• Tuesday, 29 May 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Selamat pagi semua. Hmm.. Saya mencium aroma-aroma belum mandi nih. Lol.

Tahu ‘kan apa yang mau sedikit saya bahas sekarang? Ya! Mengenai karma atau kamma dalam Bahasa Pali. Tapi bukan tentang tayangan supranatural ‘Karma’ di salah satu saluran TV swasta yang lagi fenomenal itu ya.

Jujur saya cuma beberapa kali nonton acara ini di Youtube. Juga saya tidak mengenal saudara Roy Kiyoshi maupun Robby Purba. Tapi cukup banyak pro-kontranya acara ini. Ada yang sangat tertarik dan antusias. Ada pula yang mengecam acara semacam ini ditampilkan, menganggapnya sesat dan tidak sesuai dengan pandangan agama. Apalagi kalau dikaitkan dengan agama Bro Roy yaitu agama Buddha.

Hmm… saya jadi bertanya-tanya, kalau Bro Roy tidak beragama Buddha apakah orang-orang ini akan lebih menerima acara ini? Toh nyatanya banyak juga acara-acara sejenis yang memakai atribut agama-agama tertentu. Tapi sudahlah. Yang mau saya bahas bukan Si Roy atau acara Karma, melainkan Karma itu sendiri dalam agama Buddha.

Cukup sering lho umat Buddha sendiri yang tidak paham karma secara Buddhis. Bahkan terkadang terlalu menggampangkannya. Bilang kalau seseorang kena nasib sial, ah.. itu kan karma buruknya sedang berbuah! Kalau seseorang dapat nasib mujur, oh… itu mah lagi karma baiknya aja! Bahkan tak sedikit penceramah-penceramah Buddhis yang menjelaskan karma dengan menggampangkan, dengan menceritakan kejadian perbuatan A berbuah A1, perbuatan B berbuah B1, demikian seterusnya. Gampang boleh, salah jangan.

Buddhadharma

Sebab menurut ajaran Buddha, karma itu adalah proses yang kompleks dan sulit dipahami melalui pikiran manusia biasa yang belum tercerahkan. Ajaran karmanya Buddha agak berbeda dengan ajaran karma pada beberapa agama India lainnya seperti Hindu maupun Jain.

Tidak seperti Jain, ajaran karma Buddhis tidaklah kaku/deterministic, tetapi mencakup pula beragam faktor lainnya (Kalupahana 1975, Gombrich 2009, Bhikkhu Thanissaro 2010). Dalam Angutara Nikaya, Nibbedhika Sutta, Buddha menjelaskan bahwa kehendak (cetana) adalah karma. Dengan kehendak, seseorang melakukan karma baik melalui badan jasmani, ucapan, maupun pikiran.

Karma bukanlah sebuah proses yang kaku, tetapi fleksibel dan mengalir secara dinamis. Hasil karma dari suatu perbuatan tidak hanya ditentukan oleh perbuatan itu sendiri, tetapi juga oleh sifat orang yang melakukan perbuatan itu dan lingkungan perbuatan itu dilakukan.

Baca juga: KTP, Sehelai Ikatan Karma Penuntun Dharma

Menurut Gombrich, ajaran karma Buddhis ini merupakan suatu inovasi penting pada zaman Buddha yang menentang ajaran brahmana pada saat itu. Ajaran brahmana yang berdasarkan kasta ditolak oleh Buddha yang mengatakan bahwa semua orang (terlepas dari kastanya) memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesucian dan pembebasan, tidak hanya kaum brahmana saja. Sebagaimana terlihat dalam Dhammapada 393:

Bukan karena rambut dijalin, keturunan, ataupun kelahiran, seseorang menjadi brahmana. Tetapi orang yang memiliki kejujuran dan kebajikan, yang pantas menjadi seorang brahmana, orang yang suci.

Hal senada disampaikan pula dalam Sutta Nipata 136:

Seseorang tidaklah hina karena kelahirannya, tidaklah juga kelahiran menjadikan seseorang suci. Hanya perbuatan yang membuat orang menjadi rendah, hanya perbuatanlah yang membuat orang menjadi suci.

Penting juga untuk membedakan karma dengan karmaphala (buah dari karma). Keduanya penting untuk menjelaskan kelahiran kembali di alam samsara. Pembebasan dari alam samsara ini dapat dicapai dengan mengikuti jalan Buddhis. Jalan ini membawa pada vidya (pengetahuan) dan pannya (kebijaksanaan), melenyapkan tanha (nafsu kemelekatan), serta tiga akar kejahatan. Dengan demikian, proses kelahiran kembali pun akan terhenti.

Karma tidak sama dengan takdir

Karma tidaklah sama dengan nasib atau takdir. Karma juga bukanlah suatu penghukuman atau pengadilan yang ditetapkan oleh Adikodrati. Tetapi karma lebih pada proses alami yang timbul sebagai ‘konsekuensi’ atas perbuatan yang telah dilakukan.

Hasil karma ini sulit dipahami karena konsekuensi yang timbul dipengaruhi banyak faktor. Sutta Acintita (Acinteyya) bagian dari Anguttara Nikaya telah memperingati hal ini bahwa “hasil karma” merupakan salah satu dari empat hal yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa, melebihi semua konseptualisasi dan tidak dapat dimengerti hanya melalui sekedar pemikiran atau alasan logis.

Menurut Gombrich, sutta ini mungkin telah menjadi sebuah peringatan terhadap kecenderungan, bahkan dari zaman Buddha hingga sekarang ini, untuk memahami doktrin karma secara terbelakang, untuk menjelaskan kondisi-kondisi jelek dalam kehidupan saat ini ketika tidak ada penjelasan lain yang tersedia.

Tapi meskipun rumit memahami ‘hasil karma’, cukup jalani kehidupan dengan banyak berbuat baik. Karena perbuatan baik pasti akan berbuah kebaikan sebagaimana syair 122 Dhammapada:

“Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata:
Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat. Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.”

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *