Marcus Aurelius, pemikir Stoa yang sekaligus Kaisar Romawi, pernah menulis, “Nilai seorang manusia tidaklah lebih dari nilai ambisinya.” Sebagaimana diungkap oleh Neel Burton, ambisi berasal dari kata ambitio yang berarti “berkeliling untuk mencari dukungan”. Kata ini kemudian bisa dipahami sebagai upaya untuk mencapai kehormatan dan pengakuan dari masyarakat luas. (Burton, 2014)
Kata ambisi juga melibatkan dua hal. Pertama, ia melibatkan dorongan dari dalam diri seseorang untuk mencapai sesuatu yang ia pandang sebagai berharga. Dua, dorongan ini juga melibatkan kemampuan untuk terus berusaha, walaupun tantangan dan kegagalan terus mengancam. Tujuan untuk dari orang-orang yang ambisius adalah mencapai pengakuan dari masyarakat, baik dalam bentuk kekuasaan, uang maupun nama besar.
Dalam perkembangannya, kata ambisi dikaitkan dengan kerakusan. Dalam arti ini, kerakusan adalah dorongan berlebihan di dalam diri orang untuk mendapatkan sesuatu yang tidak ia butuhkan, atau tidak pantas ia dapatkan. Namun, ada perbedaan mendasar di sini. Kerakusan selalu berakar pada motivasi yang merusak, seperti ingin menguasai orang lain, dan sebagainya. Sementara, ambisi bisa mengarah pada sesuatu yang searah dengan kebaikan bersama.
Ambisi dan aspirasi
Apa pun bentuknya, ambisi menciptakan tegangan. Ia berakar pada pikiran yang mencengkram (grasping mind). Artinya, kita ingin sesuatu terjadi di dunia dengan memaksakannya, jika perlu dengan merusak alam, atau merugikan orang lain. Inilah cara hidup banyak orang dewasa ini.
Padahal, ambisi itu mengandung paradoks. Jika kita mendapatkannya, kita akan tetap tak puas. Ambisi berikutnya akan muncul lagi, sehingga seluruh hidup kita akan diiisi oleh tegangan demi tegangan. Jika kita gagal mewujudkan ambisi yang kita punya, kita pun akan kecewa.
Baca juga: Alam Semesta Bagaikan Orangtua
Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa ambisi adalah sumber penderitaan. Orang yang memendam ambisi tak pernah tenang hidupnya. Jika ambisi itu menguat, dan mendorong tindakan, orang lain pun bisa jadi korban. Seluruh konflik, perang dan bencana kemanusiaan di sejarah manusia adalah hasil dari ambisi buta.
Maka, ambisi harus diubah menjadi aspirasi. Aspirasi adalah harapan yang digendong dengan ringan. Seperti menggendong anak, harapan dipegang dengan saksama, namun tidak dicengkeram. Jika keadaan tidak memungkinkan, aspirasi bisa ditunda, atau disesuaikan.
Identitas
Ambisi dan aspirasi berakar pada diri manusia. Artinya, ia amat tergantung dari identitas yang dimiliki seseorang. Dalam arti ini, identitas adalah sekumpulan cerita yang orang percaya tentang dirinya. Termasuk di dalamnya adalah cerita tentang sejarah dirinya, keluarganya, bangsanya, agamanya, bahkan gendernya.
Jika identitas seseorang sempit, maka ambisi dan aspirasinya juga sempit. Identitas yang sempit adalah identitas yang bersifat tertutup. Orang meyakini begitu saja kumpulan cerita yang disebarkan oleh bangsa, ras, suku maupun agamanya. Akhirnya, ia cenderung bersikap diskriminatif terhadap orang-orang yang berbeda identitas.
Sebaliknya, jika identitas seseorang luas, maka ambisi dan aspirasinya juga luas. Identitas manusia yang sejati sebenarnya amatlah luas, bahkan seluas semesta. Tubuh manusia adalah campuran dari berbagai hal yang tersebar di berbagai penjuru semesta. Tak heran, bagi beberapa pemikir, tubuh dan pikiran manusia adalah mikrokosmos, yakni alam semesta kecil.
Identitas yang sejati berada sebelum semua identitas lainnya. Ia berada sebelum cerita yang diajarkan oleh keluarga dan masyarakat tentang bangsa, ras, suku, dan agama. Sebelum itu semua, kita adalah warga negara semesta. Inilah yang menjadi titik tolak tidak hanya pemikiran Asia, terutama Zen, tetapi juga teori-teori kosmopolitanisme.
Dengan identitas seluas semesta, aspirasi yang ada juga bisa amat luas. Hidup dan kerja bukan hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri semata, tetapi untuk seluruh semesta. Politik identitas pun tak akan jadi masalah, asal identitas yang kita pegang seluas semesta. Sesuai dengan pernyataan Marcus Aurelius, jika aspirasi kita seluas semesta, nilai kita pun akan seluas dan seluhur semesta itu sendiri.
Jadi, apa pun ambisimu, atau aspirasimu, pastikan, bahwa identitas yang kamu pegang seluas semesta itu sendiri.
Reza A.A Wattimena
Pelaku Zen, tinggal di Jakarta
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara