• Sunday, 11 November 2018
  • Junarsih
  • 0

Benda cair ini terus mengalir membasahi bedak yang terpoles manis di pipinya. Bukan tanpa sebab ia harus menyangkal realita kalau ratap ini semakin dalam. Tiada maksud untuk melarikan pikiran dan badan yang sudah bertahan, tapi, lancipnya syair dari kerongkongnya sudah menggema.

“Sebut saja kalian ini kaum yang beradab, dengan lengan panjang kau harus bertahan, jangan mudah terpenggal dengan syair gemanya,” rentetan giginya melontarkan suara ini, dia adalah Mohda, seorang kepala juang dari  negeri Merna.

“Mantap kali kau baca syair itu ye. Belajar ka mane kau ni?” Tanya Siha, sahabat lama dari pulau seberang.

“Ya iki lah, anu biasa dolanan kertas nang kali.” Jawabku.

Very cool ye. Boleh lah esok hari kau ajari aku ye.” Jawabnya. Entah dia ini asli kelahiran mana, bahasa Melayu paham, bahasa Jawa paham, tidak ada jawaban pasti setiap aku tanya.

“Aku pergi dulu ya, nak balek.”

“Baiklah, macam mane kau ni, ikut-ikut awak ade bahase?”

“Tak ape lah, daaa…”

Minggu siang ini matahari sangat terik, tidak biasanya sampai keringat membasahi kaos lusuhku. Bukan berarti harus berdiam terus di rumah, menutup diri agar tidak terkena sinarnya. Aku harus keluar, mencari udara baru.

Udara yang membuat diriku lebih nyaman, tidak dalam keterpurukan. Udara yang aku cari ini berkat semangat nenekku sewaktu di kebun jambu malam itu. Tapi, kini nenek sudah tiada dan aku tidak berbahasa ngapak lagi. Aku pun tidak tahu alasan Ayah melarangku.

Karena kejenuhan ini, ya, aku pergi dari rumah dengan mengayuh sepeda tua peninggalan kakekku. Menuju sebuah tempat teduh bertemu seseorang yang mencukur habis rambut di kepalanya,  mengenakan jubah kuning, dan tidak berkeluarga.

Tibalah aku di tempat ini, Vihara Metta namanya. Meski tidak besar, Vihara ini sangat sejuk, di depannya ada Pohon Bodhi yang tumbuh subur. Tumbuh juga bunga mawar dan melati di halaman. Bunga teratai juga hidup bersama segerombolan ikan di kolam samping vihara.

Sugeng siyang Pak Moko,” sapaku dengan penjaga vihara yang setia.

“Eh, genduk, ngene-ngene,” jawab Pak Moko sambil menghampiriku dengan sapu masih di tangannya.

“Bhante wonten kuti, Pak?”

Ono nduk ono, tak panggilke disik, koe tunggu ana dhammasala ya!”

Inggih Pak, matur nuwun.”

“Eh, ada genduk.”

Inggih Bhante, sugeng siyang namo buddhaya.”

“Ada apa nduk. Maaf ya, bahasane Bhante masih campur-campur, kadang Jawa, kadang Indonesia, kadang-kadang bahasane tekan endi-endi.”

Inggih Bhante. Lah pripun niki, kulo ngagem bahasa nopo?

Pie yo nduk? Bahasa Indonesia wae.”

“Baik, Bhante. Bhante, saya itu suntuk di rumah, bapak marah-marah terus. Saya tidak boleh pakai bahasa ngapak lagi di rumah. Kalau tidak ada minyak buat masak, suka dimarahi. Kertas-kertas puisi saya juga sering dibakar sama bapak, koran, majalah yang saya beli di kota juga dibakar. Bapak sering bilang kalau anak perempuan itu tugasnya di rumah saja, masak, cuci, pokoknya tidak boleh belajar, tida boleh menyaingi laki-laki. Kalau seperti ini terus kan saya suntuk di rumah.” Setelah bercerita, aku terdiam sejenak.

“Boleh Bhante jawab, nduk?”

“Boleh Bhante.”

“Begini, kalau bapakmu suka mengekang kamu, pikirannya masih primitif. Zaman sekarang bukan zamannya dulu lagi. Sekarang sudah ada listrik di sini, tidak seperti tahun lalu, sekolah juga sudah ada buat masyarakat. Biar masyarakatnya pinter. Kalau bapakmu seperti itu, berarti dia tidak pingin anaknya pinter, dan juga tidak ada cinta kasih dalam diri bapakmu.”

“Oooo, seperti itu, Bhante. Jadi, saya harus bagaimana?”

“Sekarang, kamu harus banyak baca paritta tentang cinta kasih, renungkan bacaannya. Beri bapakmu pengertian supaya tidak marah-marah, tapi pelan-pelan, ajak juga ke vihara. Kalau bapakmu masih belum bertambah baik sifatnya, lakukan terus sampai sifatnya bertambah baik.”

“Baik, Bhante. Saya coba saran dari Bhante. Terima kasih. Saya pamit dulu, kelihatannya mau hujan ini.”

“Yo nduk. Hati-hati. Alon-alon ngepite.”

Nggih, Bhante. Namo buddhaya.”

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *