Tahun baru, resolusi baru. Begitu katanya. Tapi apakah benar? Apakah kita perlu terus membuat resolusi-resolusi baru dan berharap semua tercapai. Kalau saya boleh jujur, sekitar 70-80% dari resolusi saya di 2017 tidak tercapai.
Hal ini membuat benih-benih penderitaan baru lagi dalam diri saya sampai akhirnya terlintas dalam pikiran: buat apa bersikap sekeras itu pada dirimu sendiri?
Sepanjang hidup kita, mungkin kita sudah dicekoki oleh standar-standar yang dibangun oleh keluarga dan masyarakat sekitar kita. Mungkin orangtua atau guru atau teman kita mengatakan:
Kalau kamu ingin sukses, raihlah juara kelas
Kalau kamu mau kaya, kerjalah lebih keras!
Kalau kamu mau banyak teman, ikuti gayanya!
Dan masih banyak kalau-kalau lainnya.
Hal ini selintas biasa dan wajar saja. Bila dipahami dengan benar, tentu dapat memotivasi kita untuk berjuang melakukan sesuatu dengan lebih baik. Tetapi sayangnya banyak yang memahaminya dengan tidak benar.
Baca juga: Bisakah Hewan Mendengarkan Dhamma?
Terkadang bahkan sampai melupakan esensi dari perjuangan itu sendiri. Orangtua yang merasa malu dengan anaknya yang tidak juga mendapat juara, akan tutup mata mengetahui anaknya berbuat kecurangan untuk mendapat nilai bagus. Bahkan bisa jadi orangtua yang malah memperburuk value dengan menyogok guru.
Sama halnya dengan para pekerja atau entrepreneur. Mereka berusaha keras menepati target penjualan atau penghasilan mereka sampai lembur dan melupakan waktu istirahat.
Mereka bahkan lupa dengan keluarga dan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor atau tempat kerja. Akibatnya mereka lupa dengan ikatan keluarga dan lebih memilih bersama dengan teman kerja mereka.
Demikian pula dengan fenomena banyaknya orang yang menggadaikan harta dan harga dirinya hanya demi memenuhi standar life style teman-temannya. Daftar ini dapat diperpanjang sebanyak yang kita mau.
Kita mungkin menganggap bahwa hidup kita tidak sempurna dan karenanya kita berusaha memperbaiki banyak aspek dalam kehidupan kita. Kita membuat beragam resolusi dan target yang terkadang melenceng jauh dari apa yang menjadi tujuan hidup kebanyakan dari kita: merasa bahagia.
Semua orang tentu ingin merasa bahagia dalam hidupnya. Tetapi sayangnya dalam usaha kita untuk memeroleh kebahagiaan itu, kita malah semakin menjauh darinya.
Kita mencoba mendeskripsikan kebahagiaan dalam target-target jangka pendek – yang sebenarnya tidak ada salahnya, tetapi kemudian dalam upayanya kita malah melupakan esensi utama mengapa kita menargetkan pencapaian-pencapaian itu. Sebagai akibatnya:
Kita malah semakin menjauh dari orang-orang yang kita cintai
Kita malah menyakiti perasaan kita sendiri dan menjadi stres
Kita malah melupakan kesehatan batin dan jasmani kita
Ok! Let’s stop at here! We have to learn how to be happy with our imperfect life.
Kita semua mempunyai kecenderungan untuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Hampir semua orangtua mungkin membesarkan anak-anaknya dengan hal ini, baik disadari maupun tidak.
Bahkan komunitas kita turut andil membentuk hal ini. Kita tumbuh besar dengan memercayai bahwa hidup adalah sebuah perlombaan, dan kita semua berlomba-lomba menjadi yang pertama, atau setidaknya yang kedua… atau ketiga.
Tetapi kenyataannya kita adalah individu-individu yang berbeda, memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda, serta faktor-faktor dan latar belakang yang berbeda pula.
Terkadang kita tidak menyadari hal ini (terutama bagi yang belum menemukan jati diri), dan hanya menurut saja pada apa yang menjadi norma atau standar yang ada. Seharusnya kebahagiaan bukanlah hasil dari perjuangan kita.
Baca juga: B.R. Ambedkar Tokoh Buddhis yang Melawan Sistem Kasta India
Kebahagiaan bukanlah karena kita menjadi juara 1 lantas kita bahagia. Atau karena kita kaya raya dan kita bahagia. Kebahagiaan bukanlah hal yang dapat diukur dengan pencapaian-pencapaian tersebut.
Kebahagiaan seharusnya adalah tentang cara kita menjalani hidup kita, untuk menikmati hidup kita. Kita tidak harus menjadi orang kaya untuk dapat membantu keluarga atau teman yang sedang kesusahan, dan tersenyum melihat mereka senang menerima bantuan kita.
Kita tidak harus menjadi juara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna, dan bahagia karena mengerti cara mempraktikkan ilmu tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat. Bahkan kebahagiaan bisa datang dari hal-hal yang sederhana, seperti bahagia mendengar suara orang tersayang (misalnya anak menelepon ibunya), bahagia menatap mata orang tercinta, dan lain-lain. Kebahagiaan seharusnya diukur dengan rasa puas dan cinta kasih.
Oleh karena itu, mulaillah kita menjadi orang yang berbahagia. Caranya sudah diajarkan dalam ajaran Buddha. Pertama, stop chasing happiness!
Berhentilah mengejar-ngejar dan mulailah menikmati hidup kita. Toh, pada akhirnya apa yang kita kejar harus kita lepaskan juga. Kedua, hiduplah kini dan di sini. Kenali momen-momen apa pun yang sedang terjadi saat ini di sekitar kita dan curahkan perhatian kita untuk mereka. Ketiga, meditasi. Meditasi akan membantu kita untuk memahami kesadaran dan pikiran kita.
Meditasi juga bermanfaat untuk menumbuhkan sikap let go atas semua kekacauan yang mungkin terjadi dalam hidup kita. Dan terakhir, bersyukur. Tumbuhkan sikap bersyukur atas kehidupan kita dan usaha-usaha terbaik yang telah kita lakukan. Hasilnya, terlepas tecapai atau tidak, just let it go.
“Today might not be perfect, but it’s a perfect day to feel happy.” – Lori Deschene
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara