• Friday, 22 December 2017
  • Kirmi
  • 0

Usia bumi yang semakin tua, hingar-bingar kehidupan penuh reaksi, menciptakan kondisi, dan masing-masing menyumbangkan imbasnya tersendiri.

Manusia yang terbagi menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap kehidupan di bumi ini, akan tetapi dengan berbagai aspek, situasi, dan kondisi telah menempatkan perempuan sebagai makhluk di belakang laki-laki.

Meskipun dewasa ini telah digaungkan tentang keadilan gender maupun persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, namun hal tersebut baru menyentuh pada permukaan dan sebagian kecil masyarakat. Terutama di masyarakat pedesaan, generasi tua masih kental sekali dengan budaya patriarki.

Terdapat dua istilah yaitu perempuan dan wanita yang masing-masing menjelaskan makna yang berbeda meskipun keduanya memiliki arti yang sama.

Kata wanita adalah hasil dari proses panjang perubahan bunyi yang sering disebut gejala bahasa metatesis (gejala perubahan atau pertukaran letak huruf, bunyi, suku kata dalam suatu kata) dan proses perubahan kontoid (proses perubahan bunyi konsonan) dari kata betina.

 
Proses perubahan kata betina menjadi banita, banita mengalami proses perubahan konsonan dari b menjadi w sehingga menjadi wanita sedangkan kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir atau berkuasa atau kepala, hulu, dan yang paling besar.

Kata empu berhubungan dengan kata ampu yaitu sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali, serta terdapat kata mengampu yang berarti memerintah.

Kata perempuan berasal dari akar kata empuan yang mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya sapaan hormat pada perempuan, sebagai pasangan kata tuan yaitu sapaan hormat pada laki-laki.

Penggunaan istilah untuk menyebutkan wanita atau perempuan memberikan makna dan pengaruh bahkan kekuatan tersendiri bagi perempuan.

Kata wanita menjadi bermakna rendah, sebagai contoh dalam kultur Jawa, wanita diartikan sebagai wani ditata (berani diatur) bahkan muncul istilah pejah gesang kulo dherek (hidup mati saya ikut suami) dan swargo nunut, neraka katut (masuk surga menumpang suami dan ketika suami masuk neraka istri akan terbawa). Berbeda jauh dengan arti dari kata perempuan.

Masyarakat secara umum mengenal istilah kodrat bagi perempuan dan laki-laki, dengan adanya kodrat ini memberikan sumbangan besar yang memberikan jurang perbedaan status antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani rutinitas kehidupan di bumi.

Anggapan tentang kodrat bagi laki-laki dan perempuan telah melekat pada masyarakat dikarenakan suatu kontruksi kultur, bahkan oleh ajaran agama dan disosialisasikan dari generasi ke generasi melalui kekuasaan sehingga ketentuannya dipengaruhi oleh kekuatan yang sedang berkuasa.

Peranan

Kodrat membagi peranan laki-laki di ranah publik dan perempuan di ranah domestik. Meskipun pada kenyataannya banyak perempuan tampil di wilayah publik, namun tidak sedikit yang harus merangkap untuk tetap bertanggung jawab pada ranah domestik. Keadaan tersebut membuat perempuan harus melakukan tanggung jawab ganda, menggunakan tenaga dan pikiran lebih banyak.

Bukan hanya beban tanggung jawab ganda, namun juga beban psikologis yang lebih berat, ranah domestik tidak terlepas dari pengasuhan anak, anak merupakan aset keluarga yang harus menjadi produk paling berkualitas (tidak sedikit orangtua beranggapan demikian terhadap anaknya).

Atau setidaknya dapat diartikan berbagai hal yang terjadi terhadap anak tidak boleh luput dari pengawasan sang ibu (perempuan). Atau lebih tepatnya apa pun yang terjadi pada anak adalah tanggung jawab ibu.

Seorang ayah modern tidak membatasi istri untuk berkarier bahkan mereka menggunakan jasa babysitter atau asisten rumah tangga. Namun pada kenyataannya apabila terjadi sesuatu terhadap sang anak atau kekacauan dalam ranah domestik, suami akan mudah menuntut dan menyalahkan istri atas ketidakmampuannya dalam mengurus tanggung jawabnya.

 
Entah kesalahan memilih babysitter, membagi waktu, atau mengatur jadwal, dan berbagai alasan lainnya. Masalah tersebut memberikan tekanan psikologis pada sang ibu sehingga menghambat ruang gerak, bahkan kreativitas mereka karena rasa bersalah menjadi beban mental yang tidak mudah terhapuskan.

Mengapa demikian? Karena kodrat yang meletakkan laki-laki di atas perempuan telah mendarah daging sehingga seorang laki-laki tidak mampu melihat sikap dan keputusannya itu memberikan beban berat bagai perempuan.

Kebijakan ataupun keputusan yang dibuat kaum laki-laki terasa wajar, seakan tidak ada rasa bersalah ataupun memberikan beban mental bagi mereka. Hal ini bertolak belakang dengan yang dirasakan oleh perempuan. Sikap demikian ini bahkan membuat perempuan sendiri tidak menyadari beban ganda mereka, dan sering menyalahkan diri atas apa yang seharusnya menjadi tangung jawab bersama.

Di pedesaan, terutama yang berprofesi sebagi petani, rutinitas perempuan adalah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya dan juga membantu suami mengerjakan sawah, ladang, kebun, atau memelihara hewan (sapi, kambing). Sering kali, meski sudah memasuki jam istirahat, istri masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya.

Bagaimanakah agama Buddha memandang dan memosisikan perempuan? Tanggal 22 Desember 2017 telah tiba, “Selamat Hari Ibu, untuk ibu-ibuku yang hebat.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *