Sewaktu saya pulang dari pemakaman beberapa waktu yang lalu, seorang teman mendadak bertanya kepada saya lewat Direct Massage Instagram: “Kok enggak dikremasi, Dica?” Pertanyaan tadi muncul setelah ia melihat postingan IG Story saya yang memperlihatkan suasana upacara pemakanan seorang kenalan yang saya ikuti.
Ternyata ia merasa penasaran dengan tata cara pemakaman tersebut, sebab sepengetahuannya, setelah meninggal dunia, Umat Buddha bakal dikremasi, bukan dikubur di tempat pemakaman umum.
Saya kemudian menjawab, “Mungkin pihak keluarga yang menginginkan demikian.” Saya menjelaskan bahwa kremasi sebetulnya bukan hal yang wajib bagi Umat Buddha. Masih ada banyak Umat Buddha yang dimakamkan dengan cara dikubur, alih-alih dikremasi, seperti yang sering dipersepsikan oleh masyarakat.
Jika ditelisik lebih dalam, persepsi tadi memang tidak sepenuhnya salah. Maklum, dalam banyak kesempatan, kita cukup sering menjumpai Umat Buddha yang dikremasi begitu wafat.
Hal itu dilakukan dengan berbagai alasan, mulai dari segi kepraktisan karena keluarga tidak perlu melakukan upacara persembahyangan secara berlebihan hingga keinginan mendiang untuk mengikuti “tradisi” pemakaman para siswa Buddha terdahulu.
Oleh karena ada begitu banyak yang menjalaninya, maka jangan heran kalau ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa kremasi adalah upacara pemakaman yang wajib dilakukan bagi Umat Buddha.
Meski begitu, apapun alasannya, melakukan pemakaman dengan cara kremasi sebetulnya bukanlah sebuah kewajiban yang mesti dipatuhi seorang Umat Buddha, melainkan sebuah pilihan.
Kecuali Buddha Gotama yang jauh-jauh hari sudah “menitahkan” para siswanya untuk melakukan sebuah upacara kremasi khusus setelah beliau Parinibbana, maka sebetulnya tidak ada kewajiban tertentu di Tipitaka untuk melakukan kremasi bagi siswa Buddha lainnya.
Keputusan Buddha yang memilih dikremasi agaknya didasari oleh tradisi upacara pemakaman India kuno. Pada zaman Buddha, masyarakat India memang biasa melakukan kremasi terhadap jenazah keluarganya.
Jenazah tersebut umumnya akan dibungkus dengan kain dan hiasan, lalu dilangsungkan sebuah upacara untuk menghormati mendiang. Setelah semuanya selesai barulah jenazah tadi dikremasi dengan menggunakan kayu. Abu jenazahnya kemudian dilarung ke sumber mata air (biasanya Sungai Gangga) atau disimpan di tempat khusus.
Selain itu, keputusan tersebut boleh jadi dilatari pula oleh keinginan Buddha untuk meninggalkan relik. Dalam cerita-cerita Buddhis, memang disebutkan, para Buddha umumnya “mewariskan” relik setelah diperabukan. Relik tersebut merupakan sisa-sisa jasmani Buddha, yang berbentuk seperti pecahan batu berukuran kecil.
Relik tersebut kemudian bisa menjadi objek penghormatan bagi para siswa, yang belum pernah bertemu langsung dengan Buddha. Dengan adanya relik tersebut, diharapkan bisa muncul keyakinan yang kuat dalam diri para siswa tersebut untuk mempelajari, mempraktikkan, dan merealisasi ajaran Buddha.
Oleh sebab itu, selain untuk diri-Nya sendiri, Buddha tidak menganjurkan upacara pemakaman tertentu untuk para siswa-Nya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban yang mengharuskan Umat Buddha melakukan kremasi.
Umat Buddha bebas memilih dikremasi atau dikubur. Semuanya adalah soal pilihan masing-masing, dan pilihan tadi biasanya diambil oleh pihak keluarga sesuai dengan kesempatan bersama atau wasiat yang ditinggalkan oleh mendiang sebelumnya.
Perubahan Upacara Kremasi
Oleh karena sifatnya tradisi, maka upacara kremasi yang dilakukan pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Meskipun esensinya sama, namun terdapat berbedaan yang cukup jelas antara upacara kremasi zaman dulu dan zaman sekarang. Perbedaan tadi bisa dilihat dari berbagai macam hal, mulai dari peralatan yang digunakan hingga prosedur yang diterapkan.
Berdasarkan pengalaman, saya mendapati bahwa proses kremasi yang dilakukan pada masa kini jauh lebih singkat. Maklum, pada masa sekarang, kremasi biasanya dilakukan dengan menggunakan oven, yang dapat mempercepat proses perabuan jenazah.
Dengan demikan, kremasi bisa selesai dilakukan dalam waktu kurang-lebih dua jam saja. Berbeda halnya dengan kremasi pada zaman dulu yang masih mengandalkan kayu bakar. Prosesnya bisa menghabiskan waktu berjam-jam, sehingga upacara kremasi terasa begitu lama.
Selain itu, pada masa sekarang, prosedur upacara kremasi juga terkesan lebih sederhana. Oleh karena beberapa kali mengikuti upacara kremasi Umat Buddha dari Suku Tionghoa, saya melihat bahwa meskipun persembahyangannya tetap sama, seperti Tutup Peti (Cit Bok), Malam Kembang (Mai Song), dan peringatan hari berkabung lainnya, namun terdapat penyederhanaan dalam tata upacaranya, mulai dari pilihan peti, persembahan di altar, hingga kegiatan ziarah yang dilakukan pada momen-momen tertentu.
Hal ini jelas berbeda dengan prosedur kremasi pada zaman dulu yang diketahui terkesan rumit karena mempunyai banyak peraturan dan menggunakan begitu banyak atribut. Makanya, jangan heran, untuk menjalankan upacara kremasi, sanak saudara mesti menyiapkan banyak hal dan melangsungkan persembahyangan selama berhari-hari.
***
Berdasarkan uraian di atas, sekiranya bisa dipahami bahwa walaupun di dalam sutta disebutkan Buddha dan beberapa siswa-Nya dikremasi setelah Parinibbana, namun sesungguhnya kremasi tersebut merupakan bagian tradisi yang jamak dilakukan oleh Masyarakat India Kuno. Tradisi ini sudah berlangsung lama, bahkan sebelum Buddha muncul di dunia dan dijalankan oleh penganut agama lain di luar Buddhisme.
Makanya, lantaran hidup di tengah tradisi demikian, Buddha dan beberapa murid-Nya kemudian mengikutinya. Semua itu dilakukan semata-mata karena hal itu adalah upacara pemakaman yang biasanya dilakukan oleh masyarakat India pada waktu itu, bukan karena kewajiban tertentu.
Dengan demikian, kremasi boleh dikatakan bukan proses pemakaman yang wajib dilakukan oleh umat Buddha, melainkan sebuah pilihan yang didasari oleh tradisi yang dijalankan sejak zaman dulu.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara