• Sunday, 18 November 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Ada banyak sekali menara yang ada di dunia. Menara kembar Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya. Ada pula menara kembar WTC di New York yang hancur pada September 2001. Nah, kali ini kita akan melihat sekilas tentang dua menara kuno yang terdapat di propinsi Xinjiang, Tiongkok. Uniknya, meskipun Xinjiang saat ini identik dengan budaya dan agama Islam, dulu agama Buddha pernah berkembang di sana. Agama Buddha masuk ke Xinjiang pada abad 1 Masehi dengan adanya arus dagang di sepanjang jalur sutra kuno.

Perkembangannya berlangsung sampai kedatangan agama Islam di Xinjiang pada abad 11 Masehi. Karena pengaruh penyebaran agama Buddha pada masa ini, kita masih dapat melihat dan menemukan beberapa peninggalan Buddhis seperti stupa, gua-gua dan kesenian-kesenian Buddhis. Beberapa stupa dibangun dengan sangat tinggi hingga menyerupai Menara. Di kota Turpan, sebelah timur Xinjiang, terdapat dua menara Buddhis yang oleh penduduk lokal disebut Menara Sirkip dan Menara Taizang.

Menurut catatan di Tiongkok, kedua menara ini dibangun antara abad ke-6 dan ke-7 Masehi. Keduanya memiliki arsitektur yang serupa. Berdiri setinggi 20 meter, keduanya mungkin adalah bangunan tertinggi di daerah itu selama beberapa abad. Sayangnya, Menara Sirkip telah runtuh secara alami dan menyisakan reruntuhan saja sedangkan Menara Taizang masih berdiri meskipun tidak utuh.


Menara Sirkip sebelum runtuh. Ist

Para arkeolog mengklaim bahwa struktur kedua menara ini berkaitan dengan kota kuno Gaochang yang merupakan pusat perdagangan pada jalur sutra kuno. Kedua menara ini adalah bukti kejayaan agama Buddha di Xinjiang selama puncak perdagangan di jalur sutra. Bagi orang Uyghur, menara ini juga merupakan sebuah pengingat akan warisan budaya mereka sebelum kedatangan Islam.

Baca juga: Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi

Penemuan kembali dua menara ini bukan tanpa usaha. Seorang arkeolog berkebangsaan Hungaria-Inggris bernama Aurel Stein (1862 – 1943) membuat mata dunia terbuka atas warisan budaya yang telah lama dilupakan ini. Terinsipirasi oleh “santo pelindung”nya yaitu Xuanzang, Aurel Stein melakukan empat ekspedisi di Asia Tengah pada awal abad ke-20. Dia ingin menemukan kembali kekayaan budaya di sepanjang Jalur Sutra sebagaimana yang telah dicatat oleh Xuanzang dalam perjalanannya dari Chang’an menuju India.

Di sepanjang ekspedisinya, Aurel mencatat dan mendokumentasikan berbagai lokasi kuno yang dia kunjungi, termasuk pula Menara Sirkip dan Menara Taizang di Turpan. Berkat usahanya, mata dunia menjadi terbuka akan kekayaan budaya di sepanjang jalur sutra. Banyak arkeolog dari Inggris, Rusia, Jepang, Jerman dan negara-negara lain berlomba-lomba untuk meneliti dan menelusuri jalur sutra kuno ini.

Tidak hanya itu, kedua menara ini juga didokumentasikan oleh dua misionaris Kristen yaitu Francesca French dan Mildred Cable dalam buku mereka yang berjudul The Gobi Desert. Buku ini merupakan catatan perjalanan mereka selama 1923 – 1936 di Gurun Gobi. Mereka berdua adalah penulis wanita Inggris pertama yang menaklukkan Gurun Gobi setelah 20 tahun sebelumnya mereka bekerja sebagai misionaris di provinsi Shansi. Buku ini merangkum pengalaman mereka selama 13 tahun mengembara di Gurun Gobi untuk mengunjungi penginapan-penginapan Tiongkok, kuil-kuil, situs-situs arkeologi, dan kota-kota tua di sana.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *