• Tuesday, 10 December 2019
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Sebelumnya kita telah mengulas interaksi agama Buddha dan Kong Hu Cu yang penuh lika-liku dan sejarah panjang. Tak lengkap rasanya bila kita tidak mengulas juga interaksi agama Buddha dan Tao. Tao dan Kong Hu Cu adalah dua kepercayaan asli masyarakat Tionghoa di daratan Tiongkok. Terutama Kong Hu Cu, kepercayaan ini menyebar pula ke negara-negara tetangga seperti Korea Utara & Selatan, Jepang, Taiwan, dan Vietnam. Interaksi ketiganya yang panjang telah memunculkan suatu filosofi baru yang disebut Tiga Ajaran.

Berbicara mengenai Tao, kita harus membedakan ajaran Tao dengan Kong Hu Cu. Tao adalah tradisi keagamaan masyarakat Tionghoa yang menekankan keharmonisan hidup sesuai dengan Tao. Tao sendiri berarti ‘Jalan’ yang menjadi filosofi utama bagi masyarakat Tionghoa. Berbeda dengan Kong Hu Cu, Tao tidak secara spesifik mengatur ritual-ritual dan tatanan sosial masyarakat, tetapi lebih pada cara bagaimana seseorang dapat hidup selaras dengan sang jalan.

Permulaan

Awal mula Tao berakar dari salah satu naskah tertua kebudayaan Tionghoa yaitu kitab I Ching. Kitab ini memuat tentang sistem filosofi bagaimana manusia bersikap sesuai dengan alam. Ajaran Tao juga menekankan pada berbagai konsep dalam Tao Te Ching dan Zhuangzi seperti kesederhanaan, keselarasan dengan alam, ketidakmelekatan dari nafsu, dan kekosongan/tanpa aksi (wu wei).

Di sini, terlihat ada beberapa kesamaan antara ajaran Buddha dan Tao, tetapi terdapat pula perbedaan mendasar. Keduanya memiliki tujuan dan prinsip yang berbeda, pandangan yang berbeda, sehingga solusi dan sikap respon yang diberikan pun berbeda terkait kehidupan individu, masyarakat, sosial budaya, lingkungan, dan alam semesta.

Sama halnya dengan ajaran Buddha, Tao memandang penting untuk berfokus pada potensi manusia. Tao mengajarkan manusia agar hidup harmonis dan seimbang sehingga Tao dapat dicapai. Hanya individu itu yang dapat berlatih hidup harmonis dan mencapainya sendiri. Keduanya juga meyakini kehidupan setelah kematian (atau kelahiran kembali), meskipun memiliki perspektif yang berbeda. Dalam pandangan Tao, jiwa seseorang tidak pernah mati dan hanya berganti dari satu badan jasmani (yaitu terlahir kembali) ke badan jasmani lainnya.

Ini akan terus terjadi hingga orang itu mencapai Tao, yang sering diartikan mencapai keabadian (menjadi makhluk abadi). Sedangkan menurut pandangan Buddhis, seseorang terlahir di alam samsara dan mencapai Nibbana (padamnya keinginan). Selama seseorang terjerat keinginan/kemelekatan, ia akan terus memupuk kekuatan karma baru yang harus ditebus dalam lingkaran samsara yang tiada putusnya. Selain itu, ajaran Buddha juga menjelaskan bahwa tidak ada jiwa yang kekal atau permanen karena segala sesuatunya tidaklah kekal, selalu berubah.

Perbedaan lain antara keduanya terlihat pada cara mereka mengatasi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Tao, segala sesuatu di dunia ini memiliki tatanannya sendiri dan cara untuk mengatasi permasalahan yang muncul adalah dengan memahami kebenaran itu dan menggunakan konsep Yin-yang untuk menyeimbangkannya.

Sedangkan menurut pandangan buddhis, permasalahan yang muncul adalah wajar sebagai bagian dari kehidupan dan manusia dapat mengatasi permasalahan yang ada dengan mencari akar sumber permasalahan tersebut dan memberikan solusi yang tepat sesuai ajaran Buddha. Untuk dapat menemukan akar permasalahan, maka diperlukan kejernihan pikiran yang dapat dikembangkan melalui meditasi.

Konsep

Demikian pula dalam hal pernikahan. Tao percaya bahwa wanita mewakili konsep Yin dan pria mewakili konsep Yang. Untuk itu, pernikahan antara seorang wanita dan seorang pria merupakan salah satu cara untuk mencapai keharmonisan hidup sebagaimana konsep Yin Yang yang bersatu. Di sisi lain, agama Buddha tidak memandang pernikahan sebagai sesuatu yang wajib dalam kehidupan seseorang. Pernikahan adalah pilihan dan jalan hidup seseorang yang tidak menentukan apakah dia menjadi lebih baik atau tidak.

Secara garis besar, agama Buddha dan Tao mengajarkan cara bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kemiripan keduanya mungkin menjadi salah satu sebab agama Buddha mudah diterima oleh masyarakat Tionghoa pada saat awal diperkenalkan. Interaksi keduanya bersifat kompleks dan saling melengkapi. Kehadiran agama Buddha memberikan warna baru bagi Taoisme dengan merestruktur kepercayaan yang ada menjadi sebuah agama yang lebih terorganisir.

Tao juga melihat kemiripan ajaran Buddha seperti kesunyataan dan kesalingtergantungan. Sebaliknya, agama Buddha meminjam banyak kosakata dari kitab-kitab Tao untuk menjelaskan ajaran Buddha kepada masyarakat Tionghoa. Interaksi yang intensif ini bahkan melahirkan agama Buddha tradisi Chan/Zen.

Prinsip kesederhanaan Tao diterapkan dalam tradisi Chan dengan melepaskan banyak teori-teori buddhis dan menekankan pada pengalaman langsung melalui praktik meditasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Ditambah dengan ajaran Kong Hu Cu, ketiganya dianggap satu dengan sebutan “Tiga Ajaran” dan menjadi wujud nyata toleransi dalam peradaban Tionghoa.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *