“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu, Ibuku sayang masih terus berjalan, walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah. Seperti udara, kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas… ibu… ibu…”
Anda kenal syair potongan syair lagu itu? Itu lagu “Ibu” dari Iwan Fals. Jika lagu tadi kurang Anda kenal, penulis yakin Anda kenal syair lagu berikut ini.
“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya, menyinari dunia.” Itu syair lagu “Kasih Ibu” yang sudah kita nyanyikan sejak kita masih TK.
Di kedua lagu tadi diungkapkan betapa besar jasa ibu kepada kita. Kita tak mampu membalas jasa kebaikan ibu. Dalam salah satu ceramah Dhamma yang penulis dengar, “Meski kita memanggul ayah dan ibu kita di kedua bahu kita dan membawa mereka ke mana pun kita pergi, serta kita melayani mereka hingga kita hidup 100 tahun pun, belum cukup untuk membalas jasa mereka…”
Kesimpulannya, kita tidak mungkin mampu membalas jasa orangtua kita (tentu saja ibu termasuk di dalamnya). Penulis sekeluarga pernah beberapa kali berkunjung ke panti wreda, mengunjungi Oma dan Opa yang jadi penghuni di sana. Kami membagikan makanan, penulis dan Revata (anak penulis) tampil menghibur mereka dengan bermain sulap.
Sedih mendengar kisah mereka. Ada yang “terdampar” di sana karena memang sudah tidak punya keluarga, tapi ada yang memang “dititipkan” oleh anggota keluarga mereka dengan berbagai alasan.
Ada yang terpaksa karena tuntutan ekonomi (harus bekerja dan tidak ada yang dapat menjaga orangtuanya), ada yang memang “membuang” orangtuanya karena dirasa merepotkan dan sudah tidak produktif lagi. Bahkan ada yang sengaja “membuang” mereka di jalan dan tidak bisa ditelusuri di mana keberadaan anggota keluarga yang membuang mereka.
Orangtua bekerja di restoran cepat saji
Sudut ruang
Di lain waktu, saat ikut kunjungan kasih ke panti wreda bersama anak-anak dari vihara, penulis juga berkesempatan menghibur penghuni panti dengan permainan sulap. Satu hal yang tak pernah terlupa hingga saat ini. Saat akan pulang, kami menyalami mereka satu persatu. Biasanya kami mengucapkan, “Sampai jumpa Oma, sampai jumpa di lain kesempatan.
Semoga Oma sehat dan panjang umur.” Seorang Oma yang penulis salami mengatakan, “Jangan doakan Oma panjang umur, doakan Oma cepat mati…” Duh… terbayang bagaimana tekanan batinnya, merasa dibuang dan tidak pernah mendapat kunjungan dari anak kandung maupun cucunya.
Miris melihat kenyataan ini. Penulis pernah menjumpai hal lain yang tak kalah mirisnya. Di sebuah kompleks perumahan kalangan menengah, seorang ibu tua juga ditelantarkan.
Ia terpaksa duduk di luar rumah (terkena terik matahari) karena bagian dalam rumah tersebut penuh sesak dengan mesin jahit (dijadikan tempat usaha konveksi oleh anaknya). Orangtua dikaryakan sebagai “satpam” pekerja konveksi, sementara anaknya bekerja. Mungkin hanya malam hari beliau berada di dalam rumah untuk tidur.
Atau di mall, penulis melihat nenek yang harus menggendong cucunya, sementara sang ibu (ibu dari cucu yang digendong nenek itu), dengan santainya berjalan dan asyik dengan smartphone-nya. Entah wanita yang asyik dengan smartphone itu anak atau menantunya, tapi tidak sepatutnya seperti itu memperlakukan orangtua.
Saat muda (jadi ibu), merawat anaknya. Saat anak sudah besar, menikah dan punya anak (ibu ini sudah jadi nenek), tugasnya tetap sama, merawat anak (cucunya). Tidak ada waktu pensiun dan menikmati hari tuanya.
Satu pemandangan unik yang penulis jumpai saat berlibur ke Singapura. Orangtua diberi kesempatan bekerja. Pekerjaannya yang ringan-ringan, seperti penjaga toilet, kasir di resto cepat saja, petugas kebersihan mal. Kebijakan pemerintah Singapura yang begitu memperhatikan kebutuhan orangtua.
Mereka tetap punya kesempatan bekerja (punya penghasilan sendiri), memiliki kegiatan sehingga tidak jenuh dan tidak cepat pikun, dan merasa dihargai (masih dapat bekerja). Saat tahun baru Imlek tiba, mereka bisa memberi angpau kepada cucunya dengan uang hasil keringat mereka sendiri.
Menjadi tua (lahir, tua, sakit, dan mati) adalah hal yang tak dapat dihindari selama kita masih terlahir lagi. Itu konsekuensi logis yang tak dapat dihindari oleh siapa pun. Tapi tidak seharusnya memperlakukan orangtua yang sudah tua seperti memperlakukan barang yang sudah tak terpakai.
Kita pun akan mengalami hal itu. Bayangkan, bagaimana jika kita juga mengalami hal yang sama? Ingat kata-kata yang paling sering kita dengar dalam ceramah Dhamma, “Apa yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik.”
Persiapkan diri Anda. Anda ingin diperlakukan seperti apa di hari tua Anda nanti, lakukan hal itu kepada orangtua Anda di saat ini. Perlakukan ibu (juga ayah) dengan baik, meski syair lagu mengatakan mereka hanya memberi, tak harap kembali. Selamat Hari Ibu kepada semua ibu dan calon ibu…
Catatan:
Mengenang 17 tahun kepergian ibu penulis (Ng Pik Laij), dan terima kasih untuk Linda (ibu dari anak-anak kami) yang luar biasa. Ini kado ultah untuk ultah Linda (25 Desember 2017).
Hendry Filcozwei Jan
Penulis cerpen Buddhis, suami dari Linda Muditavati, ayah dari 2 putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan).
Pengelola blog www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com, suka sulap dan pendiri group WA: KCB (Komunitas Cerpen Buddhis), tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara