• Thursday, 21 December 2017
  • Victor A Liem
  • 1

Ungkapan bahasa Jawa, “Mati sajroning urip, urip sajroning pati” artinya mati dalam hidup, hidup dalam mati.

Penggambaran indah tentang falsafah kematian ini ada dalam sosok Puntadewa. Puntadewa merupakan nama lain dari Yudhistira. Ia merupakan putra tertua pasangan Pandu dan Kunti, pewaris takhta Dinasti Kuru.

Asal-usul Yudhistira berawal dari Pandu yang berburu dan membunuh dua pasang rusa yang sedang bersenggama. Pandu tidak tahu bahwa rusa itu adalah jelmaan Rsi Kindamatanpa dan istrinya.

Menjelang ajalnya, Rsi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika bersetubuh dengan istrinya.

Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan takhta Hastinapura dan memulai hidup sebagai petapa di hutan untuk mengurangi hawa nafsu.

Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya. Setelah lama tidak dikaruniai keturunan, Pandu mengutarakan niatnya untuk memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredayassegera mewujudkan keinginan suaminya.

 
Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil Dewa untuk mendapatkan putra. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkan Dewa Dharma dan mendapatkan anugerah putra darinya tanpa melalui persetubuhan.

Putra pertama itu diberi nama Yudhistira. Dengan demikian, Yudhistira menjadi putra sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu Dewa Keadilan dan Kebijaksanaan.

Versi lain dalam pewayangan Jawa, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di Istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan Dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti.

Kedua versi menggambarkan sosok Puntadewa sebagai seorang berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran. Dewa Dharma adalah simbol Kedewataan yang mewakili kebenaran dan keadilan.

Kelahiran Puntadewa melalui ubun-ubun berhubungan dengan cakra paling atas yaitu cakra sahasrara atau mahkota. Segala hal yang berkaitan dengan kesucian diri berada di cakra tersebut.

Mati sajroning urip, urip sajroning pati

Bagian cerita yang paling tidak disukai banyak orang adalah ketika Puntadewa berjudi dengan Sengkuni yang mewakili pihak Kurawa. Yudhistira kalah berjudi dan telah mempertaruhkan segalanya, mulai dari kerajaan, adik-adiknya, bahkan istri tercintanya.

Cerita ini adalah simbol tentang pengorbanan ego. Untuk menyelami kebenaran sejati, maka kesenangan, kepentingan diri, segala kepemilikan, bahkan nama baik, itu semua mesti dikorbankan.

 
Dalam bahasa Jawa, hal itu diungkapkan dalam “mati sajroning urip, urip sajroning pati”. Kematian di sini adalah matinya ego. Secara praktis adalah seperti berkeinginan untuk hidup bahagia dan tenteram. Semakin seseorang menginginkan kebahagiaan dan ketenteraman, maka semakin seseorang itu jauh dari kebahagiaan dan ketenteraman.

Mengapa bisa demikian?

Hal itu karena kualitas sejati mesti bebas dari ego. Selama berkutat pada pola kepentingan ego yang sama, maka seseorang tidak akan beranjak ke mana-mana juga. Merasa “nyaman” dengan tidak beranjak ke mana-mana, inilah kebodohan batin.

Swami Vivekananda pernah berujar, “Kebodohan disebabkan oleh egoisme, keterpikatan, kebencian, dan ketamakan.” Ego adalah asal mula dari ketidakbahagiaan dalam hidup.

Orang yang selalu mati dalam hidup adalah orang yang senantiasa menjaga diri dengan membuang egonya. Hidupnya akan selalu tenteram dalam setiap perjalanan hidupnya.

Victor Alexander Liem 

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

1 comment on “Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *