Visakha sedang menikmati gado-gado kesukaannya. Itu menu favorit kalau Vei sedang vegetarian. Teman sekantornya sudah hafal betul dan tidak banyak tanya. Vei vegetarian tiap cei it dan cap go* serta seminggu sebelum Waisak.
“Vei, sudah denger belum Winda mau keluar?” kata Mbak Intan.
“Lho memang kenapa?” tanya Vei, masih asyik dengan gado-gadonya.
“Gak ada masalah sih dengan kerjaan. Winda sudah enjoy dengan pekerjaannya meski hanya operator telepon. Cuma sebentar lagi dia akan menikah, calon suaminya ‘kan kerja di Bogor. Karir suaminya lumayan bagus, jadi Winda-lah yang harus keluar.”
“Ya, itu pilihan yang bijak. Trus siapa yang gantiin?”
“Denger-denger sih kamu Vei.”
Sontak Vei berhenti menyuapkan gado-gado ke mulutnya. Mbak Intan bisa merasakan perubahan sikap sahabatnya itu.
“Memang kenapa Vei? Kamu gak mau ya?”
“Ah… nggak kok. Cuma agak kaget saja, baru mulai menguasai kerjaan sekarang, harus pindah dan mulai belajar hal baru lagi. Capek deh…” Vei coba menyembunyikan perasaannya.
“Oh kalau itu sih tak terlalu masalah. Sebelum Winda keluar, minimal 3 atau 4 hari sebelumnya, kamu pasti sudah di operator. Winda akan mengajari apa saja yang harus kamu kerjakan,” terang Mbak Intan.
Visakha diam, namun berusaha keras agar kegundahan hatinya tak terbaca oleh Mbak Intan dengan terus memakan gado-gado yang sekarang terasa hambar di lidahnya.
* * *
Tepat seperti cerita yang pernah didengarnya. Tugas operator telepon adalah berbohong! Bilang pimpinan sedang tak di tempat, bilang Pak A sedang di lapangan, bilang si B lagi meeting tak bisa diganggu, dan lain-lain. Intinya bohong! Operator dibayar untuk berbohong.
Vei paham mengapa perusahaan lebih suka memakai manusia sebagai operator, padahal bisa dengan mesin penjawab yang menyapa “Terima kasih Anda telah menghubungi PT X, silakan tekan extension yang dituju bla… bla… bla…” Masalahnya mesin tidak bisa berbohong!
Visakha tidak masalah dipindah ke departemen mana saja. Itu sudah ditegaskannya saat interview. Maklum saja, ia hanya lulusan D1 Akuntansi, rekan-rekannya sebagian besar lulusan S1 Akuntansi. Visakha juga tidak bisa menolak ketika dia yang ditugaskan menggantikan Winda.
Vei boleh dibilang “anak baru” di perusahaan ini. Yang lain adalah karyawan accounting yang sudah lama mengabdi di perusahaan tekstil ini. Waktu diterima di perusahaan ini, Vei ditempatkan sebagai asisten Mbak Intan.
Saat itu Mbak Intan yang menjabat sebagai kepala bagian accounting, baru masuk setelah cuti melahirkan Thalia, anak pertamanya. Karena setiap hari selalu bersama, mereka jadi sahabat. Bahkan Mbak Intan sudah menganggap Vei seperti adiknya sendiri.
Apakah perusahaan akan cari karyawan baru untuk operator? Hampir pasti tidak, kata Mbak Intan. Bos sudah ribut tentang kondisi perusahaan akhir-akhir ini. Orderan sepi, saingan banyak, banyak piutang macet, laba menurun. Tidak akan ada penambahan karyawan baru. Visakha menggantikan Winda itu solusi yang paling pas.
Yang jadi ganjalan hanyalah harus terus berbohong, itu melanggar sila ke-4 Pancasila Buddhis. Bukan hanya sesekali, tapi hampir pasti setiap hari Vei harus berbohong. Itu bertentangan dengan batinnya.
Kalau berbohong masih kategori white lie atau bohong demi kebaikan, misalkan ada orang yang mengantar proposal minta sumbangan dan ngotot mau ketemu pimpinan, mungkin Visakha masih bisa terima (meski tetap berat hati).
Tapi 2 hari lalu berkali-kali telpon masuk minta dihubungkan dengan bos, kata supplier benang itu tagihan sudah lewat 1 bulan, tapi belum dibayar juga.
Visakha tau, bukannya perusahaan tempatnya bekerja tak mau bayar, tapi karena toko-toko kain pelanggan perusahaan ini yang telat bayar hutang sehingga perusahaan tempat kerjanya juga sedang kesulitan keuangan. Mau tak mau, Visakha harus berbohong. Vei merasa sangat bersalah.
Sudah 3 hari Visakha jadi operator didampingi Winda, sudah tak terhitung berapa kali Vei sudah berbohong. Apa yang harus dilakukannya? Mengundurkan diri lalu cari pekerjaan lain atau terus bekerja tapi batin tak tenang? Ini pilihan yang sulit, ini dilema.
* * *
Visakha teringat ceramah Dhamma dari Bhante Uttamo. “Kalau kita berbuat baik, kebaikan yang kelak kita dapatkan akan jauh lebih besar. Sebutir padi yang ditanam, saat panen akan menghasilkan banyak padi.”
Hidup tidak seperti matematika. Pada matematika, ketika kita punya 2 buah apel, lalu kita berikan 1 apel kepada teman, apel kita sisa 1. Begitulah perhitungan matematisnya. Hidup ini lebih mirip pelajaran biologi. Kita memiliki 2 butir padi, 1 butir padi kita tanam, sisa padi di tangan kita memang 1 butir, tapi saat panen, kita akan mendapatkan banyak padi.
Ada poin penting yang Visakha tangkap terkait dengan pekerjaannya sekarang ini. Meski sehari setetes air, kalau dilakukan secara terus-menerus, bukankah tempayan akhirnya akan penuh juga?
* * *
Sudah 2 minggu Visakha resmi jadi operator telpon. Berlalunya hari bukan membuat dirinya makin tenang karena sudah “terbiasa” bohong. Visakha makin tidak tenang, tidur tidak lagi nyenyak. Semalam dia sudah berpikir, keputusan sudah diambil. Meski berat, tapi Vei yakin, itu keputusan yang paling tepat. Apalagi keluarga mendukung keputusannya.
* * *
Siang itu Vei bersalaman dengan teman-teman sekerjanya. Hari itu adalah hari terakhir Vei bekerja. Tak ada yang tau alasan sebenarnya di balik pengunduran diri Vei. Vei hanya mengatakan Mama meminta dia membantu dan melanjutkan usaha pembuatan kue yang sudah dirintis sejak dulu. Teman sekantor menyayangkan keputusan Vei, tapi keputusan Vei sudah bulat.
* * *
Masa lalu sudah lewat, masa depan belum datang, jangan terlalu dirisaukan. Yang terpenting hidup saat ini. Jalani dengan penuh kesadaran. Apa yang kita dapatkan di masa kini adalah hasil perbuatan kita di masa lalu. Apa yang akan kita dapatkan di masa depan, itu merupakan hasil dari tindakan kita sekarang.
Vei menyadari itu sepenuhnya. Itulah sebabnya, Vei selalu melakukan yang terbaik, yang bisa dilakukannya saat ini. Vei terus mengirim surat lamaran kerja, sambil tetap bekerja membantu Mama menjalankan usaha pembuatan kue.
“Apakah Vei menyesal? Tidak ada kata menyesal dalam kamus Vei. Hidup ini penuh ketidakpastian. Hidup ini penuh pilihan. Yang terpenting Vei telah melakukan yang terbaik sesuai keyakinannya sebagai seorang Buddhis. Bukan sok suci, bukan sok Buddhis. Buat apa bekerja tapi batin tidak tenang? Vei hanya menjalankan prinsip yang ia yakini.
* * *
“Vei… Vei…” terdengar teriakan Mama. “Ada surat, sepertinya surat panggilan interview deh…” teriak Mama lagi. “Ya Ma…” jawab Vei.
Apakah itu berarti Vei akan dapat kerja lagi? Apakah ini buah dari semua tindakan Vei yang sejalan dengan Buddha Dhamma? Tidak ada yang tau. Hidup ini bukan seperti matematika, ia memiliki matematikanya sendiri, pun juga bukan seperti sinetron atau film. Yang baik akan menang di akhir cerita dan hidup berbahagia.
Kita tak tau kapan buah dari perbuatan kita akan kita petik. Hidup ini penuh ketidakpastian. Tapi yang pasti, apa yang kita tanam, itu yang kelak kita petik. Entah di kehidupan sekarang atau di kehidupan yang akan datang.
* Dikutip dari buku kumpulan cerpen Buddhis “Asal Usul Pohon Salak” terbitan Insight Vidyasena Production, Yogyakarta (Sept 2011) dengan sedikit perubahan.
* Ce it (tanggal 1 penanggalan lunar/ Imlek), cap go (tanggal 15)
Ilustrator: Agung Wijaya
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan. Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara