• Sunday, 18 March 2018
  • Lani Lan
  • 0

Sore ini Bandung turun hujan deras. Angin bertiup kencang dan sebagian jalanan juga banjir, cuaca menjadi sangat dingin. Sedingin hati Rico yang hanya bisa memainkan ponselnya di sofa berwarna ungu. Air yang turun tidak terkira, berubah menjadi pecahan es, bertebaran di teras depan rumah Rico.

Jari jemari Rico terus memainkan ponsel, membuka foto-foto dan chat-nya yang dikirimkan Anna. Sesekali bibirnya tersungging, kemudian senyumnya mengembang, matanya berbinar. Sudah berulang kali Rico mengecewakan Anna, dengan sengaja ataupun tanpa sengaja. Bahkan ketika Anna diam-diam menangis karena dirinya, Rico hanya bisa menghembuskan napas. Rico menyadari dirinya menjadi jahat kepada Anna.

Terlalu banyak kata-kata di mulut Rico yang berdesakan ingin keluar, namun dia tidak sanggup berkata apa-apa. Air mata membasahi pipinya. Rico bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kabar Anna sekarang.

Tetapi Rico terlalu pengecut dan terlalu gengsi untuk bertanya. Rico mengangkat wajahnya, ruangan hening. “Aku kangen sama Anna,” Rico menghela napas. Ponselnya berdering. Nama Claudia terpampang di layar ponselnya, tunangannya, calon istrinya. Suara hujan masih berisik di luar.

“Lagi sama selingkuhan ya?!” terdengar suara lengkingan di ujung telepon. Suara Claudia terdengar menghina, kepedihan menggurati wajah Rico.

“Ya ampun! Aku…” Rico tidak mampu menyudahi kalimatnya.

Udahlah, aku ingin semuanya cepat berakhir,” kata Claudia.

“Oh!” seru Rico yang baru menyadari sesuatu. Tut..tut.. Claudia menutup teleponnya. Rico menggaruk kepalanya, bingung. Claudia tidak bisa berbicara lemah lembut, kemauannya harus selalu dituruti dan menguasai. Rico terpaku di depan pintu menatap hujan.

Seringkali Rico memberontak dalam hati, lelah dengan semua ini, capek ingin berlari namun jasmani berkhianat. Lingkungan selalu menyeretnya dalam keadaan yang tak bisa ia tolak. Ternyata cinta tidak sesederhana ingin hidup berdua bersama, terlalu banyak tanggung jawab dan kewajiban yang harus Rico penuhi. Keinginan orangtua, ekspektasi penggemar, dan keinginan hati terdalam. Bagaimana Rico menyeimbangkan itu semua?

Rico menyukai Anna. Itu alasan pertama.

Rico harus menikahi Claudia. Itu alasan kedua.

Rico tidak siap dengan rusaknya nama baik itu alasan ketiga.

Anna dan Claudia adalah wanita yang berbeda. Cinta dan cinta bagi orang kaya bukanlah sekedar masalah hati. Malam menjemput, hujan mereda menjadi gerimis yang berjingkat, kepala Rico pusing dan segera beranjak ke kamar mandi. Satu jam berlalu, Rico mengemudikan mobilnya mengelilingi Bandung.

Menelusuri jalan Asia Afrika, Alun-alun, Braga, dan Dago. Malam minggu yang sepi karena dingin sedang meraja, tapi tetep saja mahasiswa-mahasiswa berjualan bunga di sepanjang jalan Dago. Rico membeli mawar merah dan putih dari seorang remaja seumuran Metta keponakannya, adiknya Filan.

Rico menyetel musik sambil mengemudi, tanpa sadar mobilnya terus melaju ke arah jalan Ahmad Yani dan berhenti tepat di depan rumah Anna. Lampu menyala terang di teras depan rumah Anna dan di kamarnya yang berada di lantai dua.

Balkon adalah tempat favorit Anna untuk menghabiskan waktu paginya atau sekedar merenung tentang matahari. Katanya hanya matahari yang bisa menghangatkan seisi dunia, meski manusia dalam keadaan tidak punya hati.

Rico tersenyum mengingat Anna. Kakinya ingin melangkah turun dan memeluk Anna, menceritakan kisah konyol tentang dirinya yang putus asa. Tentu Anna akan mudah iba dan memaafkan Rico. Namun niatnya diurungkan kembali, terlalu kejam untuk mempermainkan wanita yang tulus menerima perasaannya.

Selama setengah jam Rico menatap kamar Anna dari dalam mobil, memainkan ponselnya dan memencet nomor Anna. Rindu yang membuncah kini menyiksa Rico, bagaimana memulai kembali percakapan atau cukup sampai di sini saja?

***

Perasaan bersalah menggelayuti pikiran Rico. Namun Rico juga mempunyai harga diri yang harus ia jaga. Anna membuka pintu kamarnya, menengadahkan tangan pada gerimis. Ingin Rico menggenggam tangan itu dan memenuhi janji-janji yang telah diucapkannya kala itu. Lalu Anna masuk kamar kembali dan membuka kembali pintunya, berdiri sangat tegap dengan mata memandang tepat ke arah mobil Rico.

Dengan cepat Rico melaju mengemudikan mobilnya menyadari Anna telah mencium keberadaannya. Tatapan itu adalah tatapan yang Rico takuti, sebab dari sudut mata yang jernih itu bisa keluar air mata karena dirinya.

Memutuskan sesuatu memang tidak mudah, bahkan kau harus siap dengan sebutan manusia kejam sekalipun atau orang paling munafik di dunia. Rico menyadarinya, suatu hubungan tidak akan berjalan dengan baik jika keduanya saling mengabaikan. Rico tanpa pikir panjang memencet ponselnya, menelepon Anna, namun tanpa ada jawaban. Sekarang Anna benar-benar membenci Rico.

Kini Rico berdiri tepat di depan pintu rumah Claudia dan memencet bel rumah. Tak berapa lama kemudian Claudia membuka pintu.

“Hai,” sapa Rico.

“Yuk masuk.” Ajak Claudia.

Benar saja Claudia tidak marah-marah lagi. Dan alasannya adalah kedua orangtua Claudia sedang menunggu untuk makan malam bersama. Rico bisa romantis dan menyandarkan lelahnya kepada Anna.

Namun tidak pada Claudia, pada keluarga Claudia. Rico harus selalu tampak sempurna. Dari segi karier, kehidupan, dan segalanya harus sempurna. Bibit, bebet, bobot yang akan menjamin kebahagiaan. Untuk pertama kalinya wajah Rico terlihat murung, pikirannya dipenuhi dengan nama Anna.

Rico tidak pernah berpikir bahwa pertemuannya dengan Anna mengubah sudut pandang yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Wanita yang blak-blakan dengan perasaannya serta agak kekanak-kanakan itu namanya Anna. Anna Pricila. Yang langsung menghubungi Rico karena penasaran.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *