“Bro, Burhan meninggal tadi pagi,” begitu bunyi WA dari Adi, yang biasa kusapa Giant karena tubuhnya memang raksasa.
“Ini prank ‘kan?”
“Swear, serius. Burhan meninggal.”
“Minggu lalu aku baru ketemu, dia masih segar bugar,” jawabku tak percaya. “Giant, Burhan meninggal karena apa?” tanyaku penasaran.
“Burhan ditusuk mantan karyawannya yang dendam karena sering dimarahi dan dipecat oleh Burhan. Burhan ditikam, tepat mengenai jantungnya.”
Aku terhenyak. Terbayang sosok Burhan, berusia 48 tahun, ayah 3 putra, wajahnya ganteng, modis, dan kaya raya. Ada kolam renang di belakang rumahnya, halaman rumahnya sangat luas, koleksi mobil mewahnya banyak. Itu kata Giant, yang pernah main ke rumahnya.
Sayang, ia tak bisa menikmati hartanya lebih lama. Hartanya yang demikian banyak tak dapat menjamin umurnya lebih panjang. Dulu aku berpikir, orang kaya, secara teori lebih panjang umur. Kalau terkena penyakit parah, orang miskin hanya bisa pasrah, sedangkan orang kaya bisa berobat ke mana saja dan bisa beli obat mahal.
Aku melupakan satu hal. Nyala lilin mati bukan semata karena lilinnya habis terbakar, tapi juga bisa mati tiba-tiba karena tertiup angin.
* * * * *
Aku memandangi peti jenazah berisi Burhan, teman sekelasku waktu SD dulu. Kami pisah sejak kelas 5 SD, ketika aku dan keluargaku pindah ke Yogyakarta. Aku tak pernah menyangka, kami bertemu kembali 5 tahun terakhir ini. Sebenarnya ia bukan sahabat atau teman baikku, hanya teman biasa. Malah bisa dibilang “musuh” bebuyutan.
Aku selalu kalah dari Burhan. Aku berada di bawah bayang-bayangnya. Tiga tahun berturut-turut aku sekelas dengannya, kelas 3 hingga kelas 5. Burhan selalu juara kelas, aku juara kedua. Ia selalu mengejekku, merendahkanku. Apa yang kulakukan, selalu salah di matanya.
Selalu saja ia menemukan cara untuk mengejekku atau ia melakukan hal lain yang membuat satu sekolah lebih memperhatikan dia daripada melirik kepadaku. Sepertinya ia sangat menikmati saat aku menundukkan kepala dengan wajah sedih karena kalah darinya atau ejekannya padaku disambut sorak teman-teman.
Aku menganggapnya “musuh” dan tidak mau main jika ia terlibat dalam permainan. Permainan apa pun. Aku heran, apa sih yang membuatnya iri padaku? Tampan? Ia jauh lebih tampan. Kaya? Keluarganya lebih kaya. Pintar? Aku tak pernah berhasil mengalahkannya.
Apa yang paling kuingat darinya? Hmmm … aku tersenyum. Burhan sangat suka makan bubur ayam. Karena itulah aku punya panggilan khusus untuknya, jika teman lain memanggilnya Burhan, aku memanggilnya Bubur!
Saat SMA aku baru menyadari, mungkin Burhan ini adalah musuhku dari masa lalu. Saat bertemu di kehidupan sekarang ini, kami selalu bertemgkar, dan aku tak pernah mampu mengalahkannya.
Kalau bukan musuh dari masa lalu, apa sih yang membuatnya begitu suka “menyiksaku” dengan segala kelebihannya? Aku tak pernah menemukan jawabannya.
Sangat banyak pelayat yang hadir di rumah duka mewah ini. Tidak heran, ia pengusaha sukses. Ia kaya, memiliki tiga anak yang berprestasi, dan relasi bisnisnya sangat banyak.
Kalau mau dibilang “kekurangan”, mungkin hanya pada istrinya. Istrinya 5 tahun lebih tua daripada Burhan. Penampilan mereka yang jomplang, tidak enak dilihat. Burhan tampil modis seperti aktor Ferry Salim, sementara istrinya tidak pintar berdandan dan terlihat tua. Hanya itu! Yang lain? Sempurna …, seperti kata-kata yang sering diucapkan ilusionis Demian Aditya.
Saat aku datang tadi, aku melihat banyak sekali karangan bunga, ucapan bela sungkawa untuk Burhan. Halaman depan rumah duka Heaven penuh dengan karangan bunga untuk Burhan.
Karangan bunga itu dari rekan bisnis dari dalam dan luar negeri, teman sekolah, teman organisasi, serta beberapa nama public figure terpajang di sini. Ada 6 ruangan di rumah duka ini dan kesemuanya penuh, tapi mataku menatap ke segala arah, nyaris hanya nama Burhan yang tertera di sana.
“Kamu nggak bakal bisa mengalahkanku, ingat itu!” itu kata Burhan saat aku akan pindah sekolah. Kini, Burhan terbujur kaku. Aku tak tau harus merasa gembira atau sedih. Apakah aku harus gembira melihat Burhan meninggal saat ia belum sempat menikahkan ketiga anaknya? Apakah ini satu-satunya “kekalahannya” dariku? Atau, seperti orang kebanyakan, aku seharusnya bersedih?
Setop. Aku harus bisa menjaga batinku untuk tetap tenang, seimbang. Jangan terus memendam rasa dendam dan menyimpan kebencian. Cukup sekali ini saja aku bertemu Burhan, aku tak mau di kehidupan selanjutnya terus bertemu dengannya dan selalu bermusuhan.
Selamat jalan Bubur, semoga terlahir di alam bahagia, semoga kita tak pernah lagi bertemu di kehidupan selanjutnya.
Catatan: VAR, yang misterius, kisahmu sudah saya jadikan cerpen. Nama tokoh dan lokasi kejadian sudah saya ubah, dan tentu saya beri bumbu agar menarik. Semoga cerpen ini tidak mengecewakanmu.
Hendry F. Jan
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan. Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara