Gambar seram itu sudah dipasang lama. Ia tampak jelas di berbagai penjuru rumah sakit. Tubuh perokok yang penuh dengan kerusakan organ, dari jantung sampai paru-paru. Gambar serupa sudah dipasang di setiap bungkus rokok.
Namun, itu tak menggetarkan para perokok. Mungkin saja, mereka kecanduan. Mungkin juga, mereka tak peduli. Mereka tahu, bahwa merokok itu merusak kesehatan. Namun, merokok jalan terus.
Lampu lalu lintas itu juga terlihat jelas. Merah berhenti. Hijau jalan. Kuning berarti saatnya berhati-hati.
Mata juga jelas melihat. Namun, rambu lalu lintas itu tampak tak berarti. Orang tak sabaran untuk sampai tempat tujuan. Tak peduli, jika kematian menjemput lebih cepat, dan menyusahkan banyak orang.
Cara beragama itu sudah jelas menindas perempuan. Ia juga membunuh akal sehat, menganggu ketertiban umum dan penuh dengan kekerasan. Mengapa kita masih memeluknya? Mengapa kita masih mengikuti perintah-perintahnya yang penuh dengan kebodohan dan kesempitan berpikir?
Padahal, negara dengan agama yang kuat cenderung miskin dan terbelakang. Mereka penuh dengan konflik berkepanjangan. Hak-hak kaum perempuan diinjak-injak. Kebudayaan mereka rendah dan terbelakang. Di kancah internasional, mereka juga sering membuat kekacauan yang tak penting.
Inilah kebebalan. Kita melakukan sesuatu, tanpa dasar yang masuk akal. Kita memeluk sesuatu, tanpa pijakan akal sehat dan hati nurani. Kita seperti korban cuci otak yang melakukan apapun yang merusak, tanpa sikap kritis.
Di Indonesia, kita bisa menemukan kebebalan di setiap bidang kehidupan. Sikap pejabat negara dan pegawai negeri yang tak peduli pada rakyat. Kerja lembaga pemerintah yang justru merugikan rakyat. Pola pendidikan yang memperbodoh dan menyiksa, namun tetap dipertahankan.
Mengapa kita bebal? Mengapa kita terus melakukan sesuatu yang merusak? Mengapa kita terus beragama dengan cara yang sempit, bodoh dan terbelakang? Di era informasi seperti sekarang ini, kita justru hidup seperti orang yang kurang pengetahuan.
Tujuh akar sikap bebal
Ada tujuh hal yang kiranya bisa menjelaskan. Pertama, belajar dari Plato, pemikir Yunani Kuno, terutama dalam bukunya yang berjudul Protagoras, kebebalan berakar pada kurangnya pengetahuan. Orang tak melakukan hal yang baik, karena ia tak sungguh paham soal yang baik tersebut. Ia hanya tahu, tetapi tidak sungguh memahaminya secara mendalam.
Akibatnya, ia terus berbuat salah. Ia sudah menerima informasi. Namun, informasi belum menjadi pengetahuan yang mendalam. Akibatnya, kesalahannya berulang, dan memperparah keadaan.
Dua, Aristoteles, juga pemikir Yunani Kuno, di dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics, berpendapat, bahwa kebaikan itu lahir dari kebiasaan. Kebaikan tidak hanya pengetahuan konseptual, tetapi juga perilaku yang berulang. Hal serupa berlaku untuk menjelaskan kejahatan. Kita bebal, karena kita sudah terbiasa bebal.
Orang tua kita bebal. Guru-guru kita bebal. Lingkungan kita bebal. Kita pun terbiasa bebal, dan tak melihat itu sebagai sesuatu yang salah.
Ini kiranya terkait dengan penjelasan ketiga, bahwa kebebalan sudah menjadi hal banal. Ia adalah hal biasa, dan bahkan sudah menjadi budaya. Ini kiranya sejalan dengan pandangan Hannah Arendt, seorang pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Banality of Evil. Kejahatan tak lagi terlihat sebagai kejahatan, karena ia sudah menjadi tawar, banal dan membudaya.
Banalitas kebebalan ini kiranya berakar pada alasan keempat, yakni ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Inilah kiranya pandangan Martin Heidegger, pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Holzwege, sebuah kumpulan tulisan. Orang menjalankan sesuatu, tanpa sikap kritis. Pikiran digunakan secara terbatas untuk hal-hal teknis, namun tak digunakan untuk bersikap kritis, atau untuk menggali hal-hal yang lebih mendasar di dalam kehidupan.
Lima, dari sudut pandang Kebijaksanaan Timur, kebebalan, dan semua bentuk kejahatan, lahir dari ketidaktahuan tentang hakekat diri sendiri (Moha). Orang tak paham, siapa mereka sebenarnya, sehingga terjebak di dalam kebodohan. Mereka terjebak pada pikiran dan identitas sempit. Akhirnya, tindakan mereka di dunia pun cenderung tak masuk akal, dan merusak keadaan.
Pembiaran dan kemiskinan teladan
Enam, dari sudut pandang filsafat politik dan hukum, kebebalan lahir dari pembiaran. Pelanggaran hukum dan radikalisme agama berkembang, karena dibiarkan. Penegak hukum yang lemah dan korup adalah salah satu akar kejahatan di Indonesia. Sekali kejahatan dibiarkan, maka ia akan terus berjalan, dan bahkan menjadi kebiasaan yang berakar dalam.
Tujuh, krisis keteladanan juga berperan penting di dalam melestarikan sikap bebal. Para pemimpin politik bersikap curang dan korup. Para pemimpin agama dan masyarakat berpikiran sempit dan rakus kekayaan. Ingat, ikan membusuk dari kepalanya. Sebuah negara membusuk mulai dari para pimpinannya.
Kebebalan akan berujung pada kematian yang menyiksa. Semua orang, tanpa kecuali, pasti mati. Yang membedakan adalah cara mereka menuju kematian. Jika sikap bebal tak dilampaui, kematian akan terasa begitu menyiksa, karena penuh dengan penderitaan, kesalahan berpikir dan menyusahkan banyak orang.
Maka, sikap bebal, dalam segala bentuknya, haruslah dihindari. Kita harus belajar untuk hidup sensibel. Artinya, kita hidup dengan akal sehat dan nurani yang bersih. Kita paham apa yang sungguh baik, dan menjalakannya dalam hidup kita. Ketika kematian tiba, kita bisa pergi dengan lega. Hidup sudah dijalani dengan bermakna, dan kini saatnya menjalani tahap berikutnya. Kita sudah siap.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara