• Tuesday, 10 July 2018
  • Lani Lan
  • 0

Kurentangkan tanganku dengan mata terpejam, kuhirup udara dan kuhembuskan perlahan. Kubuka mataku lalu memandang jauh sejauh yang kubisa, awan putih, langit luas, pemandangan hijau terlukis indah.

Aku berada di puncak Gunung Galunggung, setelah melewati undakan tangga yang cukup panjang. Pemandangan kawah hijau yang menyejukkan mata dan di sisi kanan kiri tangga masih sangat alami, banyak monyet-monyet bercengkerama, lincah hinggap dari satu pohon ke pohon yang lainnya.

Aku tersenyum tapi kemudian ada yang berbisik jangan berucap sembarangan atau berpikir tidak karuan. Karena bisa saja monyet-monyet itu jelmaan sang penjaga gunung. Mendadak bulu kudukku berdiri dan ada sesuatu yang lewat sangat cepat sekelibat.

Aku duduk di sebuah sisi, menikmati anugerah alam yang luar biasa indah, sebagian orang memandangiku aneh. Entah apa yang ada dipikiran mereka, aku hanya memakai sepatu, celana jeans, kaos, kupluk, shal, dan kacamata serta sebuah kamera yang dari tadi aku gunakan.

Kemudian orang-orang berlalu-lalang di sekitarku, seakan-akan mereka tidak pernah kena masalah. Aku memandang sekeliling, bertanya dalam hati bagaimana orang-orang ini dapat dengan santainya berjalan dan bersemangat? Aku merasa buruk. Kudapati diriku terus berlari dari kerumitan hidup yang ku jalani. Aku tahu hidup itu tidak mudah, aku mengambil napas dalam, mengeluarkannya perlahan dan menguatkan hati.

Baca juga: Ingin Lancar Menulis? Berceritalah

Aku berputar, celingak-celinguk. Aku sendirian? Tidak. Aku bersama empat temanku yang sedang sibuk masing-masing. Ada yang sedang berfoto-foto, ngobrol sama penjual minuman dan ada yang sedang makan. Jantungku masih berdegup keras, bukan karena jatuh cinta yang muncul tiba-tiba. Sebuah degup takut dan kaget. Sudah beberapa gunung kami daki bersama dan nikmati keindahannya namun perjalanan kali ini sungguh berarti. Dan aku harus sadar untuk tiba saatnya berhenti.

“Ngelamun terus woi,” terdengar gerutu Candra.

“Nggak kok, ini mo foto-foto,” aku tertawa.

“Stop di situ Clara, cantik banget!,” Candra memotretku dengan saksama dengan latar belakang kawah hijau yang memikat hati. Seketika aku mematung demi mendapatkan foto yang sempurna. Ini bukan cerita 5 cm dan pendakian Gunung Semeru tentang cinta dan mimpi yang harus diwujudkan, perjalanan ini adalah cara kami lari dari kerumitan hidup yang tak berkesudahan. Bukan juga untuk kebutuhan eksis di media sosial atau merasa bahagia karena sudah melakukan banyak perjalanan.

Aku dan Candra berjalan menyusul yang lain, Daniel, Kei dan Rima. Kami berkonvoi tiga motor dari Bandung menuju Tasikmalaya. Sekitar empat jam kami baru tiba. Aku menetralkan degup jantungku.

“Candra kejadian tadi membuatku takut!” ucapku.

“Sudah berlalu, jangan dipikirkan,” jawab Candra. Bagaimana mungkin aku melupakan begitu saja.

“Tidak akan terjadi sesuatu jika memang bukan bagian dari kita,” lanjut Candra. Meski begitu aku masih benar-benar takut.

BRAKKK!

Dalam perjalanan tadi terjadi kecelakaan yang membuat motorku terjatuh ke arah kiri dan memang tidak ada luka ataupun kerusakan namun aku merasakan ada sesuatu yang menarik diriku membuatku melayang, seseorang berjubah oranye. Mataku tertutup rapat dan susah untuk untuk melihat langit luas. Dengung seketika terdengar dan mataku mulai terbuka perlahan.

“Bangun Clara!” teriak yang lain. Aku linglung, seseorang berjubah oranye itu menghilang tanpa jejak. Aku bergerak gelisah.

“Kamu tidak apa-apa Clara?” tanya Candra. Aku hanya mengangguk. Semuanya normal, tampak normal. Aku masih hidup. Aku bersyukur atas itu. Pertama kali dalam hidupku, aku berada dalam keadaan ada dan tiada. Aku mulai mempercayai bahwa siapa diriku bukan selalu tentang apa yang terjadi di masa lampau, tapi apa yang sanggup aku lakukan saat ini pada saat yang tak terduga.

“Clara! Candra! Sini.” Daniel, Kei, dan Rima memanggil untuk ber-swa photo. Mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya sudah aku alami tadi. Bahwa kematian memang bisa terjadi kapan saja, siap ataupun tidak siap dengan cara yang tidak terduga. Tidak ada jaminan kita akan hidup selama yang kita mau.

Akhirnya aku harus siap menjadi manusia yang berbeda yang bermetamorfosa untuk berani menghadapi kenyataan. Bersemangat bukan menghindar. Aku menikmati hari bersama keempat sahabatku selagi masih ada waktu, sebab aku tidak tahu kapan mereka akan pergi.

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *