Selepas rentetan peristiwa teror yang mengatasnamakan Islam, di Australia terjadi beberapa kali aksi sporadis dengan misi “pembalasan”. Perempuan muslimah ditarik kain jilbabnya, misalnya. Atau dilempari tomat, atau disiram air.
Waktu saya sudah di Perth pun, sebongkah kepala babi dibuang di toilet mushalla University of Western Australia. Lalu terjadi juga ledakan bom kecil yang meremukkan sebuah mobil di parkiran Masjid Thornlie. Dan entah berapa kasus lainnya, kecil-kecil tapi banyak sampai saya lupa.
Wajarkah tindakan-tindakan semacam itu? Kalau Anda tanya saya, saya akan menjawab itu wajar. Namun kata “wajar” di situ jelas dalam tanda petik. Kenapa wajar?
Sebab secara naluriah, manusia memang membuat identifikasi-identifikasi. Kita mencerap citra-citra yang tertangkap indra, menemukan titik-titik kesamaan, lalu menata klasifikasi dari sana. Itu semua mekanisme yang sangat normal dalam level naluri paling dasar.
Makanya, ketika orang Australia awam melihat orang Islam, misalnya, citra yang mereka tangkap mula-mula adalah ciri-ciri yang tertangkap mata. Yang perempuan berjilbab atau berburqa. Yang lelaki berjubah, bersurban, berkopiah, dan berjenggot.
Semua itu mulai menjadi masalah ketika apa yang mereka identifikasi tersebut berkali-kali hadir bersama hal-hal buruk yang muncul dengan efek psikologis tertentu. Dalam hal ini, hal buruk itu adalah aksi-aksi teror yang keji.
Maka, hukum psikologi Classical Conditioning pun berjalan. Ketika A dan B terus-menerus muncul bersamaan, atau tampil bersama satu-dua kali namun dalam sensasi yang kuat, maka subjek akan melihat A identik dengan B. Akibatnya, jika suatu kali B hadir sendirian, respon subjek tetap akan sama dengan ketika ia melihat A.
Dari situlah, karena para pelaku teror yang mengatasnamakan Islam seringkali berjubah dan berjenggot, walhasil orang berjubah dan berjenggot yang bukan pelaku teror pun akan direspon sebagai teroris. (Bahkan kawan saya Harpreet Singh dari India bercerita, pada saat musim aksi pembalasan itu, beberapa kawannya yang beragama Sikh turut jadi sasaran. Maklum, lelaki Sikh yang taat memang memakai sejenis surban pula, meski bentuknya agak khas.)
Itu semua sangat wajar, tapi ya cuma wajar dalam level naluri terdasar.
Coba kita lihat eksperimen awal Classical Conditioning yang dijalankan Ivan Pavlov pada 1890-an. Pavlov menggunakan seekor anjing sebagai subjeknya. Si anjing dihadapkan pada dua stimulus, yakni makanan dan lonceng. Di depan makanan, si anjing meneteskan liur. Lalu makanan dan lonceng dihadirkan bersamaan berkali-kali. Pada tahap selanjutnya, lonceng dimunculkan sendirian, dan anjing pun meneteskan liur hanya dengan mendengar suara lonceng.
Jadi, maaf kata, pola “menyikapi semua orang berjubah dan berjenggot setara dengan menyikapi teroris” adalah identifikasi level anjing. Atau biar tidak dikira umpatan kasar, pola identifikasi dangkal semacam itu adalah identifikasi level hewani. Manusia memang wajar pula melakukannya, namun level hewani tersebut merupakan tingkat intelegensi paling rendah.
Sebagai manusia yang terus berproses dengan kemanusiaan kita, kita senantiasa meningkatkan kemampuan dalam melakukan identifikasi. Maka kita pun merayap naik menuju tingkat-tingkat pencerapan yang lebih tinggi, tingkat identifikasi yang lebih spesifik lagi, menuju level yang tak lagi serendah naluri hewani.
Maka, jika ingin menjadi manusia pembelajar yang baik, pelan-pelan kita mesti memahami bahwa orang yang berjubah dan berjenggot belum tentu teroris. Bahkan kita akan tahu bahwa sebagian besar orang berjubah dan berjenggot memang bukan teroris.
Melangkah lebih jauh, kita akan jadi mengerti hal-hal yang semakin mengerucut lagi. Misalnya bahwa di antara para pemakai jubah dan pemelihara jenggot panjang itu tidak semuanya pendukung khilafah. Atau tidak semua mereka gemar menyesat-nyesatkan orang di luar kelompoknya. Atau tidak semua mereka merupakan fans Kerajaan Arab Saudi. Dan sebagainya.
Identifikasi
Semua identifikasi spesifik tersebut adalah hasil dari proses belajar, proses mengenal, yang kesemuanya itu hanya bisa dijalankan oleh manusia yang setia merawat harkat kemanusiaannya. Manusia-manusia yang melangkah menjauhi naluri hewaninya, meninggalkan tahap intelegensi terendahnya.
Jadi pada dasarnya, boleh kita katakan bahwa semua sikap rasis yang penuh pelabelan cuma pantas dilakukan oleh manusia yang modalnya sekadar insting hewani. Dari situ manusia bisa bersikap penuh kebencian, bahkan melakukan serangan, bukan kepada pelaku hal-hal buruk, melainkan cukup kepada pihak-pihak yang memiliki ciri lahiriah yang sama dengan si pelaku hal buruk.
Soal jubah tadi hanyalah satu contoh saja. Kebetulan contoh tersebut relevan dengan lingkungan tempat saya saat ini berada. Contoh-contoh sikap rasis yang lain berjibun jumlahnya. Banyak yang berbekal stimulus berupa ciri fisik, ciri pakaian, latar belakang etnis, warna kulit, maupun kepercayaan.
Salah satu contoh yang relevan dengan rasisme berbekal identifikasi kepercayaan adalah yang sedang hangat-hangatnya kita bicarakan saat ini. Ya, ini tentang tragedi kemanusiaan di Rohingya.
Melihat betapa mengerikannya kejahatan sistematis yang terjadi di sana, dengan level kecerdasan paling rendah kita akan mengidentifikasi. “Oh, korbannya Muslim. Oh, pelakunya orang Burma anggota etnis mayoritas. Oh, mayoritas orang Burma adalah penganut agama Buddha. Berarti ini adalah pembantaian orang Islam oleh orang Buddha.”
Identifikasi yang paling sederhana itu menemukan gong-nya, ketika salah satu sosok yang muncul sebagai penggerak pembunuhan adalah Ashin Wirathu, seorang pemuka agama Buddha di sana. Walhasil, dengan mekanisme pikiran paling primitif kita akan melihat bahwa pembantaian itu “direstui” oleh ajaran Buddha.
Banyak orang beranjak menuju level identifikasi yang lebih spesifik lagi. Misalnya dengan membaca informasi bahwa masjid-masjid di kota Yangoon tetap aman-aman saja. Artinya, tidak semua muslim di Burma dimusuhi. Lalu informasi lain yang lebih rumit, misalnya bahwa Ashin Wirathu hanyalah pion yang dijalankan oleh rezim militer untuk propaganda penghantaman atas etnis Rohingya, dengan amunisi legitimasi agama. Dan sebagainya.
Bhante Sri Pannyavaro
Di Indonesia, bahan untuk identifikasi sudah mulai berlimpah. Pimpinan Wihara Mendut, Bhante Sri Pannyavaro, mengecam keras pembantaian muslim Rohingya. Bahkan sampai-sampai dia menolak Aung San Suu Kyi yang berencana datang ke Candi Borobudur dan Mendut. Disusul kemudian oleh Suhu Dutavira Mahastavira, yang menyatakan bahwa para biksu di kelompok Ashin Wirathu telah kehilangan kebhiksuannya.
Beragam aksi dan pernyataan pun bermunculan dari umat Budha. Di Surabaya, di Karanganyar, di Kebumen, dan entah di mana lagi. Pendek kata, tampak jelas sikap umat Buddha Indonesia, bahwa mereka ingin menegaskan: “Kami umat Buddha, tapi kami tidak sama dengan Wirathu!”
Sialnya, orang-orang yang berhasil menjalankan identifikasi tingkat lanjut untuk memahami bahwa “tidak semua umat Buddha sama dengan Wirathu” hanyalah mereka yang memang berusaha menjaga harkat kemanusiaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa aksi kemanusiaan bukanlah sekadar mengampanyekan belas kasihan, melainkan aksi untuk mengutuhkan kualitas “ke + manusia + an”. Mereka serius untuk menjadi manusia.
Sementara itu, ternyata masih sangat banyak yang berhenti pada tingkat identifikasi yang cuma berbekal naluri hewani. Dengan pemahaman yang sangat minim atas masalah, dengan pengabaian atas informasi-informasi yang berlimpah, mereka menggeram.
Puncaknya, terwujudlah seruan untuk mengepung Candi Borobudur. Seakan-akan semua umat Buddha adalah umatnya Ashin Wirathu, seolah ajaran Wirathu mewakili keseluruhan ajaran Buddha, sehingga semua umat Buddha di dunia harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan militer Burma.
Maka, aksi unjuk rasa di Candi Borobudur untuk mengecam pembantaian muslim Rohingya akan menjadi perayaan kebodohan paling memalukan yang memamerkan level intelegensi terendah manusia Indonesia. Sedamai apa pun aksi itu, sedisiplin apa pun para pesertanya membersihkan sampah selepas aksi, ia hanya berbekal kemampuan identifikasi pada tingkat naluri hewani.
Membela sesama muslim yang teraniaya memang sikap mulia, dan ada doktrin dalam Islam yang jelas-jelas mengajarkannya. Aksi bela Rohingya tetap penting dan layak dijalankan. Tapi, Pak, Bu, memilih Borobudur sebagai sasaran? Tolonglah, pikirkan seribu kali lagi.
Kadang saya berkhayal, bagaimana jika umat Islam menjadi minoritas di Indonesia. Apakah selepas peristiwa pembantaian dan penculikan oleh Boko Haram, misalnya, ribuan orang akan berbondong-bondong berdemonstrasi di depan kantor PP Muhammadiyah, atau kantor PBNU, atau kantor DPP PKS?
Ah, khayalan itu terlalu mengerikan. Meskipun sesungguhnya rencana pengepungan Candi Borobudur untuk mengecam geng Ashin Wirathu pun benar-benar tidak kalah mengerikan. (detik.com)
*Iqbal Aji Daryono seorang muslim, berjenggot, bukan pengikut Boko Haram
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara