Hari itu Kamis (27/08) menjadi hari yang membahagiakan, sarat akan makna dan harapan luhur bagi warga Dusun Pringamba, Desa Aribaya, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara. Secara serentak warga berkumpul untuk melakukan tradisi puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, alam semesta, dan juga para leluhur.
Sebuah wujud penghormatan, rasa syukur serta dharma bakti atas berkah kerukunan, keharmonisan, dan kemakmuran hidup yang selama ini mereka kecap. Terwujud dalam sebuah ritual Ruwat Bumi.
Momentum bulan Suro sebagai bulan yang sakral bagi masyarakat Jawa, terutama masyarakat Dusun Pringamba menjadi bulan yang tepat untuk mengadakan ritual ruwatan.
Namun kondisi pandemi mengharuskan adanya perbedaan dalam pelaksanaan ritual, “Sempat kami bingung karena saat ini sedang ada pandemi Covid-19 ini, sehingga kami selaku panitia menghimbau warga agar meningkatkan kewaspadaan dalam menjalankan ritual yang sudah menjadi tradisi wajib ini.
Tapi bagaimanapun ini harus tetap dilakukan, berdasarkan pengalaman yang telah para pendahulu kami lalui ketika melewatkan ritual ini membuat kami tidak berani meninggalkan tradisi ini.
“Menjadi perhatian utama bagi para pemangku dusun dan panitia untuk selalu mengingatkan para warga mematuhi protokol kesehatan baik sebelum, selama, maupun sesudah ritual ruwatan,” ungkap Suroyo, ketua panitia Ruwat Bumi.
Di pagi hari ketika mentari baru saja memperkenalkan diri, para warga sudah hilir mudik di sekitar panggung utama yang terletak di tengah dusun. Para priyayi kakung (laki-laki) berdandan mengenakan beskap serta blangkon, berbalut jarit motif batik.
Para priyayi putri menghias diri dengan kebaya dan sanggul bagi yang ibu-ibu, sedang bagi para remaja putri mengenakan kebaya bergaya kekinian. Beberapa bahkan mendadak memesan kepada tukang jahit yang sengaja dibuat khusus untuk dikenakan saat ritual.
Sebagian remaja laki-laki maupun perempuan menjadi simbol prajurit masa lalu, sebagian lainnya membawa seperangkat alat musik tradisional untuk mengiringi arak-arak saat ritual. Mereka adalah group seni yang ada di Dusun Pringamba, satu group adalah kesenian jatilan, sementara satu group lain adalah group kesenian ceping.
Di antara perkumpulan warga muncul satu kearifan yang sangat terasa, bahwa meskipun di Dusun Pringamba secara agama ada dua yaitu Islam dan Buddha namun dalam ritual ini tidak ada sesuatu yang menonjolkan simbol keagamaan.
Semua nampak sama dan berseragam dalam balutan budaya Jawa. Seakan tradisi menjadi sarana permersatu semua perbedaan serta sarana untuk melebur dalam kebersamaan tanpa memandang agama. Nilai kerukunan dan keharmonisan yang sudah mereka maknai sejak dulu kala ketika mereka mulai mengenal tradisi ruwat bumi.
Perlahan mulai terdengar alunan bendhe dan beduk, mereka mulai bergerak menuju titik-titik persembahan yang terletak pada sebuah bukit di atas dusun. Kurang lebih satu kilometer perjalanan yang akan mereka lalui, menerjang dingin udara sebuah kawasan berketinggian kurang lebih 900 mdpl.
Kaki-kaki yang seakan tak mengenal letih, dengan penuh khidmat melangkah menyusuri jalan berbatu, berbelok-belok dan menanjak. Keriangan anak-anak kecil turut mewarnai ritual sepanjang perjalanan.
Mulai memasuki kawasan bukit, bagai semut yang hendak bermigrasi, segerombolan warga berseragam pakian adat khas Jawa berbaris memanjang menelusup di antara perkebunan salak.
Para lelaki yang energik dan penuh semangat memikul gunungan hasil bumi, sebagian membawa berbagai sesaji, sedangkan para perempuan nampak anggun dengan kebayanya mengiringi jejak langkah para sesepuh pemangku dusun menuju sebuah petilasan.
Dua dara muda beriringan membawa kendi berisi air bunga, salah satu unsur persembahan ruwatan. Iringan gamelan yang terus bergaung menjadi penjaga semangat untuk tetap berjalan hingga tujuan.
Terdapat sebuah petilasan di antara rerimbun kebun salak, mereka menamainya dengan Bramasari. Sebuah petilasan dari Ki Ageng Bramasari.
Dari tutur salah satu pemangku dusun, dahulu kala di Dusun Pringamba terjadi sebuah kekacauan di mana banyak tanaman-tanaman warga yang diserang hama. Warga mengalami paceklik yang cukup menyulitkan untuk hidup makmur.
“Konon kondisi kala itu yang akhirnya memaksa para sesepuh dusun mencari cara untuk menanggulanginya. Bersama dengan warga melakukan ritual di petilasan Bramasari. Kala itu ritual dilakukan secara sederhana namun ada hal wajib yang harus dipenuhi, yaitu tari ronggeng.”
“Para sesepuh akan membawa ronggeng ke lokasi petilasan untuk kemudian melakukan puja dengan sebuah tarian yang dilakukan oleh para sesepuh itu sendiri dengan ronggeng yang mereka bawa,” tutur Pak Raban, pejabat desa dari Dusun Pringamba.
Hingga kini tarian ronggeng menjadi satu kewajiban yang harus ada dalam pelaksanaan ruwat bumi. Menurut Suroyo, meskipun sulit tapi panitia harus mencari ronggeng yang memang benar-benar bisa karena itu wajib ada.
“Biasanya jauh-jauh hari bahkan bisa satu bulanan lebih waktu yang kami butuhkan untuk mencari seorang ronggeng. Ketika menetapkan waktu untuk ritual, meskipun tetap berpatokan pada perhitungan Jawa tapi juga harus melihat waktu luang dari penari ronggeng,” ungkapnya.
Setiba di titik persembahan teratas, warga mendengarkan alunan doa dan mantra Jawa terucap dari seorang sesepuh Dusun, Mbah Kariyono, sekaligus pemangku adat Dusun Pringamba. Kepulan asap kemenyan dan hio menyeruap di antara duri-duri tajam pohon salak, mengurai keapekan aroma daun kering.
Dengan membawa kembali air bunga dan gunungan hasil bumi yang sudah terbekahi dari petilasan teratas, arak-arak bergerak menuju titik ritual kedua. Pesan moral dan ucapan syukur pun diperdengarkan kepada warga.
“Para saudara semua, para sedulur-sedulur, kita semua secara bersama-bersama telah melakukan puja kepada Dah Hyang Bramasari. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, jalan yang berliku-liku dan menanjak, hingga mencapai puncak, kita bisa mempersembahkan puja ini sebagai wujud syukur kita,” ungkap Mbah Karyono.
Waktu yang sudah siang sekitar pukul 11.00 WIB seharusnya panas begitu menyengat, namun berkat rindang perkebunan salak dan pohon-pohon perdu lain sepanjang rute arak-arak, justru hawa kesejukan yang seringkali menyapa kulit.
Sesaat sebelum arak-arak meninggalkan titik persembahan terakhir untuk kembali ke panggung utama, Mbah Karyono menyampaikan doa dan harapan kepada warga, “Semoga dengan apa yang kita lakukan ini, Tuhan Yang Maha Esa, Dah Hyang serta para leluhur melimpahkan segala berkah kebaikan, pertanian yang subur, kemakmuran, serta kerukunan bagi kita semua,” ucapnya.
Tarian ronggeng di panggung utama, dengan iringan gamelan live menjadi pengobat lelah para warga yang baru saja menyelesaikan perjalanan ritual. Sebuah pertunjukkan wajib dalam ritual ruwat bumi, yang kini mengalami pergeseran dalam bentuk maupun proses penyelenggaraannya.
Jika dulu cukup dilakukan dengan beberapa sesepuh dan berlokasi di titik persembahan, tapi pada masa sekarang selain menjadi pertunjukkan sakral sekaligus wahana tontonan sehingga perlu adanya panggung khusus. Namun demikian tanpa mengurangi esensi pertunjukkan, yaitu untuk memenuhi syarat wajib ritual ruwat bumi.
Beberapa laki-laki tua dan muda menari meliuk-liuk mengelilingi dua ronggeng, melakukan tarian seakan menyampaikan pesan syukur serta luapan segala emosi untuk menyegarkan batin. Melupakan sejenak segala permasalahan hidup.
Sementara sambil menikmati pertunjukkan roggeng, warga secara bergantian mengisi botol air minum yang mereka bawa dengan air bunga (air berkah) untuk kemudian di bawa pulang ke rumah masing-masing. Air berkah menjadi simbol segala berkah kebaikan bagi semua masyarakat Pringamba.
Tak lupa harapan keselamatan mereka ungkapkan dalam sebuah ritual “wilujengan”, selamatan di penghujung ritual. Semua warga membawa berbagai makanan dalam sebuah tenong.
Senyum keceriaan, canda tawa warga mengiringi upacara kendurian selamatan. Saling bertukar makanan, sebuah simbol syukur sebagai makhluk individu serta penanaman rasa kedermawanan dan kepedulian sebagai makhluk sosial.
Suasana mendadak riuh sesaat setelah warga beranjak dari lokasi kendurian. Ritual perebutan sesaji dan hasil bumi yang telah terberkahi menjadi aksi seru untuk menutup serangkaian ritual ruwat bumi.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara