Pikiran memang ajaib. Di tengah keindahan, ia bisa menghadirkan derita neraka, misalnya melalui kenangan masa lalu yang kelam. Di tengah pedihnya nestapa, ia bisa menghadirkan kegembiraan, misalnya dengan harapan ke depan yang lebih cerah. Segalanya, kiranya, dibentuk dari pikiran.
Dari hal kecil, pikiran bisa menghadirkan hal-hal besar yang tak sungguh ada. Dari hal besar, pikiran bisa mengerdilkannya. Satu cacat seolah bisa mengakhiri segalanya, karena pikiran yang bergerak berlebih. Hidup bisa berakhir, karena pikiran yang terus menyiksa batin.
Pikiran juga bisa menghadirkan suara yang tak sungguh ada. Suara tersebut bisa menyiksa. Ia mengajak kita untuk berbuat yang menyakiti hati. Bahkan, ia kerap mengajak kita untuk bunuh diri.
Gambaran yang tak ada pun muncul, karena pikiran yang tak terkendali. Hal-hal yang tak ada justru tampak di depan mata. Hanyut dalam pikiran, orang kehilangan pijakan pada kenyataan. Orang hanyut dalam mimpi yang ia ciptakan sendiri.
Kenyataan pun runtuh. Batas antara apa nyata dan apa yang khayal tak lagi jelas. Orang hidup di dalam mimpi yang menyiksa hati. Dalam keadaan terjepit semacam itu, bunuh diri tampak menjadi jalan yang memikat hati.
Hakikat pikiran
Namun, pikiran itu, sejatinya, datang dan pergi. Ia seperti tamu tak diundang yang datang dan pergi seenaknya. Ia seperti asap yang mengganggu, tapi tak sungguh ada. Ia seperti bau kentut yang datang menyiksa, lalu pergi begitu saja.
Maka, pikiran jangan dianggap nyata. Jangan diikuti. Jangan diberi energi. Cukup sadari, ketika ia berkunjung, dan kembali ke saat ini.
Pikiran itu sisa sampah dari masa lalu. Pikiran adalah pola yang terbentuk dari pengalaman di masa lalu. Ia tidak hidup. Ia tidak cerdas.
Ia hanya gudang dari apa yang kita terima sebelumnya. Ia berkarat lewat tumpukan pengalaman. Ia membusuk, karena terus dikunyah, tanpa kesadaran. Pikiran boleh ada, namun jangan ia diikuti, apalagi dipeluk sepenuh hati.
Hal yang sama dengan imajinasi. Ia adalah bayangan tentang apa yang bisa terjadi di masa depan. Pijakan dari imajinasi adalah pengalaman masa lalu, yang dilemparkan sebagai skenario ke masa depan. Maka, ia pun tak lebih dari sampah yang menganggu, bila tak sungguh disadari.
Kesadaran yang hidup
Siapa kamu, tanpa pikiranmu? Coba jawab pertanyaan ini. Jika pikiranmu dibuang jauh, siapa kamu? Jawaban jujurnya hanya satu: kesadaran yang hidup.
Siapa kamu, jika semua bahasa di dunia ini lenyap? Ruang yang luas. Kosong dan hampa seluas semesta. Sesungguhnya, ia tak bernama.
Inilah diri yang sejati. Ia tak datang dan tak pergi. Ia tetap ada, lepas dari apa yang terjadi. Inilah tempat terciptanya pikiran dengan segala warnanya.
Saat ke saat, kembalilah ke sini. Diri yang sejati, sebelum semua pikiran lahir, adalah rumah kita yang asli. Inilah rumah kesadaran, yang mana kita bisa beristirahat sepenuhnya. Saat ajal tiba, kedamaian tetap menyertai, karena kesadaran yang hidup tak akan pernah mati.
Di dalam kesadaran yang hidup, pikiran turun. Ia bagaikan pedang yang kembali ke sarungnya. Ia terhindar dari karat yang merusak fungsinya. Dengan cara ini, ketika digunakan, pikiran justru bisa bekerja dengan amat tajam dan sempurna.
Kita pun lalu sungguh hidup. Kita “bangun” dari mimpi dari derita yang kita ciptakan sendiri. Pikiran boleh datang. Suara dan gambaran khayal boleh berkunjung. Namun, semua itu tampak jauh dan tak berarti, karena kita sungguh sadar, “bangun” dan hidup di sini dan saat ini.
Ini semua bisa menyelamatkan hidup Anda. Tak perlu lagi derita lahir dari pikiran yang menyiksa jiwa. Tak perlu lagi terpengaruh oleh suara maupun gambaran yang lahir dari khayal. Anda sudah hidup sepenuhnya.
Ayo “bangun!”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara