• Sunday, 31 December 2017
  • Lani Lan
  • 0

Konon katanya setiap pertemuan yang terjadi karena sebuah alasan. Namun apa jadinya kalau sebuah alasan itu adalah beberapa momen yang menjadikan kenangan tak terlupakan? Namaku Anna, yang berarti air, selalu mencari celah untuk bermuara ke lautan. Begitu juga aku yang mencari makna dari setiap kisah langkah hidupku hingga kutemui satu makna sejati dari kehidupan ini.

Desember 2017, kisah ini dimulai.

Pagi di bulan Desember, ketika sang mentari malas beranjak dari peraduannya, hingga rintik kecil yang bersemangat menari-nari dan berjingkat mengawali pagi ini.

Aku menerobos kerumunan orang yang sedang asyik pada dunianya masing-masing. Sekejap, mata ini menangkap sesosok pria mengenakan kemeja kuning muda. Pria itu terlihat bingung, sempat aku menatapnya meski tidak terlalu jelas namun dalam hati berkata “pria yang ganteng”.

Aku masih merasa penasaran dan bertanya pada peserta workshop yang lain siapakah gerangan pria itu. Aku menatap kembali pria itu yang ternyata adalah salah satu nara sumber dalam acara workshop tersebut.

Aku menangkap sinyal bahwa pria itu sedang tidak baik-baik saja, memang agak aneh tapi salah satu kelebihanku adalah bisa merasakan yang tidak terlihat oleh mata.

Boleh saja tidak percaya, tapi aku sangat yakin. Dan tema workshop-nya adalah Saat yang Tepat untuk Bahagia. Maka dari itu aku merasa sangsi. Apakah ini akan menjadi hal menarik kalau pembicaranya sendiri mempunyai tanda-tanda tidak bahagia?

Peserta workshop sangat antusias saat si pria ganteng itu maju ke depan dan memberikan poin-poin materinya. Pikiranku hanya fokus sama pria itu, mimik mukanya, gaya bicaranya, potongan rambutnya, postur tubuhnya dan aah! Dia mengingatkanku pada seseorang, sama persis.

Insinyur Riko begitu tadi dia memperkenalkan diri. Yah, aku baru mengingatnya bahwa dia mirip dengan mantanku. Haiz! Aku terkekeh bahwa aku mendapati diri ini merasa luar biasa, saat seseorang sibuk menyampaikan isi materi justru aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Aku tersenyum sendiri merasa geli dengan hari ini. Pak Riko memberikan kesempatan untuk bertanya. Aku berulang-ulang mengajukan pertanyaan bahwa kenapa seseorang yang sudah terlihat sempurna memiliki wajah cantik atau ganteng, karir bagus, pinter, banyak temen, kaya, punya pasangan hidup yang sempurna justru merasa tidak bahagia?

Pak Riko mendekat ke arahku, tersenyum sangat manis, entah kenapa aku merasa gugup. Sosoknya membuatku melayang bukan karena dia mirip mantan tapi terjadi begitu saja.

Pembawaan yang dewasa itu membuat keberadaannya terasa nyaman walau tidak dipungkiri kadang-kadang monoton. Tetapi seperti ada sebuah aliran listrik yang terhubung begitu saja hanya dengan sebuah kontak indra.

“Hmm…” desah Pak Riko. Aku memandang jauh ke dalam matanya.

“Usia Anda berapa?” tanya Pak Riko. Aku mengernyitkan dahi.

“Masih dua puluhan ya?” lanjut Pak Riko. Aku hanya mengganggukan kepala berharap pertanyaanku segera dijawab. Bukankah ini tidak berhubungan dengan pertanyaannya?!

“Kehidupan ini sangat rumit dijelaskan, nanti pada waktunya ketika Anda menginjak umur tiga puluhan, empat puluhan akan mengerti dengan sendirinya. Nama Anda siapa tadi?”

“Anna” jawabku.

Arghh!! Masa seperti ini jawabannya. Sungguh tidak memuaskan, aku tidak suka dengan sesuatu yang tidak jelas. Meski begitu dia tetap menawan.

Ya sudahlah, terserah saja. Tiba pada kesimpulan, Pak Riko menambahkan bahwa seperti kata Ajahn Brahm saat yang tepat untuk bahagia adalah sekarang dan saat ini, jangan terlalu memikirkan masa depan dan masa lalu.

Dalam hati merasa girang, iya aku merasa sangat bahagia saat ini meski dengan sebuah tanda tanya tapi itu sudah cukup. Pak Riko menatapku dan tersenyum lalu aku menjadi salah tingkah. Seketika itu datanglah sesosok wanita yang tinggi, putih, semampai dengan rambut lurus panjang sebahu yang di cat warna ungu.

“Sssttt… itu pacar Pak Riko loh!” Seru yang lain. Pacar? Aneh, aku tidak merasa kesal justru aku merasa makin bahagia melihat keharmonisan yang tercipta. Bahwa masih ada figur  yang sempurna untuk dijadikan panutan.

Semoga kelak seperti itulah kehidupan semua peserta workshop hari ini mendapatkan kehidupan yang harmonis dan bahagia. Dan sesi terakhir adalah penutupan dibarengi dengan pembagian kartu nama Pak Riko.

Aku hanya iseng untuk menyimpannya karena mungkin aku salah menilai Pak Riko yang ternyata kehidupannya bahagia-bahagia saja tanpa masalah dan beban. Semuanya perfect. Sekarang hanya aku yang masih dalam masalah, mencari makna apa itu bahagia sesungguhnya.

Beberapa minggu setelah acara workshop itu berlalu, kudapati kartu nama Pak Riko terselip di sebuah buku bacaanku. Mataku berkedip-kedip, aku masih penasaran dengan Pak Riko. Karena untuk pertama kalinya penilaianku salah terhadap seseorang.

Maka tanpa pikir panjang aku iseng mengirimkan pesan. Tak lama kemudian pesanku pun terbalas. Rasa aneh pun muncul, ringan, dan ingin meledak-ledak apa pun itu yang ada di dalam hati.

Aku memuji hubungan harmonis yang terjalin dengan pacarnya bahwa sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Aku merasa melayang, kenapa aku bisa sebahagia ini merasakan kebahagiaan orang lain? Kali ini aku makin tidak mengerti.

Selang seminggu

Pak Riko mulai terbuka dan menganggapku sebagai temannya. Dia menceritakan bahwa hubungan dengan pacarnya ternyata tidak baik-baik saja. Sekarang pak Riko sedang dalam masalah yang sangat rumit.

Bagaimana tidak, menjelang pernikahannya sang kekasih meminta memutuskan hubungan dikarenakan tidak mendapat restu orangtua. Perbedaan agama menjadi penyebab utama. Begitu juga dengan teman-teman dekatnya yang meninggalkan begitu saja saat dia lagi dalam masalah.

I don’t care who you are, where you from, i don’t care! As long as you love me. Setidaknya sosok teman sejati adalah yang mau menerima dalam keadaan suka dan duka.

Tetapi apakah benar ada persahabatan sejati antara pria dan wanita? Bolehkah aku memiliki perasaan yang tidak biasa pada Pak Rico? Dan bolehkah memiliki rasa pada seseorang yang telah dimiliki oleh orang lain? Semua ini membingungkan.

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul tatkala aku mengagumi Pak Rico sebagai sosok yang menjadi idaman para wanita. Namun aku tidak akan menjadi alasan untuk hancurnya sebuah hubungan seseorang.

Menjelang malam, saat raga ini mulai lelah dan membutuhkan peraduan untuk meregangkan otot-otot yang kaku setelah beraktifitas seharian ponselku berdering tanda pesan masuk.

“Anna, maukah kamu menjadi pacarku?”

From : Rico

Mataku terbelalak. Aku tidak seriusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terbersit dalam benakku. Aku hanya… aarrgghh! Jantungku berdegup namun sesak. Senang? Bukan! Kadang aku benci untuk menjadi orang yang terlalu sensitif.

Come on Anna! Jawaban apa yang seharusnya kuberikan? Kupejamkan mata ini, berharap besok ketika bangun ini hanyalah sebuah mimpi.

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan. Dapat dijumpai di facebook, @Lani Lan

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *