya sendiri.

Ketika saya mulai mengamati diri sendiri, saya menemukan kemarahan, banyak kebakaran. Sekujur tubuh saya membara, detak jantung saya meningkat, tekanan meninggi.  Saya berpikir, “Apa yang saya lakukan? Saya sedang membakar diri saya sendiri!”

Setelah mempraktikkan teknik meditasi, sekarang saya mengetahui bahwa saat saya menjalani hidup dengan melaksanakan sila saya melaksanakan kewajiban saya sendiri dahulu, dan bukannya orang lain. Orang lain turut melaksanakan kewajiban mereka, adalah sesuatu yang bagus, tetapi, saya adalah orang pertama yang menikmati manfaatnya. Hal inilah yang merupakan perbedaan yang indah dan luar biasa dalam ajaran Buddha jika dibandingkan dengan ajaran lain mana pun yang saya tahu.

 

Norman Fischer: Saya mengerti bahwa Anda bersahabat dekat dengan Yang Mulia Dalai Lama. Dapatkah Anda memberitahu kami, bagaimana hal tersebut berkembang, terutama dikarenakan tradisi Yang Mulia Dalai Lama, dengan segala pernak-pernik dan ritualnya, sungguh kontras dengan pendekatan Anda?

S.N. Goenka: Pada tahun pertama kepindahan saya ke India dari Burma, terdapat fungsi publik yang besar yang dipercayakan oleh para pengikut Dr. Babasaheb Ambedkar yang telah menjadi penganut agama Buddha. Mereka mengundang saya pada perayaan tahunan peringatan hari masuknya Dr. Ambedkar menjadi seorang Buddhis.  Terdapat sekitar satu setengah juta peserta. Yang Mulia Dalai Lama juga diundang, demikian pula saya, beserta guru Jepang Fuji Guruji. Kami diundang sebagai tamu kehormatan, dan masing-masing dari kami memberikan sepatah kata. Sambutan saya diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dan Yang Mulia Dalai Lama sangat menyukainya, sampai-sampai beliau mengatakan ingin bertemu dengan saya untuk mendiskusikan banyak hal.

Kami mulai pada pukul sembilan pagi berikutnya, dan sekitar pukul tiga, kami masih mengobrol – semua tentang teknik. Beliau sangat puas dan bahagia sehubungan penjelasan saya. Tetapi ketika saya berkata, “Terkadang beberapa orang melihat cahaya pada hari kedua atau ketiga,” Beliau menyahut, “Tidak, tidak. Itu pasti sebuah ilusi.  Bagaimana mungkin seseorang melihat cahaya dalam tiga hari? Dibutuhkan bertahun-tahun untuk melihat cahaya.”

Saya membalas, “Tuan Yang Mulia, saya melihat cahaya dengan mata saya. Demikian pula halnya banyak orang lain. Saya tidak akan berkata bahwa itu adalah sebuah ilusi. Lebih baik Anda mengirim beberapa Lama Anda dan membiarkan mereka mengalaminya sendiri. Seandainya saya salah, saya akan mengoreksinya. Saya tidak mengajarkan pada orang-orang bahwa mereka harus melihat cahaya. Itu hanyalah sebuah pertanda semata, sebuah batu penanda pada sebuah jalan yang panjang, bukan tujuan akhir.”

Kemudian beliau mengirim tiga Lama pada pelatihan saya yang berikutnya di Sarnath. Ketiganya melihat cahaya, dan mereka sangat bahagia. Saat mereka kembali dan menjelaskan hal ini pada Yang Mulia Dalai Lama, beliau juga sangat bahagia. Beliau berkata, “Goenka, datanglah kemari dan berikanlah pelatihan pada orang-orang saya.” Kemudian saya menulis balasan pada beliau, “Saat saya memberikan pelatihan, berikut ini merupakan peraturannya.  Saya tidak ingin menyinggung perasaan siapa pun, tetapi jika para Lama senior Anda tidak menyetujui peraturan saya, maka saya tidak dapat mengajar.” Beliau mengirim pesan balik pada saya, “Goenka, mereka akan mengikuti apa pun yang Anda katakan selama sepuluh hari penuh. Jadi jangan khawatir, mereka akan menaati peraturan Anda.”

Pelatihan diselenggarakan di perpustakaan Tibetan di Dharamsala, tidak jauh dari tempat Yang Mulia Dalai Lama tinggal. Pada hari pertama, saat saya memberitahukan peraturan-peraturan saya pada semua Lama peserta yang berasal dari tingkatan yang paling tinggi, mereka memprotes. “Tetapi setiap hari, kami memiliki ritual yang harus dilaksanakan, kami harus menjapa begitu banyak mantra, kami harus begitu banyak kali bersujud/bernamaskara.”

“Tidak ada yang harus dilakukan,” saya menyahut, “Selama sepuluh hari, tidak ada yang harus dikerjakan.” Dan mereka berkata, “Tidak, kami tak dapat melanggar sumpah seumur hidup kami.” Maka saya mengirimkan pesan pada Dalai Lama, “Tuan, saya tidak dapat mengajar. Orang-orang Anda tidak setuju. Maafkan saya, saya harus pergi.” Maka beliau mengirimkan pesan pada para Lama tersebut melalui sekretaris pribadinya, “Anda sekalian harus menaati instruksi Goenka, bahkan sekalipun itu berarti melanggar peraturan kalian. Apa pun yang dikatakannya, Anda sekalian harus setuju untuk mengerjakannya.” Mereka semua melaksanakannya, dan mereka semua mendapatkan hasil yang sama. Dengan atau tanpa ritus, dengan maupun tanpa ritual, teknik ini memberikan hasil.

Lazimnya, saya tidak keluar selama masa pelatihan, tetapi Dalai Lama ingin mendiskusikan bagaimana proses pelaksanaannya, maka saya mengunjungi beliau dua kali. Kami berdiskusi panjang lebar secara rinci tentang teknik yang saya ajarkan dan tentang teknik beliau juga – tanpa menghakimi, hanya membahas dengan rasa keingintahuan yang tulus. Masing-masing dari kami sungguh sangat menikmati diskusi-diskusi tersebut. Sejak saat itu kami menjadi sahabat.

Saya tidak tertarik terhadap politik apa pun. Tentu saja saya memiliki simpati yang mendalam terhadap apa pun yang terjadi terhadap masyarakat Tibet, tetapi saya tidak dapat mengangkat masalah itu. Itu bukan merupakan bagian tugas saya sebagai seorang guru Dharma. Bahkan orang yang paling tidak demokratis, bahkan tiran yang paling agung, akan menjadi seorang manusia yang baik jika ia berlatih. Sebagaimana Buddha tidak tertarik terhadap politik dari para raja pada zaman-Nya, maka itu juga bukan merupakan pekerjaan saya juga. Yang Mulia Dalai Lama memahami hal tersebut dengan sangat baik. Kami bukan merupakan teman politik, melainkan lebih sebagai teman dalam Dharma.

Beliau pernah terus bertanya pada saya tentang sunnata, kekosongan. “Anda tidak menemukan kesunyataan?” demikian beliau akan bertanya. Tetapi setelah saya menjelaskan pemahaman saya tentang hal tersebut, beliau menerima apa yang saya utarakan, bahwa semua kepastian yang kokoh akan melebur dalam teknik, dan tak ada yang tersisa kecuali getaran, dan itulah sunnata.

Selanjutnya Anda akan mengalami sesuatu yang melampaui pikiran dan bentuk-bentuk – sunna – tak ada sesuatu pun untuk dipegang/dilekati di sana. Anda memiliki kesunyaan dari pikiran dan substansi (nama dan rupa), serta kesunyaan dari yang melampaui cakupan kesadaran dan substansi (melampaui nama – rupa). Yang Mulia nampaknya cukup puas dan bahagia dengan penjelasan tersebut. Beliau tidak memiliki keberatan apa pun.

 

S.N. Goenka merupakan seorang guru meditasi vipassana dalam tradisi dari mendiang Sayagyi U Ba Khin dari Burma (Myanmar). (www.lionsroar.com)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *