• Sunday, 17 February 2019
  • Junarsih
  • 0

Sugih Tanpo Bondo

Digdoyo tanpo aji

Nglurug tanpo bolo

Menang tanpo ngasorake

 

Trimah mawi pasrah

Suwung pamrih tepi adjrih

Langgeng tan ana susah tan ana bungah

Anteng manteng sugeng djeneng

Para pembaca pasti tidak asing dengan syair di atas. Syair yang dilagukan oleh Sujiwo Tejo tersebut adalah karya putra dari Raden Mas Ario Sosrodiningrat, yaitu Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak dari Raden Ajeng Kartini. Sosrokartono lahir di Jepara pada 10 April 1877 dan meninggal pada 8 Februari 1952 di Bandung. Bait tersebut hingga kini masih ada di nisan pemakaman Sosrokartono.

Penyusun syair “Sugih Tanpo Bondo” tersebut adalah seorang wartawan sekaligus cendekiawan yang dikenal memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno. Pada masanya, bangsa Belanda menjulukinya sebagai pangeran dari tanah Jawa. Sekitar tahun 1897 sampai 1926, Sosrokartono menjelajahi tanah Eropa dan bergaul dengan kalangan bangsawan dan intelektual di sana.

Sebagai mahasiswa pertama dari Indonesia yang meneruskan pendidikan tinggi di negeri Belanda, ilmu yang diterimanya tidak hanya dipergunakan untuk dirinya sendiri. Sepulang dari Belanda, ia menemui Ki Hajar Dewantara agar memperoleh izin membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung.

Ada banyak makna filosofis dari syair yang diciptakannya, terutama untuk kehidupan sebagai manusia. Berikut uraiannya.

Sugih Tanpo Bondo diartikan sebagai ‘kaya tanpa harta’. Seseorang akan merasa kaya apabila memiliki harta yang berlimpah. Apalagi dengan usahanya sendiri. Namun, perasaan kurang dan serakah dengan harta masih menyelimuti diri. Sehingga kita akan terus-menerus mencari harta dengan segala cara agar tidak kekurangan. Sesungguhnya kaya tidak harus dengan harta. Dengan sedikit harta yang sudah dimiliki dan kita merasa cukup, itulah kekayaan yang sebenarnya. Pada saat kita meninggal pun tidak ada satu harta yang kita bawa. Jadi, mulailah merasa cukup dengan kekayaan yang sudah dimiliki dan melepas keserakahan.

Digdoyo tanpo aji diartikan sebagai tak terkalahkan tanpa kesaktian. Orang yang baik, pasti tidak akan terkalahkan, karena perbuatan baik dan Tuhan akan melindunginya. Tidak harus memiliki kesaktian/mantra untuk mengalahkan yang lain. Pada saatnya, kesaktian/mantra akan kembali kepada pemilik.

Nglurug tanpo bolo diartikan sebagai menyerbu tanpa pasukan. Khusus untuk bait ini jangan disalah artikan untuk menyerbu/menyerang. Makna tersirat yang ada di syair ini, bahwa ketika kondisi sudah tidak mendukung, segala hal sudah dilakukan, maka berpasrah. Bukan berati menyerah begitu saja, tetapi ada saatnya kita benar-benar menundukkan diri.

Baca juga: Sosrokartono dan Buddhadharma

Menang tanpo ngasorake diartikan sebagai menang tanpa merendahkan. Ketika kita berada di atas, lebih tinggi dari yang lain, jangan menjadi sombong. Karena dengan kesombongan secara tidak sadar kita menjatuhkan diri sendiri. Lebih baik tetap rendah hati dengan segala hal yang sudah dimiliki, baik itu kedudukan, kekayaan, maupun nama baik.

Trimah mawi pasrah diartikan sebagai menerima juga pasrah. Pasrah bukan berati saat kita hanya memiliki uang untuk makan satu kali, kemudian pasrah, berharap ada yang akan memberi makan. Bukan demikian, tetapi kita tetap harus beryukur dengan apa yang sudah dimiliki dan akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan diri maupun sosial.

Suwung pamrih tepi adjrih diartikan sebagai jika tanpa pamrih tak perlu takut. Orang yang tidak pamrih tidak perlu takut kemanapun pergi. Tidak pamrih dapat dikatakan sebagai baik, jadi orang yang tidak pamrih adalah orang yang baik. Kemanapun orang baik pergi, pasti tidak ada rasa takut.

Langgeng tan ana susah tan ana bungah diartikan sebagai tetap tenang meskipun ada duka dan ada suka. Dalam kondisi senang maupun susah pikiran dan hati harus tenang. Melalui ketenangan, hati dan pikiran akan mudah mengendalikan situasi yang sedang terjadi. Supaya hati dan pikiran tenang, bisa juga mencoba meditasi.

Anteng manteng sugeng djeneng diartikan sebagai tidak macam-macam membuat nama baik terjaga. Tidak macam-macam bukan berarti diam tanpa melakukan apa pun. Namun, dengan tidak berbuat kejahatan, maka nama baik akan terjaga. Ketika berbuat jahat, secara perlahan nama baik akan tercemar.

Kurang lebih uraian makna filosofi dari syair “Sugih Tanpo Bondo”. Kesimpulannya sangat sederhana, cukup berbuat baik, selalu berusaha, dan tidak sombong.

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *