Sebuah kisah nyata berikut membuktikan bahwa semua makhluk ingin hidup bahagia dan takut menghadapi kematian. “Semua makhluk takut menghadapi kematian, dengan menyadari hal ini, hendaknya kita tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kematian.”
Seorang teman menceritakan pengalamannya. Ia memelihara seekor simpanse yang ditaruhnya di halaman belakang rumahnya. Simpanse itu dapat melihat kegiatan sehari-hari yang dilakukan majikannya. Mencuci piring, menyapu, memotong ayam, dan kegiatan dapur lainnya. Pria ini yang bertugas menyembelih ayam, dan sang istri yang mengolahnya.
Selama ini, simpanse itu hanya tenang-tenang saja, bahkan kadang seperti terlihat kegirangan melihat ayam yang dipotong. Simpanse itu sudah hafal rutinitas memotong ayam. Ada seekor ayam yang terikat di bawah pohon, majikannya akan mengasah pisau, mengambil ayam, memotong leher ayam, ayam menggelepar, akhirnya ayam mati.
Suatu hari, simpanse melihat majikannya sedang mengasah pisau. Majikan ini ingin mengupas buah mangga. Apa reaksi simpanse ini. Biasanya ia lincah bergerak ke sana ke mari dan berteriak-teriak. Kali ini simpanse itu duduk di atas pohon dan terdiam.
Sang majikan merasa ada hal yang janggal. Mengapa simpansenya diam? Ia mengamati simpanse peliharaannya, dari mata simpanse itu mengalir air mata. Simpanse itu menangis!
Kesimpulan teman ini, simpanse itu menyadari bahwa di bawah pohon tidak terikat seekor ayam, itu artinya pisau yang diasah itu untuk memotong dirinya. Sangat menyedihkan!
Nasihat yang terbaik
Penulis teringat kisah yang diceritakan Papa penulis puluhan tahun lalu. Ada seorang tetangga yang hobi berburu. Istrinya sudah sering menasihati sang suami agar berhenti berburu. Tapi ia cuek saja. Bukan hanya istri, orangtuanya, temannya pun berkali-kali menasihati agar ia berhenti berburu. Tidak ada yang berhasil.
Pada suatu kesempatan, terungkap fakta bahwa ia sudah berhenti berburu. Teman-temannya tentu takjub, apa gerangan yang bisa membuatnya berhenti dari hobinya.
Baca juga: Karma dan Bencana Alam
Ia pun bercerita, saat itu ia pergi berburu. Ia melihat ada seekor monyet di atas pohon. Ia lalu membidikkan senapannya ke arah punggung monyet (monyet ini sedang memanjat pohon dan membelakangi pemburu).
Begitu senapan meletus, monyet tertembak, dan akhirnya terjatuh dari pohon. Pemburu ini tentu senang karena tembakannya tepat sasaran. Monyet yang terjatuh dari pohon itu berusaha berdiri, lalu berjalan dengan susah payah ke arah pemburu. Darah mengalir dari punggung monyet. Pemburu itu hanya bisa terdiam menyaksikan monyet yang kesakitan dan berusaha berjalan ke arahnya. Setelah dekat, barulah pemburu melihat ada seekor monyet (anak monyet) yang sedang memeluk induknya.
Sampai di depan pemburu, monyet itu melepaskan anaknya, lalu menyerahkan anaknya ke depan pemburu. Setelah itu induk monyet langsung terjatuh dan meninggal.
Pengalaman itulah yang membuat pemburu berhenti dari hobinya.
Haruskah mengalaminya sendiri?
Anda tidak perlu mengalami langsung, melihat induk monyet yang menahan sakit luar biasa, dengan susah payah berjalan ke arah pemburu, lalu “memohon” agar pemburu merawat anaknya. Atau melihat langsung mata simpanse yang begitu sedih menanti ajalnya.
Tidak ada larangan boleh ini atau boleh itu. Kita tahu semua konsekuensi logis dari setiap perbuatan. Siapa menanam, ia akan memetik. Tanam baik, petik baik. Tanam buruk, petik buruk. Semua terserah pada Anda.
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara