Sinarnya yang kuning menembus lubang dinding bambu dan menusuk kelopak mataku yang masih bercerita di kasur kapuk itu, ditambah dengan nyanyian ayam jago dari kandang sebelah kasurku ini, aku pun bergegas membasuh wajahku yang penuh arang sisa pembakaran daging semalam, bukan main dinginnya embun pagi itu, bukan embun kecil memang, tapi embun besar yang memenuhi daun lumbu di samping dinding bambu itu.
“Nah, siki kudu dibuka iki godhonge, ben keton ana banyune apa ora nang njerone,” tutur seorang kakek tua yang hanya berselimut sarung dan kaus dalam.
“Lhadhallah Mbah Mbah, ijih bae nganggo kaya kue, apa bener apa kaya kue? Inyong sih ra percaya,” sahutku.
“Hoooo, pancen bocah zaman siki, kaya kue bae ora ngerti lah. Uis ngana adus, aja raup tok. Mbok anguse ra gelem ilang, tememplok nang bathukmu sing jembare selapangan,” tawa kakek.
Bukannya aku tak percaya, tapi apa iya kalau di daun lumbu itu banyak embun, pasti ada banyak air di dalamnya? Entahlah…
*
“Nduk, gawa ngene kui bayeme, pritili lomboke, dirajang bawang brambange, tapi wajane dikumbah disik, aja lali lengane diumebna sedurunge kanggo masak, siji maning, aja lali uyah gulane setengi bae, mbok naik getih kue simbahmu,” suara ibu yang kecil tapi keras membuatku kaget dengan alis terangkat.
“Iya mamake, inyong bisa masak gur kaya kue. Dasar wong tua, wadon sisan, crewete ra umum lah,” sahut adikku.
Memang begitulah keadaannya, teriakan setiap pagi seorang ibu, kakekku yang sering memegang teguh cara leluhurnya, adikku yang bisanya masak saja, dan hanya aku ini yang sukanya kelayapan entah mencari apa di luar sana.
“Mbokayu, kae jangane bayem sing gula karo uyahe setengi wis mateng, mbok simbah getihe mundak kae ujare mamak. Ngana simbah dibeluk!” pinta adikku kepadaku.
“Mbah, ngene mbah, mangan disik!”
“Apa sih, ijih isuk dikon mangan, apa koe wis ngelih apa?”
“Ya ora ngono mbah, nek pancen wayahe mangan ya mangan, mengko nek lara kan mamak sing ribet, anu kepriwe lah simbah ki,” tuturku.
“O iya-ya, bener juga koe nduk, pancen bagus koe,” puji simbah.
Tapi aku rasa pujian itu salah. Aku kan perempuan, kenapa dipuji ‘bagus’?
*
Selepas dua puluh menit menyantap hidangan adikku ini, ada banyak anak kecil yang berlari di depan rumah, bermain bola sepak, mungkin pagi ini mereka tidak sekolah. Oh iya aku lupa, ini kan hari Minggu, dasar pelupa.
Anak-anak itu sangat pandai, ada Rahman yang pandai mengaji, ada Metta yang pandai membaca paritta, dan ada Yusua si anak Tuhan. Masing-masing dari mereka senang sekali bermain embun, berlari dengan bola sepaknya dan pergi ke sungai sebelah dinding bambu untuk mandi bersama. Dasar anak kecil, mandi bersama pun tak ada malu.
Satu lagi yang menarik, didepan cahaya kuning surya itu, banyak burung gagak menari dan bernyanyi. Hanya saja aku masih belum paham, surya masih saja mengizinkan mereka menari dan bernyanyi.
Baca juga: Hutan
“Nduk, iki sapa sing masak bayeme? Enak kok, uyahe pas, legine ya pas?”
“Mbah… Mbah…, ora ana panganan sing uyahe pas, anane ya sing asine pas,” tutur adikku menekankan rasa masakannya.
“Oo iya yak, simbah klalen koh,”
Makan pagi ini belum selesai, karena aku harus menghitung satu persatu butir nasi yang tersisa di piring itu. Entah mengapa, kata simbah, “Diitung ya segane, ben koe tambah pinter!”
Setelah itu, aku ke vihara untuk menyapu halamannya yang dipenuhi daun-daun yang berguguran kemarin senja. Nyong semangat!
Junarsih
Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara