Rumi, salah satu tokoh di dalam tradisi Sufi Islam, tak habis-habisnya memberikan inspirasi pada saya. Ia pernah menulis: “Larilah dari apa yang nyaman. Lupakan kenyamanan. Hiduplah di tempat kamu takut untuk hidup. Hancurkan reputasimu. Jadilah pribadi yang kontroversial. Saya telah mencoba hidup dengan perencanaan yang bijak. Mulai sekarang, saya akan menjadi gila.”
Suara Rumi bergema keras di jaman kita. Jaman dimana orang hidup mencari kenyamanan di segala hal, bahkan sampai kenyamanan di kehidupan setelah kematian. Jaman dimana orang menjilat kiri kanan untuk menjaga dan meningkatkan reputasinya. Jaman dimana orang cari aman, hidup sebagai pengecut dan tunduk pada penindasan akal sehat.
Anti kemapanan
Tampaknya, Rumi sadar, bahwa kenyamanan adalah musuh dari kehidupan. Inti dari kehidupan adalah penciptaan terus menerus, atau kreativitas. Kenyamanan akan membuat kehidupan menjadi busuk. Ia memenjara orang di dalam kenikmatan yang menghisap hidupnya terus menerus secara perlahan.
Kenyamanan membuat orang terlena. Kesadarannya menurun. Ia menjadi lemah dan lambat. Sebaliknya, tantangan dan masalah akan membuat orang sadar serta terjaga. Inilah inti kehidupan yang sesungguhnya.
Lupakan juga keamanan. Di dalam hidup yang rapuh ini, tidak ada keamanan. Semua teknologi dan uang yang ada seolah bisa melindungi kita. Namun, di hadapan kematian, penyakit dan bencana, semua tampak percuma.
Setiap detik, kematian selalu ada di depan mata. Hidup ini bagaikan telur di ujung tanduk. Ia amat rapuh. Semua ilmu dan pengalaman bisa lenyap dalam sekejap mata, ketika kepala terbentur cukup keras.
Justru, menerima kerapuhan ini adalah sebuah kebijaksanaan. Mengalami dan menerima ketidakpastian adalah sebuah kepastian. Disinilah orang bisa sungguh berlindung, dan menemukan kedamaian. Saya teringat ucapan Ajahn Brahm, master Buddhis asal Inggris, “relax, nothing is in control. Tenang saja, tidak ada yang dapat kita kendalikan dalam hidup ini.”
Jika masalah muncul, demikian Ajahn Brahm, maka nikmati saja. Tidak ada hidup, tanpa adanya masalah dan tantangan. Jika ingin hidup, tanpa masalah dan tantangan, maka orang hanya perlu menjemput kematian lebih awal. Seperti cerita film yang seru dan tak jelas arah akhirnya, begitu pula hidup harus dijalani dalam keseruan dan ketidakpastiannya.
Lebih dari itu, Rumi juga mengajak kita meninggalkan rumah yang memberikan rasa aman dan nyaman. Ia mengajak kita hidup di tempat yang mengundang ketakutan besar. Ketakutan adalah musuh terbesar manusia. Ia hanya bisa dilampaui dengan dihadapi sepenuhnya.
Dengan cara ini, ketakutan pun bisa menampilkan wajah sebenarnya. Ketakutan tak lebih dari kepalsuan belaka. Ia hanya sensasi fisik semata yang mudah sekali lenyap ditelan perubahan. Dengan pemahaman ini, orang bisa keluar dari rasa takut, dan hidup dalam kedamaian yang sebenarnya.
Hancurkan reputasimu
Hancurkan reputasimu, begitu ajakan Rumi. Reputasi adalah pandangan orang lain tentang kita. Sifatnya terus berubah, dan amat rapuh. Hidup dengan berpijak pada reputasi adalah hidup dalam penjara.
Rumi ingin membebaskan kita dari apa yang semu. Ia ingin, supaya kita terus memperbarui diri kita. Kita tak boleh terjebak dan melekat pada satu peran ataupun identitas tertentu. Hanya dengan begitu, kita sungguh hidup sepenuhnya.
Rumi juga mengajak kita menjadi manusia yang kontroversial. Artinya, kita siap membongkar tradisi yang ada. Kita siap mempertanyakan pandangan-pandangan lama yang sudah membusuk. Dan kita juga siap dibenci, karena melakukan itu semua.
Kita siap terkenal sebagai sang pemberontak. Kita siap dianggap sebagai orang yang tak bisa diatur, yang berantakan. Itu semua dilakukan untuk membongkar kemunafikan dan kebusukan cara berpikir yang ada. Bahkan, seperti para pemikir besar dalam sejarah, kita siap disalahpahami, dan dibunuh karenanya.
Hidup seutuhnya
Nietzsche, pemikir Jerman, kiranya banyak belajar dari Rumi. Keduanya menegaskan, kita tak boleh hidup menjadi manusia pengecut. Kita tak boleh hanya ikut arus, tanpa sikap kritis. Kita tak boleh hidup nyaman dan aman di dalam kedangkalan kita. Dan kita pun tak boleh dikurung oleh rasa takut yang sesungguhnya adalah penipu belaka.
Dalam arti ini, kita perlu menjadi “gila”. Kita perlu mempertanyakan cara hidup kebanyakan orang. Kita perlu mempertanyakan kedangkalan dan kebodohan yang tersebar luas dan dalam. Justru dengan gila, kita menjadi sepenuhnya waras. Kita menjadi manusia seutuhnya yang hidup dengan segala warnanya.
Nietzsche juga menegaskan, setitik kegilaan itu membuat orang menjadi waras. Ia mengalami keseimbangan di dalam hidupnya. Sebaliknya, orang yang sepenuhnya “waras” dengan mengikuti tradisi, tanpa tanya dan sikap kritis, dengan mudah tergelincir pada penderitaan dan kegilaan yang merusak. Ia juga bisa menyakiti orang lain, akibat ketidakseimbangan hidupnya.
Ketiga orang besar ini, yakni Rumi, Nietzsche dan Ajahn Brahm, mengajak kita untuk merayakan kehidupan. Tak ada penolakan. Segala yang terjadi diterima seutuhnya, termasuk segala kecewa dan bahagia yang datang berkunjung. Inilah artinya berkata “Ya pada Kehidupan”. Jangan ditunda lagi.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara