“Tujuan utama kita dalam hidup ini adalah menolong orang lain. Jika Anda tak bisa menolong mereka, setidaknya jangan menyakiti mereka,” ini ucapan dari Dalai Lama yang jadi salah satu kutipan favorit penulis.
Kutipan ini sering dimodifikasi untuk berbagai keadaan. Misalkan untuk menasihati anak yang merasa belum mampu membahagiakan kedua orangtuanya. Atau sebaliknya, membesarkan hati ibu atau bapak yang merasa anaknya “belum jadi apa-apa” yang bisa membahagiakan orangtua.
“Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Memang kamu belum bisa membahagiakan kedua orangtuamu, tapi setidaknya kamu juga tidak menyusahkan kedua orangtuamu.”
“Bapak ibu tidak usah berkecil hati. Memang anak bapak dan ibu belum jadi orang sukses, atau bisa membelikan ini dan itu untuk orangtuanya, tapi setidaknya dia sudah tidak menyusahkan atau membebani orangtua.
Coba lihat anak orang lain, ada yang terjerat kasus kriminal. Tertangkap karena mengedarkan narkoba, ada yang hamil sebelum menikah, ada yang orangtuanya didatangi debt collector karena anaknya punya utang dalam jumlah besar tapi melarikan diri…”
Baca juga: Mau, Anak Kita Pindah Agama?
Titik nol
Kutipan kalimat bijak dari Dalai Lama tersebut bisa dimodifikasi untuk banyak kasus. Anda sedang mengendarai motor, tiba-tiba sebuah sepeda motor di depan Anda mengalami kecelakaan tunggal dan terjatuh. Apa tindakan Anda?
Idealnya, Anda berhenti dan menolong. Ini hal yang positif. Anda berlalu saja tanpa melakukan apa pun (mungkin ada keperluan lain yang lebih mendesak). Ini yang penulis sebut sebagai titik nol. Dan yang ketiga, Anda berlalu sambil mengeluarkan ucapan yang kurang enak, “Rasain lu…”
Dalam sebuah garis bilangan, di bagian tengah ada titik dengan angka nol. Di sebelah kiri titik nol adalah bilangan negatif, dan di sebelah kanan titik nol adalah bilangan positif.
Orangtua mana pun pasti ingin anaknya jadi yang terbaik. Nilai di raport bagus, kalau bisa malah juara kelas. Juara menyanyi, juara menggambar, dan juara lainnya. Pokoknya, jadi yang terbaik dan membanggakan orangtua.
Hal inilah yang terjadi pada banyak orangtua. Jangan heran, jika ada lomba, orangtua jauh lebih aktif daripada anaknya yang jadi peserta lomba. Pada kasus tertentu, orangtua berlaku curang. Dari sekadar memberi arahan warna apa yang harus digunakan, hingga menggunakan bahasa tubuh untuk memberikan contekan agar anaknya bisa menjawab pertanyaan juri.
Dan, untuk membuat anaknya berprestasi, segala upaya dilakukan. Memaksa anak ikut berbagai les (les privat pelajaran sekolah, les piano, les bahasa Inggris, les bahasa Mandarin, dan lan-lain).
Kami tidak ingin terjebak pada pola sama. Kedua anak kami dibebaskan memilih (mau les atau ikut ektrakurikuler apa). Hanya anak sulung yang ikut les privat pelajaran sekolah, yang bungsu memilih belajar sendiri di rumah. Syukurnya, keduanya selalu masuk 5 besar di kelasnya. Kalaupun prestasinya sedang turun, masih dalam 10 besar.
Jangan menambah beban anak
Punya anak dengan prestasi terbaik, tentu ini merupakan dambaan semua orangtua. Namun harus diingat, tidak semua anak dilahirkan dengan kemampuan yang sama. Tidak semua bisa berprestasi di pelajaran sekolah. Ada banyak bidang di luar sana, bukan hanya pelajaran sekolah.
Dan harus diingat, dalam setiap lomba, yang menang hanya 3 atau maksimal 6. Juara 1, 2, dan 3 atau ditambah juara harapan 1, 2, dan 3 jika pesertanya sangat banyak. Andai peserta sebuah lomba ada 10 peserta saja, dan anak Anda tidak juara, itu artinya ada 7 orang yang juga tidak juara. Anak Anda bukan satu-satunya yang tidak juara. Lebih banyak yang tidak juara daripada yang juara.
Ini tidak berarti ikut lomba tapi tidak ada target. Boleh saja ada target, namun jika tak tercapai, harus dievaluasi. Apa yang harus diperbaiki agar di kemudian bisa lebih baik, bukan memarahi anak yang sudah stres karena kalah.
Putra saya pernah mewakili sekolah untuk lomba scrabble dan tidak juara. Tahukah Anda beban apa saja yang sudah dia tanggung? Pertama merasa bersalah karena tidak mampu membawa pulang piala untuk sekolah. Kedua, ada saja teman yang nyinyir, “Wah… payah, kamu kalah” dan komentar miring lainnya.
Haruskah Anda tambah beban si anak dengan memarahinya di rumah? Penulis memilih untuk mengurangi beban mentalnya. “Memang berkomentar jauh lebih mudah. Komentator sepak bola terlihat jauh lebih hebat daripada pemain bola paling top. Biarkan teman-temanmu bisa berkomentar begitu. Kamu memang kalah, baru menang babak pertama, lalu kalah di babak kedua.”
“Tapi temanmu yang berkomentar, dipilih saja tidak untuk ikut seleksi. Kalaupun terpilih untuk seleksi, ia pun tidak lolos jadi wakil dari sekolah. Jadi tidak perlu berkecil hati mendengar komentar nyinyir dari teman seperti itu. Orang sering mengatakan, sirik tanda tak mampu,” begitu nasihat penulis.
Baca juga: Bhikkhu Sri Pannyavaro: Lindungilah Anak-anak dari Perbuatan Jahat dengan Cinta Kasih Orangtua
“Prestasi” titik nol
Jadi… jika anak Anda atau siapa saja yang Anda rasa berada di titik nol, jangan terlalu berkecil hati. Siapa pun di dunia ini ingin menjadi yang terbaik. Tapi ingatlah, yang mendapat medali emas untuk sebuah lomba hanya satu orang.
Anda masih bisa bersyukur jika rekan Anda tersebut masih berada di titik nol. Ia memang belum berprestasi (bilangan postif), tapi setidaknya ia juga tidak berada di daerah bilangan negatif.
Anda tentu sepakat, kita harus bersyukur meski anak kita terlihat “biasa” saja, toh setidaknya dia tidak merepotkan atau menambah beban kita. Atau ketika kita terjatuh, jangan sakit hati jika ada orang yang lewat dan pergi begitu saja tanpa menolong kita. Kita masih bisa bersyukur, orang lewat tersebut tidak berteriak kegirangan, “Rasain lu…”
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan. Pembuat Apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara