
Setiap orang punya caranya sendiri untuk membangun dunianya tanpa meminta kita untuk mengerti, layaknya angin berembus menciptakan dunianya.
Keesokan harinya…
Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari menyinari bumi. Masih dingin dan gelap ditemani rintik gerimis yang berebut berjatuhan berisik di atas kanopi. Aku mengucek mataku kemudian merentangkan tanganku, menyingkirkan selimut tebal yang telah membalutku semalaman.
Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi, segera aku beranjak ke ruang tengah tempat di mana ada altar yang posisinya di sebelah rak buku. Aku menyalakan lilin kemudian dupa yang wanginya membuat pikiran tenang dan nyaman, setelah itu aku duduk bersila mencoba memusatkan pikiranku pada napas.
Akh! Benar-benar kacau, pikiranku ke mana-mana, melayang semau sendiri tanpa kendali dan kudapati seluruh tubuhku merinding karena dingin. Meditasi di pagi hari yang gagal! Setidaknya ada niat dan dilakukan he-he-he. Niat? Ya, pagi ini aku berniat dana makan pagi kepada bhante di vihara.
Aku sangat antusias walau sebenarnya hanya masak capcay tapi ya kata teman sih masakanku enak (muji diri sendiri). Ada buah apel juga, sekalian aku kirim buat Filan. Jujur hari ini aku malas untuk kerja, karena pikiran yang tidak fokus dan pasti suasana juga tidak kondusif kalau aku tidak bisa menguasai diriku sendiri.
Rerumput
Embun pagi yang menyegarkan rumput-rumput mulai berjatuhan memberiku semangat, tidak ada gerimis lagi. Namun langit masih sendu, murung tanpa senyuman yang biasa dibanggakannya. Hidup ini menakjubkan kalau dipikir-pikir apalagi bisa melihat segalanya lebih dekat tapi ah.. semakin lebih dekat semakin kecewa, apa sebaiknya menjauh?
Aku mulai mengemudikan motorku dan memasang handsfree di telingaku, mau gak mau musik membuatku lebih tenang. Jalanan Bandung selalu macet di pagi hari, kususuri Jalan Sudirman, lalu ke arah Otista dan menuju arah alun-alun, lurus ke arah Lengkong besar belok kanan dan sampailah di vihara.
Sudah banyak orang dengan membawa berbagai menu mewah yang siap disajikan. Aku mengangkat alisku dan tersenyum karena cuma satu menu yang kubawa. Aih! Kerennya diriku. Anna Pricilia. Tiba-tiba tante Rina mengagetkanku dengan suaranya.
“Anna, apa kau kenal Rico?” tanya tante Rina. Aku menoleh dengan ekspresi bingung, kisahku dan Rico tidak ada yang tahu hanya aku, Rico, karma dan makhluk gaib yang tahu hehehe.
“Ih, masa gak kenal sih. Itu loh yang beberapa waktu lalu diundang ke sini,” lanjut tante Rina.
“Oh, iya tahu tante. Kenapa?” jawabku setengah hati. Tante Rina menarik tanganku pelan membawaku ke pojokan ruangan karena banyak orang yang sedang berbincang.
Sstttt.. bisik tante Rina. Jantungku berdegup keras mencoba menerka apa yang akan ditanyakan tante Rina. Wanita separuh baya yang anggun dan siap menjadi donatur dalam segala kegiatan amal, berperawakan tinggi besar dan ceplas-ceplos yang anak-anaknya mirip bintang-bintang drama korea ini mulai berbicara.
“Kemarin, masa Rico nanya ada gosip apa tentang dirinya. Aneh kan?”
Aku hanya meringis dan menarik napas dalam. Aneh banget sih, gumamku.
“Lalu dia bilang hubungan dengan pacarnya baik-baik saja, justru akan melakukan prewed ke Eropa minggu ini,” lanjut tante Rina. Darahku tiba-tiba mendidih siap meledak, mataku memerah dan napasku tak beraturan.
“Ah, Rico memang sempurna sekali hidupnya ya. Coba belum punya pacar tante jodohin sama kamu deh hahaha,” tante Rina mengacak rambutku.
“Ah, hehehe. Tante bisa aja, iya hidup Rico memang hebat tante,” balasku sambil terkekeh, emang tante ibunya? gerutuku.
“Nah yang hebatnya lagi, ceweknya itu mau pindah keyakinan loh, emang panutan si Rico itu. Kamu kapan kenalin pacar kamu sama tante?” senyum tante Rina sumringah, tangannya memegang pipiku lembut.
“Pada saatnya nanti tante,” jawabku sambil tersenyum. Darahku sudah meletup-letup tak karuan, kuku tanganku dengan sendirinya memanjang dan gigiku telah bertaring siap mencakar dan mencabik jantungku sendiri. Kenapa bukan jantung Rico saja?!
“Eh, ayo udah mulai baca doa loh,” ajak tante Rina ke ruang makan.
Lagi-lagi aku murung, kali ini rasa sakit yang tidak bisa ditolerir lagi membuncah. Kebencian memuncak yang kurasakan menusuk relung hati terdalam. Rico jahat sekali, tanpa sepatah kata pun dia mencampakanku.
Kali ini aku benar-benar sangat membenci kelakuan Rico, itu adalah haknya untuk memperbaiki hubungannya. Wajahnya yang menenangkan itu, senyumnya yang membuat hati berdebar, suaranya yang seolah orang paling bijak itu dan tatapannya yang memukau kini sirna. Sosok sempurna itu telah berkeping-keping menjadi serpihan kenangan.
Masa bodo dengan dirinya yang menjadi panutan dan memiliki hidup yang sempurna di mata orang, kini bagiku Rico adalah seorang pengecut.
Aku menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Kudapati diriku sangat bodoh, menuruti hasrat mencintai itu sederhana tanpa perlu mendapat balasan. Namun ego untuk diakui lebih besar dari apapun, kalau tidak mau terluka jangan memulai bermain api. Ruangan menjadi sejuk dan dingin. Bhante memulai makan paginya dan aku bersiap ke rumah sakit untuk menjenguk Filan.
“Hai Anna.. ke mana saja?” seseorang memanggilku dan ternyata itu adalah ko Daren anaknya tante Rina.
“Hey Ko, ada aja lah. Mau pergi nih, ikutan gak?” ajakku.
“Gak ah, nanti ganggu. Kamu makin hari makin cantik aja ya,” puji Ko Daren dengan senyum lesung pipit di pipinya. Ah manisnya. Tapi hari ini aku lagi benci melihat senyuman orang, entahlah. Lagi benci aja. Aku menetralkan emosiku dengan menarik napas panjang.
Ilustrasi: Agung Wijaya
Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.
Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.