Kasus Rocky Gerung yang ramai digunjingkan di media akhir-akhir ini cukup membuat bingung masyarakat. Latar belakang Rocky sempat menjadi dosen filsafat, artinya mungkin sudah cukup banyak buku-buku filsafat yang sudah dia lahap. Sebuah pernyataan di acara talk show diskusi terbuka salah satu media televisi cukup menohok. Dia mengatakan bahwa “Kitab Suci itu Fiksi”. Inilah yang menjadi dasar pelaporan dengan tuduhan Rocky menista agama.
Saya menangkap Rocky sedang melatih bermain kata-kata (semiotik), logika, dan menggunakan daya kritis terhadap dogma dan tradisi, terutama kitab suci yang diyakini kebenarannya sebagai “Wahyu” selama berabad-abad. Dari pengetahuan filsafat saya yang masih seujung kuku ini, lantas saya membuat kesimpulan sepihak. Filsafat itu tak jauh dari kehidupan manusia itu sendiri. Apa pun aktivitas manusia yang melibatkan pikiran sesungguhnya manusia sedang berfilsafat. Membaca pun berfilsafat.
Memang tak terbantahkan. Filsafat sebagai induk segala ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan menelusuri sebatas isinya, maka filsafat lebih dalam dari itu, yaitu hakikat dari isi pengetahuan itu sendiri. Secara pribadi, saya tak mempersoalkan pernyataannya tentang, “kitab suci itu fiksi” jika itu dalam ranah “akademik”. Yang dipersoalkan penulis adalah waktu dan tempat pernyataan itu dikemukakan. Ia menyampaikan pernyataan itu di ruang publik yang mana tak semua masyarakat (pendengar) memahami esensi filsafat. Selain itu, waktunya dalam situasi atau konteks politik yang memanas. Jika itu dilakukannya dalam ruang debat atau diskusi ilmiah, pernyataan Rocky Gerung dapat ditolerir.
Saya ada dalam posisi netral, tak memihak Rocky Gerung pun tak menghakiminya atas pernyataan yang ia sampaikan itu. Belum lagi perdebatan arti kata “fiksi” yang sesungguhnya. Sebab banyak kata dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pun yang mengalami pergeseran makna. Jadi saya tak bisa menjawab Rocky benar atau salah.
Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana posisi Tripitaka? Apa Tripitaka sebagai kitab suci ini juga menjadi “fiksi”? Pertanyaan cukup mencengangkan juga buat saya pribadi yang masih menjadi umat awam.
Jika ditelisik secara historical, Tripitaka diwariskan secara lisan (oral history). Tripitaka baru ditulis 3 abad setelah Sidharta sebagai pembaharu Dharma pertama parinibbana, tepatnya pada konsili Buddhis keempat. Artinya Tripitaka bisa saja mengalami penambahan atau pengurangan karena tiap penutur dan pendengarnya bisa mempunyai penafsiran sendiri-sendiri. Ditambah lagi rentan waktu 3 abad yang membuat si penutur menyesuaikan dengan konteks zaman. Belum lagi konsili-konsili Buddhis juga menghasilkan beberapa arus dan membelahnya dalam bentuk mazhab-mazhab yang bertahan sampai sekarang.
Baca juga: Selama Belum Tercerahkan, Diri Ini Fiktif
Menurut saya, Tripitaka sebagai kitab suci itu bukan fiksi, melainkan legenda. Legenda berbeda dari fiksi karena proses penyusunannya. Terlebih lagi legenda berbasis pada satu atau lebih kejadian yang benar-benar terjadi.
Seperti keterangan di atas. Tripitaka diwariskan secara oral dari mulut ke mulut. Begitupun legenda terbentuk dari tradisi tutur. Satu peristiwa ditutur dari generasi ke generasi, tiap penutur baru akan menanggapi suatu kisah dengan caranya sendiri, tak jarang mengubah sedikit kisah itu sesuai pemahamannya, sebelum menyampaikannya pada generasi berikutnya.
Terutama pada kitab-kitab suci yang sudah berusia ribuan tahun seperti Tripitaka, proses penyampaian ini bisa melebur beberapa kisah jadi satu, bisa juga menghilangkan beberapa detil atau justru menambahkan detail baru yang awalnya tidak ada atau merupakan anakronisme.
Apakah dengan begitu Tripitaka sebagai kitab suci jadi kehilangan makna karena ia adalah legenda? Tentu sama sekali tidak. Karena legenda tidak mengejar akurasi berita. Yang dikejar melainkan adalah pesan di balik kisah tersebut. Ajaran moral, keadaban, filsafat, serta cara hidup.
Selama secara epistemologi Tripitaka mengajarkan bagaimana mencapai kesucian, kedamaian, ketenangan jiwa dan kerukunan dalam masyarakat, ia akan tetap berstatus “suci”. Sebab Tripitaka mengajarkan lebih banyak cara berbuat dan berpraktik.
Billy Setiadi
Penapak jalan Dharma
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara