• Tuesday, 20 August 2019
  • Reza Wattimena
  • 0

Jakarta, 4 Agustus 2019, rumah kami mengalami mati lampu selama kurang lebih 11 jam. Tidak hanya lampu, jaringan telepon selular pun mati. Alhasil, selama 11 jam, saya memiliki waktu hening, dan berada bersama keluarga maupun tetangga sekitar. Mungkin itu salah satu titik terangnya.

Ketika tercabut dari semua teknologi, saya teringat percakapan dengan seorang sahabat. “Coba donk menulis soal move on,” begitu katanya. Itu ide yang menarik untuk saya. Bagaimana kita bisa tetap hidup dalam kejernihan, setelah mengalami peristiwa traumatis, seperti kematian anggota keluarga, putus hubungan ataupun kegagalan-kegagalan lainnya dalam hidup?

Move on… saya tak punya terjemahan yang tepat untuk kata itu. Maju terus? Ah, itu terasa sama sekali tak pas. Lalu, saya menggunakan terjemahan yang tidak harafiah, yakni “dan setelahnya”. Apa yang ada, setelah peristiwa menyedihkan dan mengecewakan menimpa hidup kita?

“Dan setelahnya”

Biasanya, kata itu digunakan untuk menggambarkan orang yang masih merindukan kekasih hatinya, walaupun mereka sudah berpisah. Memang, di abad 21 ini, hubungan antarmanusia amat rapuh. Kebohongan dan perselingkuhan terjadi begitu banyak dan mudah. Tak heran, banyak orang mengalami penderitaan besar justru dari hubungan-hubungan romantis semacam ini.

Namun ,“dan setelahnya” kiranya berlaku tidak hanya untuk berakhirnya hubungan romantis. Dalam politik, hal itu pun kiranya diperlukan. Setelah pemilihan umum, pihak-pihak yang “bertempur” untuk menjadi pemimpin politik kiranya perlu juga untuk move on. Jika tidak, perpecahan akan menimbulkan banyak masalah bagi keutuhan bangsa.

Ini dilakukan dengan satu kesadaran, bahwa politik mafia adalah permainan belaka. Kawan bisa menjadi musuh tak lama di masa depan. Lawan bisa menjadi sekutu tak lama kemudian. Hal ini dengan mudah dilihat di politik Indonesia pasca pemilihan umum 2019 lalu.

Kata “dan setelahnya” juga bisa diterapkan oleh orang-orang yang merasa gagal dalam pekerjaannya. Setelah bisnis gagal, apa yang ada setelahnya? Setelah dipecat dari perusahaan lama, apa yang ada setelahnya? Kemampuan untuk bertanya seperti ini sebenarnya merupakan tanda, bahwa orang sudah siap untuk memasuki tahap hidup berikutnya. Pertanyaannya, apakah ia mampu?

Dendam dan trauma

Kemampuan untuk berpikir “dan setelahnya”, atau move on, juga penting untuk melampaui dendam. Ketika orang menyakiti kita, rasa marah dan kecewa akan muncul. Sakit yang dalam, dibalut dengan marah dan kecewa, akan melahirkan dendam. Kita lalu berencana untuk menyakiti orang tersebut, sebagaimana ia telah menyakiti kita.

Hal yang sama terjadi terkait trauma. Trauma adalah peristiwa menyakitkan yang terjadi di masa lalu, namun ia mengulang dirinya sendiri di dalam ingatan kita. Pengulangan ini membuat luka yang dahulu ada lestari hingga saat ini. Orang pun tak mampu hidup secara jernih dan damai di sini dan saat ini.

Trauma dan dendam membuat pola pikir “dan setelahnya” menjadi sulit. Orang terjebak di masa lalu. Ini sebenarnya yang disebut sebagai neraka. Orang kehilangan hidupnya yang sebenarnya selalu terjadi di sini dan saat ini.

Orang yang mampu berpikir “dan setelahnya” (move on) berarti siap untuk hidup disini dan saat ini. Masa lalu telah berlalu, dan tersisa sebagai ingatan. Rasa sakit, akibat peristiwa menyakitkan di masa lalu, mungkin tetap ada. Namun, ia terasa jauh dari apa yang terjadi di sini dan saat ini.

Arti penting “dan setelahnya”

Mengapa ini semua penting? Ada empat hal yang kiranya penting diperhatikan. Pertama, hidup yang terjebak pada dendam dan trauma adalah hidup yang penuh beban. Orang menjalani hari-harinya tidak dengan gembira dan ringan, tetapi dengan beban berat ingatan yang bahkan sampai terasa sakitnya di dada dan punggung. Hidup semacam ini amat tidak sehat.

Dua, dalam jangka panjang, hidup di masa lalu akan bermuara pada depresi. Ada banyak arti dari depresi. Yang paling sering muncul adalah kesedihan mendalam yang terjadi tanpa alasan yang jelas untuk jangka waktu lebih dari tiga bulan. Jika tak diolah dengan baik, depresi akan mendorong orang untuk menyakiti dirinya sendiri.

Tiga, hidup di masa lalu, sehingga tak mampu mengambil langkah “dan setelahnya”, akan membuat orang tak mampu melihat keadaan secara jernih. Pikirannya kacau. Emosinya gundah. Banyak peluang di saat ini pun akan terabaikan.

Empat, hidup di masa lalu berarti hidup di dalam mimpi. Walaupun indah, mimpi tetaplah mimpi. Ia membuat kita terlena, dan ketika bangun tiba-tiba, rasa kaget dan kecewa pun muncul. Walaupun menyakitkan, namun kenyataan akan membuatmu bebas.

Maka, move on, atau berpikir “dan setelahnya” amatlah penting. Hidup yang indah akan berlalu, jika kita terjebak di masa lalu. Ah, berkata memang mudah. Namun, bagaimana caranya, supaya kita bisa melakukannya?

Beberapa langkah

Ada lima hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, kita harus menjaga jarak dari ingatan kita. Ingatan adalah hasil ciptaan dari pikiran, dan pikiran kerap menipu kita. Seringkali, yang sebenarnya terjadi benar-benar berbeda dari pikiran maupun ingatan yang kita miliki. Maka, berhati-hatilah dengan pikiran.

Dua, untuk bisa menjaga jarak dari ingatan, kita perlu untuk kembali ke saat ini. Sejatinya, kita selalu hidup disini dan saat ini. Namun, ketika kita terjebak pada ingatan dan pikiran, kita melepaskan saat ini, dan hidup dalam mimpi. Ada banyak cara untuk kembali ke saat ini, misalnya dengan mengamati nafas, merasakan sensasi-sensasi pada kulit, mendengar suara sekitar dan sebagainya. Meditasi dan yoga amat membantu dalam hal ini.

Tiga, hubungan dengan orang lain juga penting untuk diperhatikan. Jika kita memang berbuat salah, kita perlu meminta maaf terhadap orang yang kita lukai. Jika kita disakiti, kita perlu mengampuni orang yang telah menyakiti kita. Kesadaran untuk hidup di saat ini amat penting di dalam melakukan proses ini. Ini tidak mudah, namun amat penting untuk dilakukan.

Empat, ini mungkin yang terpenting, yakni kita perlu memahami jati diri kita yang sebenarnya. Jati diri kita yang asli terletak sebelum pikiran dan emosi. Ia jernih dan cerah. Ia mampu menggendong semua emosi dan pikiran, tanpa tercampur olehnya.

Inilah yang disebut sebagai “pikiran cermin”. Ia memantulkan, tanpa terkotori oleh benda apa pun. Ia kerap kali disebut juga sebagai kesadaran murni. Dengan mengenali kesadaran di dalam diri kita, kita akan lebih mudah untuk berpikir “dan setelahnya” (move on).

Semua ini adalah proses. Ia tidak langsung jadi. Kita perlu berlatih. Jika gagal, kita perlu untuk terus mencoba. Kita bisa memilih metode yang paling tepat untuk kita. Atau kita bisa merumuskan metode kita sendiri.

Jangan padam

Sampai 5 Agustus 2019 ini, masih banyak berita, bahwa pemadaman listrik akan terus berlangsung. Keluarga kami sempat mengalami “trauma”, karena kekurangan air tadi malam. Muncul juga perasaan marah di dalam diri saya terhadap para pimpinan dan pekerja PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ayolah, Anda perlu bekerja lebih profesional.

Saya teringat tadi malam. Di tengah gelap gulita ibu kota, saya terdiam. Sekeliling saya tetap ramai. Beberapa tetangga berkumpul untuk berbincang-bincang.

Saya sendiri perlu untuk menjalani “dan setelahnya” (move on) dari berbagai peristiwa yang menghantam hidup saya beberapa tahun ini. Saya memahami metodenya. Saya juga pernah menerapkannya. Tapi, kali ini, apakah saya mampu? Kita lihat saja, apa yang terjadi setelahnya…

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *