• Wednesday, 18 November 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Budaya dan agama seringkali dibahas berpasangan. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Keduanya juga telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Di sisi lain, budaya dan agama berbeda karakteristik.

Apabila budaya lebih identik dengan kebiasaan, cara hidup dan adat istiadat suatu etnis berdasarkan lingkup geografis tertentu; agama identik dengan prinsip, ajaran dan pedoman hidup yang diakui seseorang tanpa perlu memandang etnis maupun terkurung dalam batasan geografis tertentu. Misalnya, seseorang dengan latar belakang budaya Jepang bisa pula merupakan seorang buddhis atau kristiani.

Nah, sebagai sebuah agama yang hidup, agama Buddha senantiasa turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya setempat. Hal ini menjadikannya sebagai budaya yang multikultur, yang hidup, fleksibel, dan mampu beradaptasi dengan kebijaksanaan lokal yang terkandung dalam kehidupan masyarakat setempat.

Sudah banyak contoh dimana agama Buddha yang berkembang di suatu tempat secara geografis, mungkin memiliki elemen kultural yang berbeda dengan agama Buddha yang berkembang di tempat lain. Misalnya saja, agama Buddha di Tibet memiliki elemen kultural yang berbeda dengan agama Buddha di Thailand. Atau agama Buddha di Jawa yang berbeda secara budaya dengan agama Buddha di Jepang.

Lantas, apakah ini menjadi kekuatan atau justru kelemahan? Hal ini menjadikan agama Buddha sebagai agama yang hidup dan tidak satu arah – agama yang memberikan kesempatan bagi budaya setempat untuk turut berkembang bersamanya.

Asalkan prinsip moral dan ajaran dasar agama Buddha masih dipegang teguh oleh masyarakat budaya setempat, ini tidak menjadi masalah. Sejarah mencatat perkembangan agama Buddha yang toleran terhadap budaya dan adat istiadat setempat, tanpa mengusik tradisi-tradisi baik yang ada.

Bahasa dan budaya

Bahkan hal ini tercermin dalam pandangan Buddha sendiri yang mengakui peranan budaya dalam perkembangan ajaran Buddha. Dalam Vinaya, terdapat sebuah kisah yang menceritakan tentang permohonan dua bhikkhu bernama Yamelu dan Tekula.

Karena berasal dari kalangan Brahmana, mereka berdua terpelajar dalam Weda dan meminta Buddha untuk mempertimbangkan agar ajaran Buddha juga distandarkan. Mereka berpendapat dengan banyaknya anggota Sangha yang berasal dari beragam suku, ras, dan latar belakang akan mengotori ajaran Buddha dengan bahasa daerah mereka masing-masing.

Dengan bijaksana, Buddha menolak permohonan tersebut dan menjelaskan bahwa hal tersebut justru akan menyebabkan kerugian dimana penggunaan satu bahasa standar tidak akan menguggah keyakinan bagi mereka yang belum percaya, atau meningkatkan keyakinan bagi mereka yang sudah percaya.

Hal ini justru dapat membahayakan beberapa dari mereka yang sudah percaya. Oleh karena itu, Buddha mengizinkan ajaranNya untuk dipelajari dalam bahasa daerah masing-masing, bahasa yang bisa dimengerti dan dipahami.

Cerita diatas relevan pula dengan perihal budaya menurut pandangan buddhis. Bahasa mencerminkan budaya dan oleh karena itu, sesuai dengan cerita diatas, Buddha berpendapat keliru untuk mengajarkan ajaran Buddha hanya dalam satu bahasa atau budaya, dan Beliau mengizinkan ajaranNya disampaikan dalam konteks budaya setempat.

Beragam bentuk

Sepanjang perkembangannya, terlepas dari pasang-surutnya, agama Buddha turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai budaya. Kesemuanya ini membentuk sebuah budaya buddhis yang multikultur dan inklusif. Ragam budaya buddhis sendiri dapat dilihat pada berbagai bentuk seperti seni buddhis, tradisi buddhis, bahasa buddhis, arsitektur buddhis, festival buddhis, masakan buddhis, maupun elemen budaya buddhis lainnya.

Sebagai contoh, agama Buddha banyak menginspirasi seni musik, pertunjukkan, lukisan dan pahatan di berbagai negara di Asia seperti seni Tiongkok, India, Sri Lanka, maupun Jepang. Dari sisi tradisi, agama Buddha turut menginisiasi tradisi-tradisi unik yang berpadu dengan budaya setempat seperti tradisi ngeteh ala Zen/Chan, tradisi chanting dan ragam teknik meditasi buddhis.

Bahasa juga turut terpengaruh. Contohnya bahasa Pali yang saat ini secara eksklusif digunakan oleh agama Buddha Theravada, atau bahasa Sansekerta dan Mandarin yang lebih banyak digunakan oleh agama Buddha Mahayana.

Bahasa Mandarin dan Asia lainnya juga sedikit banyak menyerap istilah-istilah buddhis. Terkait arsitektur, agama Buddha turut memperkenalkan arsitektur buddhis yang menyesuaikan budaya setempat seperti wat, wihara, stupa, pagoda maupun cetiya.

Meskipun demikian, agama Buddha dalam perkembangannya tetap mengadopsi sedikit banyak elemen budaya India dan sekaligus memperkenalkannya ke negara-negara lain, menjadikannya sebagai duta budaya India yang paling sukses hingga saat ini. Ini membuktikan pula bagaimana perkembangan sebuah agama dapat disebarkan melalui jalur damai dan pertukaran budaya, tanpa perlu adanya kekerasan dan peperangan.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *