• Saturday, 27 July 2019
  • Adica Wirawan
  • 0

Sejak beberapa bulan terakhir, saya rutin berdana setiap hari. Tanpa bermaksud pamer, alasan saya melakukan hal itu adalah untuk “menguji” Ajaran Buddha tentang hasil berdana. Bukankah dalam banyak Sutta, Buddha sering mengajarkan umatnya untuk berdana karena praktik ini diyakini memberi banyak manfaat?

Tak hanya sekali-dua kali, ajaran tadi terus diulang dalam berbagai kesempatan. Buddha tentu punya alasan yang kuat dalam melakukan hal tersebut. Sebab, berdasarkan pengalaman-Nya, berdana adalah praktik yang sifatnya sangat dasariah. Sebagai Bodhisattwa, Ia telah mempraktikkan berdana dalam banyak kehidupan. Berkat rutin berdana jugalah, Ia akhirnya bisa merealisasi Kebuddhaan.

Buddha memandang bahwa praktik berdana penting dilakukan karena hal itu adalah fundamental bagi kehidupan. Hal ini ada benarnya. Sebab, kalau kita merunut cerita sejarah, nenek moyang kita mampu bertahan hidup karena gemar berdana kepada kelompoknya. Saat seseorang mendapat cukup makanan, misalnya, ia akan membaginya secara sukarela kepada orang lain yang kekurangan. Pun sebaliknya.

Hal itu akhirnya menciptakan “ikatan” yang kuat dalam kelompok. “Ikatan” itulah yang kemudian membuat suatu kelompok dapat bertahan mengatasi beragam jenis rintangan. Tanpa “ikatan” sosial tadi, tidak ada kerja sama dalam kelompok, dan tanpa dukungan dari kelompoknya, mustahil individu dapat bertahan hidup sendirian.

Lebih lanjut, menurut Buddha, berdana juga bisa membuahkan banyak berkah. Dalam Culakammavibhanga Sutta, misalnya, Buddha menjelaskan bahwa berdana adalah penyebab bagi kebahagiaan duniawi dan surgawi. Orang yang rajin berdana akan memperoleh kekayaan, kemasyuran, dan kebaikan dalam hidupnya.

Atas dasar itulah, Buddha sering menekankan praktik berdana kepada para umatnya. Saking pentingnya berdana, Buddha sampai berujar, “Andaikan seseorang tahu hasil dari praktik berdana, ia tidak akan menyantap makanan tanpa membaginya terlebih dulu kepada orang lain, biarpun itu suapan terakhir yang tersedia!”

Praktik berdana sejatinya tidak banyak berubah dari waktu-waktu. Yang berbeda mungkin adalah cara memberikan dana. Kalau dulu, pada masa Buddha, orang-orang umumnya berdana dengan tangannya sendiri, kini hal itu bisa dilakukan dengan cara yang lebih “inovatif”, yaitu lewat transfer.

Saya pribadi sering berdana dengan cara demikian. Sewaktu saya melihat ada orang yang menggalang donasi untuk pengobatan penyakit keluarganya, saya biasanya langsung mengirim dana via transfer. Semua dilakukan tanpa perlu bertatap muka dan saling kenal. Sungguh praktis dan efisien, menurut saya.

Meski begitu, hati saya sering “dihantui” keraguan. Saya jadi bertanya-tanya. Apakah dana yang diberikan dengan cara begitu akan menghasilkan buah kamma baik yang berkualitas?

Kalau “bercermin” pada Sappurisa Dana Sutta, hal itu jelas di luar kriteria. Sebab, satu syarat dana yang baik ialah diberikan lewat tangan sendiri. Mentransfer dana sepertinya tidak termasuk sebab kita menyerahkan dana tanpa bertemu langsung kepada orang yang menerima dana tadi.

Belum lagi, tanpa bertatap muka secara langsung, bukankah ada sesuatu yang “kurang” saat kita memberikan dana? Hal itu tentu bukan pepesan kosong. Pembaca mungkin bisa coba sendiri.

Pada suatu kesempatan, cobalah berdana secara langsung. Kemudian, pada kesempatan lain, cobalah berdana via transfer. Berdasarkan pengalaman saya, rasanya beda. Dana yang diberikan dengan tangan sendiri terasa lebih “emosional” daripada yang disalurkan lewat transfer.

Teknologi

Jadi, kalau berbeda, apakah kualitas buah kamma dari pemberian via transfer lebih “rendah” daripada pemberian yang dilakukan secara langsung? Jawaban tadi tampaknya perlu dianalisis terlebih dulu. Sebab, ada kriteria lain, yang juga mesti dipertimbangkan, seperti cara mendapat dana, rutinitas, dan kualitas batin.

Dalam Sappurisa Dana Sutta, disebutkan bahwa dana yang diperoleh dengan cara yang benar akan membuahkan hasil yang lebih unggul. Dana demikian dikatakan bersih, bebas dari noda, karena didapat dengan cara yang “halal”.

Makanya, dana yang berasal dari pencurian, perampokan, atau korupsi, meskipun diberikan dalam jumlah yang banyak, hanya akan menghasilkan buah kamma yang rendah daripada sebuah dana kecil yang didapat dari penghidupan yang benar.

Kemudian, dana yang diberikan secara rutin bisa menghasilkan buah kamma yang lebih baik daripada pemberian yang dilakukan hanya sesekali. Ibarat tetesan air yang pelan-pelan memenuhi tempayan, dana yang diberikan sedikit demi sedikit akhirnya bisa membuahkan pahala yang besar.

Baca juga: Berdana Melalui Media Sosial

Atas dasar itulah, jangan heran, para siswa Buddha yang berbakti, seperti Anathapindika dan Ratu Mallika, rajin berderma setiap hari. Mereka berkeyakinan, dengan menanam kamma baik setiap hari, hasilnya pun bisa dipanen setiap hari juga. Ibarat menabung, lama-lama “lumbung kebajikan” mereka akan penuh dan hal itu akhirnya menciptakan kesejahteraan untuk mereka di dunia dan di akhirat.

Lagipula, kualitas dana juga ditentukan oleh kualitas hati. Buddha menyebutkan enam syarat persembahan yang bisa memberikan pahala yang luar biasa. Enam syarat tadi bisa dibagi atas tiga kualitas hati yang dimiliki si pemberi dan tiga kualitas hati si penerima.

Kualitas hati yang bahagia sebelum, ketika, dan sesudah mempersembahkan derma, diyakini akan mampu memaksimalkan buah kamma yang akan diperoleh si pemberi. Apalagi, kalau hal itu dilengkapi dengan kualitas hati dari si penerima yang telah melenyapkan kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin.

Ibarat menanam satu pohon yang pada kemudian bisa berbuah banyak, jasa kebajikan yang sudah diperbuat tadi bisa memberi hasil berkali-kali lipat, tak hanya dalam kehidupan ini, tetapi juga kehidupan berikutnya.

Dari pertimbangan tadi, kita tentu bisa menilai bahwa dana yang diberikan via transfer belum tentu kualitas buah kammanya lebih rendah daripada yang dipersembahkan secara langsung.

Asalkan dana tersebut diperoleh dengan cara yang halal, diberikan secara rutin, dan disertai dengan hati yang gembira, boleh jadi, buah kamma yang “dipanen” akan lebih banyak.

Salam.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

 

» Apabila Anda merasa bahwa BuddhaZine menambah khazanah informasi Buddhadharma untuk Anda, keluarga, maupun sahabat. Anda dapat bersama kami, dalam mengabarkan kebaikan dengan berdana ke rekening kami.
Rek BuddhaZine: BCA | Jo Priastana | 485 0557 701 «

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *