• Thursday, 21 December 2017
  • Andre Sam
  • 0

Bagi sampeyan yang berada di kota-kota besar, tidak asing dengan transportasi online, khususnya ojek online. Enak yo? Semuanya bisa dilakukan dari handphone kita? Pesan makanan bisa online, butuh transportasi tinggal klik klik klik. Kelamaan dikit, tinggal cancel.

Beberapa waktu yang lalu, berhubung sedang malas naik motor sendiri, karena lokasinya jauh dan tidak tahu daerahnya gimana-gimana. Daripada motoran sendiri clingak-clinguk di rimba Jakarta, hal itu belum diperparah kalau sudah naik motor sendirian, beradu klakson dengan truk, bajaj, maupun kopaja yang aduhai byayakannya, zig-zag sana-sini.

Kalau tinggal mbonceng kan enak. Bisa ngobrol dengan tukang ojek. Emang apa sih enaknya ngobrol dengan tukang ojek? Wha! ini yang perlu saya ceritakan pada sampeyan

Generasi guru pertama!

Sebut saja nama tukang ojeknya Pak Daryono, profesinya apa? Ya ilah masih nanya, kan sudah dijelasin, tukang ojek online. Usia kurang lebih 47 tahun, produk asli Semarang, Jawa Tengah. Merantau di Jakarta sudah lebih dari dua puluh tahun!

Anaknya ada dua, satu lelaki dan anak kedua perempuan. Anak pertama sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah kampus bergengsi di Jakarta, jurusan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan) Jurusan Matematika.

 
Anaknya yang kedua bercita-cita mengikuti jejak kakaknya menjadi guru. Sekilas memang biasa saja sih. Setelah saya telisik lebih jauh, ternyata anak-anak Pak Daryono ini merupakan generasi pertama dalam keluarga besarnya, profesi guru merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi keluarga Pak Dar!

Pak Dar mencari uang dengan cara yang baik-baik, tidak mencuri, tidak menipu, supaya apa? Ya jelas, biar anak-anaknya hidup lebih baik daripada orangtuanya. Melihat perjuangannya yang gigih, baik saya maupun sampeyan pasti ya ikut senang juga to?

Ibu Margaretha

Nah ini dia! Namanya akan saya ingat selalu, betapa tidak, seumur-umur dalam hidup saya, baru dua kali saya diboncengkan sepeda motor. Pertama adalah ibu saya, cara naik motornya ibu-ibu ini kan khas, cirinya, lampu tanda belok kanan dinyalakan, tapi jalannya di sisian sebelah kiri. Namanya juga ibu-ibu. Benar dan benar adalah miliknya ketika di jalan.

Waktu itu usai sakit dan akan ke sebuah toko obat di Solo, karena kepala masih klemun-klemun, alias pusing-pusing. “Wes kene le cah bagus! Mbokmu yo iso numpak montor!” (Sudah sini anak ganteng! Ibumu juga bisa mengendarai motor).

FYI (For Your Information), ibu saya itu kalau sedang dongkol manggil saya dengan sebutan anak ganteng, saya sih tau, itu merupakan fitnah kejam.

Lain ladang, sama belalangnya! Ingat pepatah itu. Lho kok belalangnya sama mas?! Lha iya, dulu di Solo, pernah diboncengkan oleh ibu saya. Eh… sekarang di Jakarta peristiwa itu terulang kembhallli… Diboncengkan oleh ibu-ibu.

 
Mau cancel, kok ya ndak enak mbatalin pesanan ojek. Ketika di bangjo (lampu merah). Setiap kepala menoleh ke arah saya, rasanya malu lho… masa laki-laki diboncengin sama ibu-ibu. Lha gimana ya pas mau naik, Ibu Margaretha juga ndak mau ketika saya tawarkan, saya yang depan aja bu?

Jawabnya, “Ntar masnya yang dapat duit dong!”

Singkat cerita, Ibu Margaretha ini orang istimewa. Ia orang Batak! Suaminya sama-sama orang Batak, sama-sama keras bray! Intinya, dalam biduk keluarga ada cek-cok gitu. Kemudian, Ibu Margaretha ini tidak diberi nafkah oleh suaminya.

Lalu bagaimana dengan anak-anak? Anak-anak setiap hari butuh makan, butuh biaya sekolah, biaya-biaya lainnya. Ya sudah narik ojek online saja. Toh halal kok! Ketika saya tanya, ndak malu bu? Perempuan kok ngojek? Ah ndak ah! Demi anak, ngapain malu?!

Yah… jawaban itu langsung menggerus kerinduan saya pada sosok ibu. Hikz… Ibu… anakmu yang tak tahu diri tetapi ganteng ini kangen padamu… hikz.

Dharmanya mana?

Gimana dengan cerita di atas? Banyak pelajarannya to? Itu baru dua tukang ojek. Lha kalau saya tulis semua? Bisa sampai berlembar-lembar nulisnya, keriting tanganku je!

Soal Dharmanya mana? Lha ya sampeyan sendiri yang menyimpulkan, apakah dalam keseharian hidup sampeyan ada Dharmanya atau tidak, kalau menurut saya, Dharma itu ya, yang sehari-hari, di jalan salah satunya.

Persoalannya itu kan pada kemampuan kita dalam menafsir peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan kita ini. Seberapa jernih hati kita dalam menafsir?

Bagaimana kalau telinga, kita kembalikan pada fungsinya? Telinga kita itu bukan pajangan lho yah?! Mendengarkan cerita orang-orang di sekitar kita, kehidupan mereka, perjuangan mereka. Tanpa perlu menghakimi.

Ada banyak kok, pelajaran-pelajaran kehidupan yang berharga yang bisa kita pelajari, memetik sari kehidupan, dan usai mendengar, ketika kita tiba di rumah, kita pulang dengan keutuhan syukur.

Andre Sam

Penggemar dangdut, seorang Vianisty tapi bukan pembenci Nella Lovers.

Mengurusi band yang sama sekali tidak ndangdut. Motto hidup, “Opo kowe kuat dadi aku?” Dapat dijumpai di IG Andre Sam.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *