• Saturday, 12 October 2019
  • Yudhi H. Gejali
  • 0

Seperti yang mungkin para pembaca sudah ketahui, istilah “Zen” merupakan versi bahasa Jepang dari istilah bahasa China: “Ch’an” 禪, yang ternyata juga merupakan turunan dari istilah bahasa Sanskerta: dhyāna yang berarti Meditasi. Zen merupakan praktik meditasi yang membawa kepada “Pencerahan Seketika” atau “Kebijaksanaan yang Langsung, yang melihat Hakikat dari segala sesuatu, tanpa kepalsuan atau modifikasi.”

Mengakar pada ajaran Buddhis, praktik meditasi Zen meskipun dilakukan secara bertahap dan disiplin, namun ekspresinya yang mendalam terlihat dalam hal-hal yang terkesan biasa, sehari-hari, dan tidak religius. Ini sejalan dengan konsep ajaran Buddha yang banyak tertuang dalam sutra-sutra Mahayana, yang menekankan konsep “Pencerahan itu bukan di sana, namun di sini, di momen ini. Semuanya sudah sempurna di sini, di momen ini.”

Seni Lukis Zen mengekspresikan perenungan mendalam ini, dimana lukisan-lukisannya menangkap momen kekinian, yang segar, bebas, dan spontan. Lukisannya “seolah-olah” dibuat tanpa perencanaan, tanpa konsep pikiran, dan tanpa dualisme perbedaan antara sang pelukis dan yang dilukis. Meskipun lukisan-lukisan Zen cenderung terlihat sederhana, ala kadarnya, dan mengenyampingkan penguasaan teknik yang luar biasa dan detail, sesungguhnya lukisan ini tidak mudah untuk dibuat dan membutuhkan penguasaan teknik mumpuni dan insight meditatif.

Tantangannya adalah bagaimana tetap menjaga kemurnian, dan kepolosan, tanpa membiarkan sang ego menginterupsi. Bagaimana beristirahat dalam kejernihan, namun tidak terperangkap dalam label menilai dalam membuat karya. Bagaimana secara terampil menjaga keseimbangan antara “beristirahat apa adanya” dan “analisis/konseptualisasi mental.” Pada akhirnya tujuan pamungkas dari meditasi dan lukisan Zen adalah menunjukkan hakikat tercerahkan dari semua makhluk dan semua fenomena, yang sesungguhnya sudah sempurna apa adanya, dan sudah ada di sini.

Lukisan Zen ditampilkan mentah, jujur, apa adanya, namun terlihat segar, mendalam, dan memancarkan kebahagiaan serta ketenangan yang melampaui kesulitan. Kadang lukisan ini membuat kita melihat ke dalam dan menertawakan sikap mental kita yang terlalu kaku dan serius dalam menjalani hidup yang sesungguhnya tidak solid, tanpa inti, dan selalu berubah. Namun justru, karena alasan yang sama, lukisan ini juga memancing sikap sunyi melankolis dari penikmatnya karena mereka mengecap kesia-siaan dari obsesi mereka mengejar kebahagiaan.

Lukisan Zen yang berupa bunga atau pohon seringkali tampil anggun, menegaskan konsep ketidakkekalan, hewan seringkali ditampilkan jenaka. Lukisan figure digambarkan dengan emosi yang kuat, namun jujur dan tanpa inti. Lukisan Zen yang berupa landscape seringkali digambarkan sederhana dan menegaskan kesalingtergantungan dari semua fenomena.

Meskipun sulit untuk menguasai seni ini, namun proses pembuatannya sangatlah menyenangkan, spontan, dan memicu kreativitas serta kebijaksanaan yang sebenarnya sudah ada di dalam diri semua orang. Seni ini membuat orang melihat ke dalam hati, memotong ketebalan konsep, dan menembus keriuhan pikiran.

(Tiga Orang Buta Sedang Menyeberang, zen painting oleh Japanese Zen Master, Hakuin Ekaku, 1685-1769)

(Awakening, Zen Painting oleh Shen Jin He)

(Calm, and Composed, Zen painting oleh penulis sendiri, Yudhi Gejali)

Yudhi H. Gejali, MD

Dokter medis, praktisi akupuntur, penyuka filosofi Buddhis, dan murid meditasi di Tergar Meditation Centre Jakarta.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *