• Saturday, 7 March 2020
  • Adica Wirawan
  • 0

Sewaktu kemarin menelusuri postingan di Instagram, mata saya tiba-tiba “terpaku” pada berita melonjaknya harga masker yang terjadi di Pasar Pramuka. Berdasarkan berita yang dimuat di akun @detikcom tersebut, sejak pemerintah mengumumkan bahwa ada Warga Negara Indonesia yang terinfeksi Virus Corona, permintaan atas masker di sana sontak membeludak. Alhasil, masker yang tadinya dijual dengan harga Rp 25 ribu “melejit” menjadi Rp 260 ribu per boks!

Meningkatnya harga masker tadi, menurut saya, tidak masuk akal, mengingat kenaikannya mencapai 1.400% lebih. Saya berpikir, apa betul stok masker di masyarakat sudah sedemikian terbatas, sehingga masker susah sekali didapat, dan harganya kemudian naik gila-gilaan?

Belum selesai saya merenungkan hal tersebut, seorang teman kemudian mengirimi saya sebuah postingan lain yang bikin saya tambah geleng-geleng kepala. Pasalnya, postingan tadi menampilkan harga masker yang dijual di sebuah e-commerce.

Melambung tinggi

Tahukah Anda, di situ, ternyata sudah ada yang menjual masker dengan harga 1,5 juta Rupiah per box-nya? Artinya, kenaikan harganya telah “membumbung” menjadi sekitar 8.400%!

Saya enggan berburuk sangka dalam menyikapi peristiwa tersebut. Semuanya dapat terjadi. Bisa saja pabrik masker memang “kewalahan” memenuhi permintaan, sehingga jumlah masker yang bisa diproduksi dan disalurkan kalah banyak daripada jumlah permintaan yang datang.

Kalau hal itu betul-betul terjadi, maka wajar kalau harga masker di pasaran meningkat drastis. Tidak ada yang keliru dalam kasus tersebut.

Namun, yang jadi persoalan ialah angka kenaikan yang terbilang “fantastis”! Betapa tidak, hanya dalam hitungan hari, lonjakan harganya bisa sedemikian tajam. Hal ini tentu menjadi “beban” tersendiri bagi konsumen, terutama yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Di satu sisi, konsumen butuh masker untuk melindungi dirinya dari paparan virus Corona. Di sisi lain, konsumen juga mesti merogoh kocek yang dalam untuk membeli sebuah masker.

Situasi ini justru berkebalikan dengan yang dialami oleh produsen dan penjual masker. Jumlah permintaan yang tinggi, diiringi dengan pasokan yang sedikit, membuat tingkat keuntungan yang diperoleh dapat naik berkali-kali lipat!

Para penjual tadi bebas memasang harga masker yang tinggi karena ada konsumen yang bersedia membayarnya. Kalau terus dibiarkan, hal ini tentu bisa menimbulkan praktik berbisnis yang kurang etis.

Buktinya, sempat tersiar berita bahwa ada penjual yang berbuat “nakal” dengan sengaja menimbun masker. Aksi ini dilakukan untuk meraup untung sebesar-besarnya. Sebab, semakin susah masker didapat, semakin mahal harganya, semakin besar pula keuntungan yang bisa dipetik!

Sudut pandang

Lantas, salahkah hal itu dilakukan dalam sudut pandang agama Buddha? Sebelum menjawab pertanyaan tadi, kita tentu mengetahui bahwa di dalam Ajaran Buddha ada yang disebut sebagai Matapencaharian Benar (Samma-Ajiva). Matapencaharian Benar adalah salah satu ruas dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Sejak bertahun-tahun, Matapencaharian Benar menjadi sebuah “barometer” dalam mencari penghidupan yang layak. Dengan adanya “barometer” ini, Upasaka dan Upasika bisa mengetahui mana pekerjaan yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.

Dalam Matapencaharian Benar, Buddha menyebutkan lima jenis perdagangan yang pantang dilakukan oleh seorang Buddhis, yaitu (1) berdagang senjata, (2) makhluk hidup, (3) daging, (4) minuman keras, dan (5) racun.

Buddha memang tidak menguraikan kamma apa yang akan muncul kalau kita berdagang hal-hal tersebut. Namun, kalau mencermati dengan saksama, kita akan menyadari bahwa berjualan barang-barang tersebut lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.

Berdagang senjata, makhluk hidup, daging, minuman keras, dan racun cuma akan mengarah pada pemusnahan, bukan pada pelestarian kehidupan. Makanya, Ajaran Buddha yang berlandaskan cinta kasih dan kasih sayang menentang perdagangan semacam itu. Tidak sepantasnya ada kehidupan yang dikorbankan untuk memperoleh keuntungan duniawi.

Di luar kelima hal tadi, perdagangan jenis lain masih boleh dilakukan, termasuk berjualan masker. Sejatinya masker dibuat untuk melindungi kita dari debu, kuman, bakteri, dan virus. Benda ini memberi manfaat bagi banyak orang, sehingga berdagang masker adalah matapecaharian yang dinilai pantas dalam perspektif Buddhisme.

Hanya saja, etika dalam berbisnis masker juga perlu diperhatikan. Jangan sampai, perdagangan yang dilakukan kurang selaras dengan nilai-nilai buddhis. Sebab, walaupun barang yang dijual adalah barang yang “halal” dalam sudut pandang agama Buddha, tetapi jika cara dagangnya keliru, bisa-bisa hasilnya malah bikin rugi banyak pihak.

Nah, sayangnya, persoalan etika inilah yang masih menjadi urusan masing-masing pihak, karena di dalam sutta-sutta, saya belum menemukan landasan etika bisnis yang kuat. Di sutta-sutta tidak dijelaskan secara spesifik akibat-akibat yang akan timbul kalau seseorang berbisnis dengan cara yang tidak etis.

Korelasi?

Hal ini tentu bisa dimaklumi karena buddhis dan bisnis adalah dua hal yang berbeda. Buddhis lebih banyak mengajarkan hal-hal yang sifatnya spiritual, sementara bisnis lebih banyak mencakup hal-hal yang sifatnya duniawi. Maka, jangan heran, di sutta-sutta, kita jarang mendengar ajaran tentang tata cara berbisnis yang baik.

Meski begitu, bukan berarti nilai-nilai buddhis tidak bisa dipakai dalam menjalankan sebuah bisnis. Nilai-nilai seperti cinta kasih dan kasih sayang masih bisa diterapkan. Semua masih bisa disesuaikan dan diselaraskan, asalkan ada keinginan untuk mempraktikkannya dalam mengelola bisnis.

Jadi, walaupun di dalam sutta belum ditemukan persoalan tentang praktik penimbunan barang (masker), kita boleh mengatakan bahwa praktik seperti ini tidak sesuai dengan Ajaran Buddha. Alasannya? Karena praktik tersebut dilakukan atas dasar keserakahan.

Bukankah karena adanya keserakahan, orang-orang kemudian menimbun banyak barang (masker) dengan harapan bisa meraup keuntungan yang sebesar-besarnya?

Oleh sebab itu, sebagai sebuah ajaran yang mengajurkan mengurangi keserakahan, buddhis mencela praktik berdagang semacam itu, apalagi kalau hal itu sampai merugikan banyak orang.

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menarik sebuah simpulan bahwa berbisnis masker sebetulnya tidaklah salah, sebab ini adalah jenis barang yang bermanfaat bagi banyak orang. Hanya saja, etika dalam menjalankan bisnis itulah yang perlu mendapat sorotan.

Meskipun barang yang dijual tidak melanggar kriteria Matapencaharian Benar, tetapi kalau cara berdagangnya tidak etis, alih-alih baik, hasilnya bisa-bisa akan berakhir buruk. Oleh karena itu, selain memerhatikan kriteria barang dagangannya, seseorang juga semestinya mencermati cara-cara berbisnis yang sesuai dengan Dhamma, agar bisnis yang dilakukan membuahkan keberkahan di dunia ini dan di dunia berikutnya.

Adica Wirawan

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *